Perniagaan

7 2 0
                                    

Assalamualaykum wahiders.

Bersama awal bulan syawal dan notifikasi sosmed masih bermoduskan lahir batin, maka izinkan aku seperti seperti kebanyakan orang yang juga ingin menyapa pembacanya dengan ucapan "Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin". Untuk doa nya di isi masing-masing saja ya. daWahid tidak mau ba bi bu be bo.

Eh, tapi kalau bisa doakan daWahid sehat selalu, sukses selalu, banyak inspirasi nulis, rezeki berlimpah, dan bisa jadi anak soleh.

Wahiders be like: -_-

Hehehe, daWahid Cuma mau request wahai hamba hamba sahaya, hihi.

Begini, mengingat beberapa hari yang lalu masih takbiran. Aku ada sesuatu yang igin dikisahkan. Jadi pasang mata dan transfer ketelinga agar otak bisa mangap dengan sempurna, ok!!!

________________________________________

Pukul 03:00 pagi dini hari. Tepat sehari sebelum hari raya. Lubang hidungku kempang kempis, beradu sakit dengan aroma-aroma sulit. Di dalam mimpi masih menerka, akankah bau ini rempah-rempah? Pintar sekali manusia ini menerka di dalam mimpi. Percayalah, bau nya sungguh kuat, sangat kuat. Dari sisi kegelapan kamar, mata ku terbuka mengelupaskan kotoran yang bersisa di tepi mata. Merah mataku tak kuasa, dan hidung masih menerka-nerka dari mana asalnya?.

Ok, semangat sekali beliau, pikirku. Dentuman nya pelan, goyangan terhadap batu begitu konstan. Aduh, ibuku sudah terjaga sedari tadi. Beliau menggiling sesuatu dengan batu giling, dengan alas gilingan terbuat dari batu setebal 6 cm dan panjang 30 cm. Aku yang baru saja kembali dari kamar mandi membawa handuk menutupi badan. Dingin sekali pagi itu, guyuran air untuk mandi pagi adalah pilihan tepat membombardir rasa kantuk waktu itu. Dingin sekali, semua kesadaranku lantas menyatu pada kepala dan membuat dunia terlihat nyata dan tidak tipu-tipu. Lingkungan rumahku memang kaya dengan kesejukan, namun pedas dan tajamnya bau rempah begitu menusuk hidung ku yang sedang dalam posisi rukuk pada shalat sunnah.

Wahiders, kalian tau. Sampainya gerakan shalat ku pada salam pertama, ada dentuman jauh dari luar rumah, bunyinya sangat mengganggu. Ngilu pada telinga dan terasa remuk pada dahi. Aku tak tau kenapa. Berkali, kali bunyi itu memperkosa paksa telingaku. Entah berapa kali ketidaknyamanan harus ku rasa dalam tadahan tangan yang sedang khitmat. Menyusul suara lain. Astaga doaku ku semakin getir akannya. Lenguhan sakit merongrong di pinggir kegelapan pagi. Semua dinding rumah membuka penutup telinga dan menyampaikannya kepada mereka yang sedang terjaga. Telingaku kembali tiada, aku terkejut tentunya. Lenguhan panjang itu sekali lagi terdengar, tersendat, dan patah di ujung lenguh panjang. Seperti merintih, dan tadahan tanganku lekas berakhir pada lenguhan paling kencang berikutnya. Mata ku lepas menjauh ke arah bunyi, yang ini begitu terdengar pilu, bukan hanya sekedar rasa sakit yang terasa, namun bunyinya seperti kaset rusat di penghujung tebalnya lenguhan, merintih, dan tersekat-sekat.

Kudukku tergelitik oleh udara pagi yang menyelinap masuk dari celah-celah jendela kaca. Tiba-tiba dentuman keras itu kembali terdengar. Lagi dan lagi terasa ngilu. Bersamaan dengan itu ibu berceloteh

"Sadis betul!!!"

Aku bertanya apanya yang sadis, ibu dengan sadar dan santai sembari menggiling mengatakan

"Orang depan motong sapi"

Oh tuhan, jaraknya hanya 20 meter dari rumahku, dekat sekali. Aku mendiamkan diri dan mengambil nafas panjang. Dentuman keras itu terdengar lagi, ibu lanjut berceloteh, dan aku sadar betul bahwa itu bunyi kapak yang menghantam lehernya, agar terpisah sempurna. Sekali lagi terdengar, dan lenguhan sudah lama lenyap dari tadi.

Badanku tersender di dinding dapur melihat ibu, aku sadar ke sekian kalinya, bahwa begitu banyak rempahan yang sudah dihaluskan , dan itu adalah bumbu-bumbu untuk merendang daging. Aku yang bergidik ngeri dan kasihan mendengar lenguh demi lenguh, ibu dengan sederhana menanggapi. Perasaanku yang tidak begitu sederhana amat mendramatisir kejadian tadi. Dia terbantai diluar, darah hilang dalam gelapnya pagi-pagi. Sedang ibuku bersemangat menyiapkan bahan untuk dibumbui. Kolaborasi tukang janggal dan ibu-ibu dapur pikirku.

"Ada berapa ekor bu?"

"Empat."

Suara bapak-bapak terdengar berteriak seperi memaksa satu ekor sapi dibawa turun entah dari mana. Terdengar perlawanan, begitu banyak teriakan para bedebah lelaki itu. Suara hempasan terdengar keras berganti dengan lenguhan panjang tersekat-sekat. Aku bergegas memasang headshet, diam dan menikmati dunia dalam digital. Semoga saja dia berpisah dengan doa-doa dan kalimat basmallah. Di antara gemuruh takbir yang akan datang, ada sebagian malam yang membuka pintu-pintu langit. Menerima para pendatang si lenguh panjang.

Namun sudahlah, tradisi pagi itu, adalah bentuk niaga yang akan dilangsungkan oleh tetanggaku. Allah begitu unik dengan cara dan langkahnya.

"Semoga bisa diambil hikmahnya"

@daWahid

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

daWahid da kisah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang