Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
"Kakak! Miko jatuh di lapangan. Kakinya berdarah."
Gadis cantik yang tengah duduk sambil mengerjakan setumpuk tugas, menoleh. Ia melempar asal balpoin di genggaman. Kemudian, berlari keluar dari ruangan. Tergopoh, ia menghampiri adik laki-lakinya di lapangan depan rumah.
"Kenapa bisa jatuh kayak gini?" Ia bertanya sambil membantu adiknya berdiri. Dielus lembut kulit sekitar luka, membersihkan dari kotoran yang menempel.
"Tadi aku main kejar-kejaran, Kak, kesandung," ujar adik laki-laki itu sambil terkekeh pelan. "Aidia bukannya bantuin, malah lari ke rumah."
Aidia, si bungsu itu melotot kecil, menjulurkan lidah. "Aku kaget, Kak Raileen. Lihat! Darahnya banyak, kan?"
Saat itu, usia mereka terpaut beberapa tahun. Si sulung baru berusia dua belas tahun, adik pertamanya delapan tahun, dan si bungsu lima tahun. Mereka—kakak beradik—yang terkadang masih bertengkar, berebut makanan.
Raileen, si kakak tertua, menuntun keduanya. Mereka berjalan perlahan meninggalkan lapangan tempat bermain. Sesampainya di rumah, ia membasuh luka di kaki sang adik laki-laki.
Ia membersihkannya secara telaten lalu membalut luka itu dengan plester bergambar Hello Kitty. Si adik laki-laki, Miko, berseru tak mau.
"Enggak mau, Kak! Aku kan cowok. Masa iya pakai plester Hello Kitty."
Raileen dan si bungsu tertawa kecil. "Enggak apa-apa, kan ketutup celana. Jadinya orang-orang enggak bisa lihat."
Usai mengobati, Raileen mengajak kedua adiknya untuk makan siang. Di tengah aktivitas mengisi perut, Miko berujar sambil menatap Raileen lekat.
"Mata Kakak bengkak. Kakak nangis, ya? Siapa yang jahatin? Biar nanti Miko pukul orangnya!"
Si bungsu menoleh cepat. Ia melotot dan membalas ucapan kakak laki-lakinya. "Emangnya berani? Barusan jatuh aja Bang Miko mau nangis."
Miko mengelak, tak terima. "Pokoknya Miko bakalan selalu jagain Kak Raileen."
***
"Miko ...."
Raileen memeluk kedua kaki miliknya. Tubuh gadis itu menggigil selepas hampir satu jam membiarkan diri diguyur hujan. Ia telah berganti baju, menggunakan pakaian yang diberikan Hala.
Mata gadis itu sayu, menatap dinding putih di depannya dengan nanar. Urat sedih masih tergambar jelas pada pipi halusnya. Ia kembali terisak pelan.
"Kamu mau minum, Raileen?"
Hanya gelengan yang gadis itu berikan.
Hala terdiam, menghela napas pelan. Laki-laki itu mengerti, kabar perihal kepergian adiknya benar-benar membuat Raileen terpukul. Ia duduk di samping Raileen, menemani gadis cantik itu dalam diam.
"Miko ... dia pernah mengatakan akan selalu menjaga saya, kakaknya. Namun, dia lebih dahulu berpulang, bahkan sebelum sempat kami bertukar cerita." Raileen menjeda ucapan, sekedar menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Sudah dua tahun dia meninggalkan dan saya baru mengetahui perihal ini. Saya tidak menemani dia di saat-saat terakhirnya."
Raileen menelungkupkan wajah.
"Raileen—"
"Mama saya di mana? Beliau masih ada di dunia, kan?"
Laki-laki tua di atas kursi roda itu mengatupkan bibir. Pandangannya jatuh pada bingkai foto pernikahan. Ia mengelus lembut wajah wanita yang begitu dicintainya. Pikirannya mengudara lalu jatuh pada memori dua tahun silam.
Sejenak, ia melirik ke arah Hala. Saling bertatapan seakan meminta pendapat, apakah ini waktu yang tepat? Namun, niatnya urung untuk bercerita saat Hala menggeleng pelan. Kalimat yang semula sudah hampir keluar, kembali dirinya telan.
"Kenapa kalian menyembunyikan ini semua? Saya berhak tahu. Saya adalah anaknya. Saya adalah keluarganya."
Raileen histeris. Ia menjambak rambutnya frustasi. Mereka—orang-orang di hadapannya—tidak pernah mengerti seberapa dalam Raileen memendam rindu dan kesedihan, enam tahun ini.
"Setelah tahu kabar perihal Miko pergi, mamamu trauma. Ia benar-benar hancur, Raileen. Selama hampir tiga bulan, ia tak bisa berinteraksi dengan orang-orang. Kejadian ini membuatnya begitu terpukul. Kamu tahu, Raileen? Belum kering luka karena kehilangan, ia kembali menerima duka mendalam."
Terdengar derit kursi roda yang bergulir. Laki-laki itu mencoba untuk mendekati lemari besar. Kemudian membuka laci dan mencari sebuah dokumen yang selalu disimpannya. Lama ia termenung sebelum membuka dokumen itu.
Ia menatap sejenak dan mengangsurkannya pada Raileen. "Kamu lihat sendiri."
Dengan ragu, Raileen menerima. Dalam dokumen itu berisi beberapa lembar foto hasil USG. Raileen mengernyit, tak paham tentang hal yang kini terjadi. Kepalanya berdenyut nyeri.
"Mama hamil?"
"Bukan."
"Lantas siapa?"
Jedanya terlalu panjang. Sampai Raileen tidak sabar untuk mendengar jawaban atas tanya yang dirinya ajukan. Lewat isyarat tatap, ia memohon agar sesegera mungkin diberi penjelasan.
"Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri."
Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu. Saat tangannya tak lagi mampu menggapai, mata sipitnya tak sanggup menumpahkan tangis, ia jatuh tak sadarkan diri.
Terlalu banyak hal-hal menyakitkan yang dirinya dengar. Raganya tak mampu menahan. Raileen hilang kesadaran dengan sudut mata mengeluarkan cairan. Terlelap, hingga langit temaram.
Luka di dada gadis itu menganga kian lebar. Napasnya tersenggal.
***
Alhamdulillah
Terima kasih sudah membaca.
Sukses selalu, Orang hebat.Spread love,
Sugi 💖
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Roman pour Adolescents1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...