| Chapter 15 | : Nightmare Coming

21 7 0
                                    

"Aku kemari hanya ingin memberitahukan bahwa taksi yang Ibumu pesan, setengah jam lagi akan sampai, " kata Daman dengan gestur santai. Tapi tetap saja aku mengakui ketampanan Daman yang keterlaluan di pagi hari ini.

Jaket tipis dengan kaus dalam yang longgar, memperlihatkan setengah dada bidangnya. Rambut acak-acakkan tapi entah kenapa menjadi sangat sialan di mataku. Keren sekali.

"Kenapa tidak hubungi lewat telepon saja?" Lebih masuk akal saat aku mengatakan hal se-simpel itu. Kenapa Daman repot-repot datang ke rumah.

Satu alis Daman terangkat pelan. "Bukannya akses telepon rumahmu rusak. Kemarin Ibumu mengatakan bahwa jaringannya akan diperbaiki seminggu lagi."

Oh! Aku tak bisa lagi membantah, lagi pula Daman memang benar. Aku lupa tentang sambungan telepon rumah baru ini.

"Oh, Daman!" seru Ibu datang dan mengambil alih tepat di sampingku, hingga mendorong tubuhku ke depan agar dirinya bisa menguasai ambang pintu. Dan setengah mati aku menahan agar pergerakkan tubuhku tidak terlalu jauh. Bisa-bisa aku menabrak lagi dada bidang milik Daman untuk kedua kalinya. Ah, tidak!

"Apa taksinya sudah dipesankan?" tanya Ibu riang. Aku lihat Ibu tersenyum dengan tulus. Padahal tadi kami tengah beradu argumen di dalam rumah. Tapi bagus jika Ibu memiliki kemajuan itu—mampu merubah ekspresinya.

Daman tersenyum lembut hingga kedua sudut matanya menyipit. "Iya, karena daerah sini sulit sekali mendapatkan taksi yang tetap. Semua orang terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing," kata Daman lagi. Suaranya bahkan membuatku merinding ketika ada kesan seraknya.

Ibu menghela napas gusar, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Ya, memang benar. Kompleks ini orang-orangnya sangat sibuk sekali. Tapi kompleks di sana sepertinya berbeda bukan?" Ibu menujuk dengan dagunya ke depan sana.

Daman pun mengalihkan pandangannya ke arah yang berlawanan. Tak lama, hanya sekilas. Meskipun dengan ekor matanya, sejenak dia melirikku. Sementara aku yang berdiri tak berguna di samping ambang pintu. Jarakku dengan Daman mungkin terpaut satu setengah meteran. Dan hal itu, aku bisa mencium bau pakaian Daman yang masih tersisa bau-bau cologne dan produk pencuci pakaian.

"Itu kompleks di bawah standar," kata Daman yang sukses membuatku dengan berani meliriknya dengan raut tak mengerti. Dan Daman menangkap raut aku dan Ibu yang seolah mengatakan, 'apa maksud perkataanmu?' dan Daman terlihat agak bersalah telah membuat kami memikirkan hal-hal lain tetang komplek yang di bawah kata 'standar' itu.

"Maksudnya kompleks itu lebih ...." Daman menggantungkan kalimatnya dan seolah-seolah menimang kalimat yang akan diucapkannya sebelum aku memotongnya dengan kalimat, "Kompleks miskin?Begitu?"

Ibu segera mencubit lenganku dan memberikan pelototan kecil. Aku mendengkus dan meyakinkan ucapanku tidak meleset.

"Ya, tidak sepenuhnya begitu ... kompleks itu mungkin 'agak' lebih di bawah. Dan termasuk fasilitas dan tempatnya juga." Daman berusaha menjelaskan secara hati-hati. Sementara aku memutar bola mata malas melihat reaksi Ibu yang terlalu berlebihan seperti mengangguk patuh dan berkata, oh begitu ya, seperti bocah yang baru saja diberi tahu oleh gurunya saja.

"Pantas beberapa hari yang lalu, kompleks di sana begitu gelap dan sepi," kata Ibu. Kupikir dia saat ini tengah menerawang jauh keadaan kompleks yang miskin itu.

"Itu karena hampir setiap minggu kompleks itu dilanda mati listrik. Apalagi saat cuaca buruk. Bisa sampai tiga hari."

Serously? Seburuk itukah keadaan kompleks tetangga di sana? Aku tidak yakin bisa hidup dalam kegelapan selama berhari-hari.

