Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Usai persiapan selama tiga bulan dengan puluhan kali rapat dilaksanakan. Kini, tibalah acara itu dimulai. Sejak kemarin, mahasiswa-mahasiswa tersebut memilih untuk menginap di tempat galeri seni digelar. Mereka mempersiapkan segalanya dengan matang.Bangunan itu sudah kembali ramai. Beberapa orang terlihat sibuk membersihkan ruang. Ada pula yang tengah latihan menari, memperlancar, sebelum nanti tampil di puncak acara.
Raileen, sedari tadi gadis itu tidak tinggal diam. Berkali-kali memastikan bahwa tak ada satu pun terlupa. Ia membantu menyiapkan baju sekaligus make up yang akan digunakan para penari.
"Kak, make up dan baju-bajunya sudah ada di ruang kosmetik, ya. Latihannya dihentikan kalau sudah jam lima. Karena harus mandi, dandan, dan lain hal. Istirahat jangan lupa, ya. Penampilan kalian sudah hebat, kok!" Raileen berujar di ambang pintu.
Salah satu gadis dengan rambut diikat tinggi yang sejak tadi menari, berujar, "Untuk MUA-nya kira-kira ada berapa, Kak?"
"Insyaallah ada tiga, Kak. Nanti jam enam mereka akan datang."
Raileen pamit setelah mendengar ponsel berdering. Ia berjalan dan memasuki salah satu ruang yang tidak terlalu ramai. Kemudian, ditatapnya layar telepon. Sederet nomor asing muncul di sana. Dengan sedikit keraguan, gadis itu memilih menerima panggilan.
"Hall-"
"Kamu kenapa tidak pulang ke kosan? Saya jadi bingung harus berpenampilan seperti apa."
Raileen tersentak, ia menjauhkan ponsel. Suara Hala? Bagaimana bisa laki-laki itu mempunyai nomor telepon miliknya? Raileen kembali menempelkan handphone di telinga.
"Kenapa kamu tahu nomor saya?" tanya Raileen.
"Kenapa saya harus tidak tahu? Pertanyaan saya belum terjawab, kamu sudah bertanya hal lainnya."
Padahal masih sepagi ini, Hala sudah sangat cerewet. Pameran dari galeri ini baru bisa diakses ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, masih terdapat lima jam untuk persiapan.
Lagi pula, persiapan laki-laki memangnya membutuhkan waktu selama apa? Raileen mendengkus. Jika saja ia pulang ke indekos, sudah dipastikan tidak akan bisa mencicipi ketenangan.
"Tinggal pakai baju kemarin yang dibeli," ujar Raileen, sedikit ketus. "Jangan bilang kalau bajunya jadi kekecilan, ya!"
Hala terdengar tertawa kecil di seberang sana.
"Oke! Tunggu saya, di sana, ya. Ingat! Hari ini peran saya menjadi keluargamu."
Belum sempat menjawab, telepon telah dimatikan secara sepihak. Raileen berdecak pelan, kembali menyimpan ponselnya dalam saku celana kulot yang tengah digunakan. Ia memilih untuk bergegas membersihkan diri.
***
"Seni dan budaya terbentuk dari peradaban manusia. Saat seni dan budaya tak lagi diperhatikan apakah peradaban manusia juga akan musnah? Tanpa harus direnungi kembali, kita dapat menyadari bahwa manusia harus memelihara dan melestarikan seni dan budaya yang ada di dalam lingkungan mereka. Oleh karena itu, adanya acara Gelar Seni ini bertujuan untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan ...."
Sambutan dan laporan dari Ketua Pelaksana, Raileen Nara, berlangsung kurang lebih selama lima menit. Ia memaparkan secara singkat rincian acara dimulai mengenai jumlah total panitia pelaksana, peserta acara, dan lainnya.
Gadis itu menutup pembicaraan selepas mengucapkan terima kasih. Ia berjalan perlahan menuruni tangga, turun dari mimbar kecil yang disediakan. Tubuhnya begitu tegap dan cara pandangnya menunjukkan ketegasan, menutupi kerapuhan.
