| Chapter 4 | : Yeah, Daman

28 7 2
                                    

Aku berani bersumpah jika semalam telah
melihat lagi sosok itu lagi. Tengah berdiri kaku di belakang pintu dengan sorot penuh minat. Seolah hanya aku yang bisa melihatnya. Tapi ketika aku bangun, sinar matahari remang-remang menebus tirai putih tipis yang menggantung menghalangi kaca jendela kamar. Jam weker yang tidak bisa berdering itu, menunjukkan waktu setengah tujuh pagi. Jarumnya berdetak samar, namun mampu mengisi keheningan di dalam kamar. Mengikuti gerak jarum tersebut dengan perasaan gelisah, seolah setiap detiknya akan ada banyak kejutan yang menantiku di rumah ini.

"Layla!!"

Baiklah, jika ibuku sudah memanggil namaku dengan seruan selantang tadi. Itu artinya, mau tak mau aku harus bangkit dari kasurku masih dengan wajah kusut, rambut aut-autan dan sisa kotoran mata yang masih menempel. Melangkah dengan gontai memasuki kamar mandi yang lupa kusebutkan keberadaannya sejak awal.

"Kau sudah bangun?" teriak ibuku dari balik pintu kamar. Dapat dipastikan tangannya sudah bersiap menggedor pintu kamarku habis-habisan. Aku merenggut tak suka. "Iya, iya sudah!!" balasku kesal dari balik dinding kamar. Sengaja menghentakan langkahku supaya terdengar sampai keluar kamar. Nyatanya percuma saja

Memasuki kamar mandi yang tak bisa
dikatakan besar atau pun sempit. Hanya
ada tempat shower menggantung dan satu
keran, kaca bundar yang sisinya retak,
tempat handuk serta wadah-wadah plastik
yang aku tebak sebagai tempat sabun dan
alat mandi lainnya. Tidak ada bak mandi, setidaknya lebih baik. Mencuci muka dengan malas, mencari letak sabun pencuci wajah yang sialnya harus jatuh dulu ke lantai. Hingga tak berapa lama, aku menyelesaikan rutinitas membosankan ini. Meskipun hanya mencuci muka saja, itu adalah sebuah kemajuan di pagi yang dingin seperti ini. Aku benar-benar gadis pemalas jika akhir pekan sudah tiba. Menatap diri di depan cermin. Melihat setiap inci rupaku yang semakin lama, semakin terlihat seperti seorang pengecut. Bagaimana aku bisa tahu apa yang kuderita saat ini. Fobia menjengkelkan yang dulu kuketahui dari salah satu wanita yang merangkap diri menjadi seorang Psikolog mental. Aku tahu tentangnya karena salah satu teman sekolahku ternyata adalah keponakannya. Dari situlah aku bisa mengetahui gangguan mental apa yang sudah masuk dalam
tubuhku setelah kejadian tenggelam di kolam renang waktu itu. Trauma yang berdampak sangat buruk bagi kesehatan mental dan tingkat halusinasiku.

Kau menderita Aquaphobia. Ketakutan pada air yang berlebih. Perasaan dan otakmu akan bersamaan menggambarkan saat kau tenggelam waktu itu.

"Layla cepat sarapan!" Kuputar bola mataku kesal. Melangkah meninggalkan cermin dan pantulanku pun menghilang. Mengganti pakaian yang melekat di tubuhku menjadi sebuah baju hitam tebal dengan garis putih yang memanjang-baju bekas olahraga saat di sekolah. Setidaknya masih bagus, layak pakai dan jika ingat, aku hanya memakainya beberapa kali, dikarenakan aku bukan orang yang menyukai gerakan fisik seperti olahraga. Aku mudah lelah, jadi jika waktu olahraga berlangsung, aku akan meminta ijin atau setidaknya berpura-pura sakit. Apalagi jika sudah berkaitan dengan air dan berenang. Oh, jangan membunuhku karena dua hal itu.

Sesampainya di depan meja makan yang sudah tersaji di atas piring ada omelet dan roti yang dipanggang dengan sedikit mentega. Satu gelas air hangat, karena aku tidak suka susu. Rasa manis susu dapat membuat perut bergejolak tak karuan. Tubuhku benar-benar menolak cairan manis berbau khas tersebut pagi hari.

"Bagaimana pakaian Ibu hari ini? Rapi?"
Aku menatap Ibu dengan setelan formal
seperti biasa. Dia akan kembali bekerja hari ini setelah mengambil cuti selama dua hari.

"Cukup," kataku. Ibu langsung menggerutu. "Cukup apa?"

"Cukup artinya tidak jelek!" jelasku tanpa memperhatikan kembali reaksi Ibu. Tanganku sibuk menaruh dua helai roti dan omelet yang kemudian diampit dua roti.

THE TALK : Beyond The Water ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang