Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Derap langkah kaki Raileen menggema sepanjang lorong indekos. Wajah gadis itu terlihat kusut, letih seharian beraktivitas membuat energinya terkuras. Tadi, usai penataan karya, rapat kembali dilakukan hingga azan magrib berkumandang di masjid-masjid sekitar.
Mereka membicarakan perihal tiket yang sudah terjual. Masing-masing mahasiswa memiliki dua tiket untuk kehadiran keluarga. Raileen, ia menatap tiket di genggamannya.
Keluarga? Ia bahkan tidak tahu di mana mereka sekarang. Miko, Aidia, gadis itu tak pernah lagi mendengar kabar perihal adiknya. Apakah mereka bahagia atau justru sama-sama terluka? Air muka Raileen semakin menyendu memikirkan itu semua.
"Habis date sama pacar, kok, wajahnya kusut."
Raileen mendongak, ia menatap datar tetangga baru menyebalkan itu. Tanpa menjawab perkataan laki-laki tersebut, Raileen mendorong sedikit tubuhnya sebab menghalangi jalan.
"Kamu enggak bisa dorong saya. Orang tenaganya sudah tidak ada." Orang itu, Hala, menjulurkan lidah. Ia meraih pergelangan tangan Raileen. "Karena energi kamu sudah terkuras, sekarang mari kita isi kembali. Saya punya banyak makanan."
Raileen diam saja saat tangannya ditarik untuk duduk. Ia terlalu lelah untuk membantah atau mendebat. Suasana hatinya masih kelam, sekelam langit malam tanpa taburan bintang di atas sana.
"Lihat! Saya punya kue lapis."
Itu kesukaan Raileen. Gadis itu menoleh, senyumnya terulas tipis. Ia menerima kue dari Hala lalu menatapnya sejenak dan menggigit kecil. Rasa dari makanan ini tidak pernah berubah, selalu bisa memanjakan lidah.
"Kenapa kamu selalu tahu makanan kesukaan saya?" Raileen bertanya sambil menatap Hala.
"Oh, maaf? Padahal ini makanan kesukaan saya. Saya bahkan tidak tahu kalau kamu menyukai juga."
"Kamu peniru."
Hala tertawa kecil. Ia pamit sejenak, mengambil selimut dan menyampirkan di bahu Raileen. Laki-laki itu tersenyum lebar dan kembali duduk. Tangannya terulur ke hadapan Raileen.
"Apa?" tanya Raileen bingung.
"Bayaran. Saya kan sudah kasih kamu banyak makanan ditambah meminjamkan selimut kesayangan saya."
"Dih, kalau gitu saya ambil aja sendiri di kamar."
"Tenang, bayarannya tidak mahal, kok. Beri saya satu tiket itu," katanya, menunjuk tiket yang masih digenggam Raileen. "Saya ingin lihat karya anak Fakultas Seni Rupa, katanya. Apakah benar-benar hebat atau biasa saja. Boleh?"
Raileen menunduk. Ia menatap lamat dua tiket yang seharusnya diberikan kepada keluarga. "Sayangnya, ini khusus untuk keluarga dari mahasiswa." Suaranya tercekat, kedua mata gadis itu berembun.
Hala melihat kesedihan itu. Ia meraih pundak Raileen dan merangkulnya. Berulang kali tangannya mengelus lembut, menenangkan.
"Anggap saja saya ini keluarga kamu. Jika mereka bertanya, katakan bahwa saya adalah Kakak kamu. Mereka tidak akan tahu jika ini sandiwara, kan?"
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Jugendliteratur1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...