"Baik, terima kasih kepada Raileen Nara, selaku ketua pelaksana. Selanjutnya sambutan dari Gubernur BEM Fakultas Seni dan Budaya. Kepadanya, kami persilakan."
Master of Ceremony kembali melanjutkan rangkaian acara yang ada. Pembukaan ini ditutup usai Dekan dari Fakultas Seni dan Budaya secara resmi membuka acara. Wanita dengan pakaian modis di atas mimbar itu menandatangani salah satu lukisan, sebagai simbol meresmikan kegiatan.
Sorak dan tepuk tangan menggema di ruangan itu. Dekan tersebut turun dan meminta agar seluruh panita pelaksana berkumpul. Ia memimpin mengulurkan tangan dan diikuti oleh para mahasiswa.
"Bismillahirrahmanirrahim!"
Mereka berseru kompak dan tertawa kecil. Satu per satu mahasiswa telah bersiap untuk melaksanakan tugasnya. Gerbang mulai dibuka, beberapa orang telah sedia menyambut pengunjung yang datang.
Para pemandu Press Tour terlihat memakai pakaian harian dinas dipadukan dengan bawahan berwarna senada dan kepalanya dihiasi ikat sunda. Sementara itu, para penari telah bersiap di ruangannya mengenakan baju tari khas dari Jawa Barat.
Pemain gamelan yang didominasi oleh mahasiswa laki-laki, mengenakan manset hitam dan celana hitam. Wajah mereka diberi sedikit make up.
"Kamu baik-baik saja, Raileen?"
Zaid, laki-laki itu menggenggam lembut tangan Raileen. Mereka saling bertatapan sesaat sebelum melepaskan genggaman dan hanyut dalam tugas yang diemban.
"Aku baik-baik saja!"
"Jangan terlalu kecapean. Aku enggak suka kalau kamu harus sakit." Zaid berujar sambil merengkuh tubuh Raileen. Ia memejamkan mata sejenak. "Aku sayang kamu ...."
Raileen membalas pelukan. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Zaid. Mereka saling bertatapan, tersenyum kecil, melepaskan dekapan, dan berjalan meninggalkan ruang.
Zaid mempersiapkan kameranya. Ia mulai sibuk memotret hal-hal yang akan dijadikan sebagai bahan dokumentasi kegiatan. Salah satunya, menangkap gambar ketika para pemandu tour terlihat tengah menjelaskan kepada jurnalis dan pengunjung yang datang.
Keluarga panita pelaksana sudah mulai berdatangan. Nampak beberapa mahasiswa menyalami dan memeluk orang tuanya. Zaid menjadi salah satunya. Selepas tinggal di panti selama beberapa tahun, ada wanita dan pria yang mengaku sudah mengadopsinya.
Suatu hal yang membuat Zaid harus berjarak dengan Raileen.
"Ibu, Ayah," panggil Zaid, mengecup pelan punggung tangan mereka.
"Selamat, ya, Zaid. Acara ini benar-benar hebat. Oh iya, Raileen mana?"
Sementara itu, Raileen, ia tengah mencoba untuk menguatkan hati ketika melihat pemandangan anak yang bercengkrama dengan orang tua. Di saat itu, ponselnya kembali berdering. Nomor yang sama menelponnya, lagi.
"Aku sudah di depan. Sambut aku!"
Raileen bergegas ke depan gerbang. Ia mengedarkan pandangan, menatap orang-orang yang berlalu-lalang. Kemudian, pandangannya terkunci pada sosok laki-laki dengan kumis putih dan memakai peci hitam, melambai ke arahnya. Gadis itu mengerutkan dahi lalu terbahak kencang.
Hala ....
Laki-laki itu benar-benar bertransformasi menjadi kakeknya? Masih dengan sisa tawanya, Raileen menghampiri Hala.
"Kenapa kamu lakukan ini?"
Meski mulutnya tertawa kencang, sudut mata Raileen berair. Ia tak dapat menyembunyikan rasa haru melihat Hala melakukan ini untuknya.
"As you wish! Hari ini saya adalah kakekmu. Hormati saya!"
***
Alhamdulillah
Terima kasih sudah membaca
Sukses selalu, Orang hebat.
Spread love,
Sugi 💖
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Ficção Adolescente1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...