Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
"Ini sudah satu minggu, lho, Raileen. Kamu belum mau kasih tahu aku?"Asik mencatat materi yang tertinggal, Raileen tertawa pelan. Ia menggeleng cepat, sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Kemudian, gadis itu kembali larut dalam aktivitas menulisnya.
"Pertama, kamu tiba-tiba menghilang. Padahal, masih ada rapat yang harus dilaksanakan. Kedua, kabar yang aku dengar, kamu pergi dengan si kutu—"
"Kutu siapa?"
"Kucing! Ya tetanggamu itu, Raileen." Gemas, Zaid mengacak pelan rambut Raileen. "Denger dulu, jangan langsung dipotong. Ketiga, kamu kembali dengan karakter yang baru. Lebih ceria dan semakin bersemangat. Ada apa?"
Mereka berada di dalam sebuah ruangan yang penuh alat lukis. Di dinding-dinding itu terpasang lukisan karya mahasiswa Seni Rupa. Selain itu, lantai yang kini dipijak terdapat banyak bercak sisa cat.
Zaid bangkit. Ia meraih beberapa karya lukisan. Kemudian, laki-laki itu kembali duduk di depan Raileen. Dirinya berdeham, mencoba mencuri atensi si gadis pujaan.
"Kamu lihat ini. Dahulu, lukisan kamu selalu penuh dengan warna merah, hitam. Bahkan, goresan kuasmu kasar. Sebagai salah satu mahasiswa berprestasi di sini, aku benar-benar paham."
Raileen menghentikan aktivitas menulis. Ia memfokuskan diri, menyimak apa yang tengah dikatakan Zaid. Gadis itu menatap lamat sambil tersenyum manis.
"Warna merah dan goresan kuas yang kasar untuk kemarahan. Sementara itu, warna hitam sering dipergunakan untuk menyatakan dukacita. Berdasarkan karakternya, warna hitam terkesan gelap, misterius, murung, sedih dan tenang," lanjut Zaid sambil menunjuk salah satu lukisan.
"Kamu—"
Salah satu jari Zaid teracung dan ditempelkan di bibir, sebagai isyarat agar Raileen tetap diam menyimak. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Bahkan, keningnya berkerut beberapa lipatan—khas orang-orang yang tengah berpikir.
Raileen menghela napas pelan, berpangku dagu.
"Aku tahu alasan kamu selalu memakai warna itu. Ada banyak kesedihan yang selalu kamu pendam. Kamu benci pada dunia yang selalu tidak berpihak. Sekarang? Justru lengkungan halus berwarna hijau dan biru langit yang mengisyaratkan ketenangan."
Raileen merapikan kursi yang ditempatinya. Ia mulai memasukkan alat tulis ke dalam tas. Kemudian, gadis itu berdiri dan mengapit tangan Zaid, mengajaknya ikut berdiri.
"Kamu benar perihal analisa lukisan itu. Sekarang, ayo, antar aku pergi ke suatu tempat."
Zaid mengernyit. Sebenarnya laki-laki itu tak suka karena lagi-lagi pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Namun, dengan melihat tangannya digenggam, senyum Zaid mengembang.
Mereka berjalan keluar ruangan. Di sana terdapat mahasiswa yang sedang duduk santai, membaca buku, atau bersenda gurau dengan lawan bicara. Raileen dan Zaid, melewati orang-orang itu.
"Mau ke mana?"
"Pokoknya antar saja."
***
Hal yang Zaid lakukan pertama kali setelah sampai di tempat adalah mengernyit. Ia tak paham mengapa Raileen mengajaknya membeli bunga mawar tabur. Lagipula, akan digunakan untuk apa oleh gadis itu?"Pak, saya mau yang ini, ya."
Sambil menunggu barang itu dibungkus, Raileen berjalan melihat-lihat. Harum dari bunga-bunga tersebut menguar, menusuk indera penciumannya. Setelah itu, Raileen tertarik pada satu tangkai bunga mawar dan memutuskan membelinya.
"Total berapa, Pak?"
"Delapan puluh ribu, Neng."
Usai membayar, Raileen kembali duduk di atas jok motor. Kendaraan itu melaju, menyusuri jalanan Ibu Kota yang sedikit lengang. Melewati Jalan Pajajaran, mereka hampir sampai di tempat tujuan.
Berbelok, motor yang mereka tumpangi benar-benar berhenti ketika Raileen memberi arahan. Sebuah tempat pemakaman umum dengan luas 156.000 m², menjadi jawaban atas tanya yang ada di benak Zaid.
"Kamu mau kunjungi makam siapa?" tanya laki-laki itu menghentikan langkah Raileen.
Raileen sejenak terdiam. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Kemudian, menghembuskan secara perlahan. Tangan ringkihnya memeluk barang yang dibawa dengan erat.
"Mengunjungi seseorang yang selama enam tahun ini selalu aku nanti kabarnya," kata Raileen. "Sekarang, dia ada di sini."
Setelah itu, mereka kembali melangkah. Kaki-kakinya bergerak secara perlahan, melewati pusara lainnya. Menghabiskan waktu lima menit, Raileen terdiam menatap sebuah makam.
Zaid mengikuti arah pandang gadis itu. Kedua iris cokelat miliknya menatap lekat nama di batu nisan.
Aidia Agista.
"Hai, adiknya Kakak yang paling cantik." Raileen berjongkok, mengelus pelan pusara itu. "Lihat, sekarang Kakak bawa bunga untuk kamu. Maaf, ya, Kak Raileen baru bisa datang ke tempat terakhir kamu."
Mata gadis itu berembun. Garis wajah Raileen terlihat menyendu, meski lengkung manis tetap terpahat di bibirnya. Perlahan ia taburkan bunga yang dibawa.
"Sekarang, kamu sudah berada di tempat yang tepat. Di sana, kamu tak akan lagi merasakan kesedihan dan kesakitan." Suara lembut Raileen terdengar bergetar. Ia mengecup lembut batu nisan seiring dengan tangis yang mulai berjatuhan.
Zaid rasakan kesedihan itu. Tangannya bergerak mengelus lembut bahu Raileen, mencoba menyalurkan ketenangan. Melihat hal ini, keingintahuannya semakin memupuk. Ingin sesegera mungkin menemukan jawaban.
"Maaf ... Kakak enggak bisa menjaga kamu, Aidia. Kakak enggak bisa lindungi kamu dari dia. Setelah ini, Kakak janji akan terus mengunjungi kamu di sini."
Raileen menepuk celana yang dikenakan. Ia menghapus sisa tangis di pipi lalu menoleh pada Zaid dan tersenyum manis. Kemudian, bangkit, mengajak Zaid untuk pulang.
Zaid bertanya, "Lho, enggak doa dulu?"
Raileen menggeleng sambil menunduk, menatap kembali pusara. "Aku enggak tahu caranya."
"Biar aku yang pimpin doa, ya."
***
Alhamdulillah
Terima kasih sudah membaca.
Sukses selalu, Orang hebat.Spread love,
Sugi 💖
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Jugendliteratur1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...