"Itu kabar buruk sekali. Untung saja rumahnya yang kita tempati cukup bagus." Ibu menghela napas lega. Entah karena merasa kasihan atau memikirkan perkiraan lain, bagaimana jika kompleks kami mati listrik selama itu.

Daman segera pamit dengan senyum kecil, melewati halaman rumah dan meninggalkan jejak-jejak sendal karetnya pada tanah setapak yang basah akibat embun turun begitu berlebihan pagi ini.

Aku dan Ibu saling menatap setelah Daman tidak lagi dalam jangakuan mata kami. Menghilang dari pagar dan jalan kompleks.

"Bagaimana? Kau lihat? Daman baik dan bisa diandalkan. Dia sopan juga bertata rama. Pintar dan bisa melakukan segalanya .... Hey! Layla! Kau dengar Ibu?"

Aku segera berjalan masuk ke dalam rumah setelah bosan mendengar ocehan berlebihan tentang Daman. Meskipun hampir semuanya benar dan aku bisa merasakan yang namanya 'iri' pada seseorang seperti Daman.

Jadi, bginikah yang rasanya dibanding-bandingkan dengan orang lain?

Aku menutup pintu kamarku dengan sekali hentakan dan kembali menjatuhkan tubuhku sebelum mendengmus kesal lalu egera bangkit dari permukaan kasur yang masih lembab dam basah. Sementara indera pendengarku masih mendengar ocehan Ibu dari lantai bawah.

"Jadilah teman Daman! Supaya kau ketularan sikap baiknya!"

Sekali lagi aku benar-benar sudah muak dengan acara menempatkan diri pada kelebihan seperti orang lain. Di sama-samakan. Hingga suara Ibu tidak terdengar lagi. Giliranku menarik napas pelan.

Aku menarik langkahku dan duduk di kursi meja belajar. Merasakan permukaan meja belajarku yang sama lembabnya dan adanya tumpukkan buku.

Belum sama sekali ada niat untuk aku menyentuh lembar demi lembar buku pelajaran. Sepertinya benar, rasa malasku sudah merajalela. Aku harap sarang laba-laba serta debu tidak menjadi hiasan baru di meja belajarku ini. Dan Ibu belum mengetahui jika putrinya belumlah ada niatan untuk belajar. Namun, tiba-tiba sekelebat bayangan terlintas. Tentang sosok hantu gadis itu yang menerorku akhir-akhir ini terlintas dan sukses membuat isi otakku jatuh pada satu topik.

Kenapa hantu itu terus saja menggangguku? Apa dia pikir aku bisa dijadikan semacam teman barunya? Sungguh, meskipun aku benci bersosialisasi dengan manusia, apalagi harus bercengkerama dengan makhluk semacam hantu .... Tentu saja orang gila pun tidak akan mau melakukannya.

Tapi jika sosok itu tengah meminta bantuanku, mungkun saja. Aku masih ingat saat dia meminta pertolongan dengan keadaanya yang seperti itu. Aku tidak yakin mampu. Mengingat kolam itu, bagaimana sosok itu selalu muncul di kolam belakang rumah. Dan aku menyaksikan langsung ketika dia menceburkan dirinya di kolam itu. Lalu, saat aku melihatnya keluar dari kolam dengan tangan menengadah seolah-olah dia memang meminta sesuatu dariku.

Dia meminta bantuanku?

Aku menarik satu buku catatan yang menonjol keluar dari tumpukkan buku lain. Seperti telah ditarik oleh seseorang, padahal tak ada orang lain selain Bi Sum yang selalu aku larang saat ingin masuk ke kamar sekedar membersihkan atau pun menyapu lantai. Tapi apa ada yang lain? Ibuku?

Aku mengerutkan kening saat menarik buku dari buku-buku lain di atasnya. Dan yang membuatku aneh adalah sala satu halaman terlipat dan ketika aku membuka lipatan-lipatan memanjang itu. Mendapati sebuah tulisan hitam dari tinta cair.

Mataku membelalak melihat pensil tintaku bocor, semua tinta hitamnya keluar. Sementara batang pensilnya masih berdiri tegak di dalam tong.

Tidak mungkin!

Aku kembali mengarahkan pandanganku pada halaman kertas dan membaca tulisan pada kertas.

Jauhi dia untukku.

****

THE TALK : Beyond The Water ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang