| Chapter 5 | : Dilemma

33 8 1
                                    

Terbangun dengan pandangan yang tepat mengarah lurus ke atap rumah. Tubuhku terbujur di sofa panjang dengan bantal juga selimut beserta Bibi Sum yang duduk tepat di pinggiran sofa.

"Sudah sadar," ucap Bibi Sum pelan. Aku tidak menjawabnya, hanya mengatur napas. Ingatan tentang sosok mengerikan itu yang kembali muncul dengan tiba-tiba seolah ingin menunjukkan ke-eksistensiannya di rumah ini padaku.

Beberapa menit kemudian, Daman datang dengan segelas air hangat di tangannya. "Akhirnya kau sadar juga." Daman segera menyerahkan gelas itu kepada Bibi Sum. Dengan cekatan dan serta penuh kehati-hatian, Bibi Sum memberikannya ke padaku. Tidak ada protes yang kulakukan, hanya memberi anggukan lemah dan menerima segelas air hangat yang langsung kuteguk hingga tersisa setengah.

"Kenapa tadi bisa pingsan?" tanya Bibi Sum setelah meletakan gelas di meja. Bibirku seakan kelu untuk sekedar menjawab apalagi mencari alasan yang masuk akal. Entah kenapa rasanya sulit jika harus mengatakan yang sebenarnya terjadi padaku. Dan apa yang kulihat beberapa saat yang lalu sebelum jatuh tidak sadarkan diri.

"Hanya pusing, mungkin masuk angin." Bibi Sum mengangguk pelan mendengar jawabanku yang teramat singkat. Dia pamit untuk menyiapkan sup dada ayam jahe yang katanya bisa membuat tubuhku menjadi lebih baik. Bibi Sum pergi, meninggalkan kami berdua-aku dan Daman, masih duduk dengan keheningan. Daman masih menatapku dari sofa tunggal yang didudukinya. Aku memalingkan tatapanku darinya sesegera mungkin. Rasa takut itu masih tersisa.

"Melihat sesuatu bukan?" Aku kembali menoleh ke arah Daman. Dia terlihat mencari kebenaran dari raut wajahku saat ini. Membaca segala yang kucoba tutupi dari semua orang. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Daman. Pria itu seperti memiliki penglihatan yang tajam dan sulit untuk dikelabui.

"Melihat apa maksudmu?" tanyaku seolah-olah tidak tahu.

Daman tersenyum tipis, bangkit dari duduknya. Lebih tepatnya berpindah tempat ke sofa yang lebih dekat denganku. Buku bersampul hitam yang masih dia pegang berpindah pada meja di depannya.

"Apa kau tahu cerita tentang rumah ini?" tanya Daman namun nada bicaranya seperti tengah bersiap menceritakan sebuah kisah menakutkan di dalamnya.

Aku menggelengkan kepala pelan dan Daman kembali mengulas senyum. "Itu bagus, karena akan sangat menakutkan kalau kau mengetahuinya nanti," kata Daman seolah ucapannya mampu membuat siapa saja merinding. Tapi aku malah harus menahan diri agar tidak meninju lenganny itu, karena kesal. Memang sedari tadi aku begitu mendengarkannya dengan serius. Seperti bocah yang telah siap mendengarkan sebuah cerita horor dari sang Kakek.

Wajahku berubah masam. "Terserah kau saja."
Daman malah tertawa renyah. Seolah aku adalah hiburan kecil yang menggelitik di matanya. Padahal jika aku berpikir lebih rasional, seringnya aku membuat ibuku kesal dan setelahnya aku malah menertawakannya. Jadi sekarang, rasanya seperti ini. Tawa Daman berhenti setelah sebuah suara dering yang berasal dari ponselnya. Daman mengangkat panggilan dengan senyumnya yang dilontarkan padaku. Dia ternyata tidak terlalu dingin, sewaktu-waktu. Namun, secara tiba-tiba raut wajah Daman berubah mengeras, ponsel miliknya yang masih menempel di telinga. Aku tidak bisa menangkap siapa yang menghubunginya sekarang? Arah pandangannya begitu lurus ke depan dan dengan jelas kulihat jari-jemari Daman terkumpul dan tak lama berubah menjadi sebuah kepalan tangan. Hanya suara samar dari seberang panggilan yang bisa kutangkap meskipun tidak jelas sama sekali tengah membahas apa sampai Daman bereaksi seperti itu. Hingga pada akhirnya panggilan diputuskan secara sepihak. Daman bangkit, menatapku dengan raut yang seolah dia tengah menutupi reaksinya saat menelpon tadi. Dengan senyum tipis dia berpamitan untuk pulang. Alasannya adalah tugas mendadak dari Dosen crewetnya.

Aku hanya mengangguk seperti bocah kecil yang begitu penurut. Sampai Daman melangkah keluar rumah dan punggung lebarnya tidak kulihat lagi.

Aku mengembusan napas lega. Sekaligus mencerna baik-baik keadaan barusan. Siapa pun tidak akan sebodoh itu untuk mempercayai alasan Daman barusan. Jika air mukanya bisa berubah dengan sedrastis itu. Yang pasti itu bukan tugas yang tiba-tiba datang dari Dosennya. Akan tetapi ada alasan lain yang Daman tutupi.

THE TALK : Beyond The Water ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang