| Chapter 8 | : Cooking! Cooking Heart?

24 9 0
                                    

Daman ternyata pria yang gesit. Bahkan sebelum tubuhku condong ke belakang dan bersiap jatuh ke kolam. Dia menggapai pinggangku lalu mencengkeramnya dengan kekuatan otot-otot tangannya yang luar biasa. Satu tangannya lagi menyelinap di antara samping leher dan dengan gerakan kilat dua tangannya bekerja dengan baik, menarik serta menahan bobot tubuhku agar tidak jatuh. Pada dasarnya tubuhku yang ringan dengan mudah dibanting, sehingga dengan tidak baiknya, tubuh bagian depanku sukses menabrak dada bidang Daman yang keras. Kedua tanganku yang gemetaran
mencengkeram lengan dan kaus berlengan pendek yang Daman kenakan saat ini.

"Kau baik-baik saja?" Aku tersadar setelah beberapa menit masih menempel di tubuh Daman yang cukup hangat kurasakan.

"Ya, ya, ya!" ucapku dengan nada terbata bercampur shock. Menjauhkan tubuhku dari tubuhnya. Berdiri dengan gelagapan dan rasa malu saat dengan tidak tahu dirinya begitu merasakan kenyamana berada di dada bidang pria dengan surai hitam legam itu.

"Maaf, aku mengagetkanmu tadi," katanya beserta wajah yang menampakan rasa bersalah. Aku segera mengalihkan pandangan, mencari letak keranjang pakaian yang tak jauh dari kaki Daman. "Kau hampir saja membuatku terjatuh tahu!" ungkapku dengan raut menolak melihat air. Entah kenapa rasa takut itu kembali hadir.

Daman tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi-giginya yang rapi dan bersih. Aku tidak se-intens ini menatapnya tapi kulihat sepasang gigi taringnya yang mungil dengan bentuk kerucut terlihat manis mencuat dari dereten gigi-gigi lainnya.

"Aku tidak berniat mengagetkanmu. Tadi kulihat kau sangat serius menatap ke arah kolam itu. Tapi ... ternyata kau benar-benar kaget sebelum aku menyapamu lebih dulu." Satu tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya. Aku berdecak seolah-olah tidak membiarkan permintaan maaf dari Daman bisa kuterima begitu saja. Sepertinya aku ingin bermain-main dengan momen bagus seperti ini.

"Kalau begitu, sebagai permintaan maaf aku akan membuatkanmu makanan yang enak, bagaimana?"

Aku menarik alisku ke atas seolah penawarannya barusan begitu menusuk hati. Bukannya apa, tapi Daman seolah menjadi pria yang nyaris sempurna. Tampan, baik, rendah diri, tubuhnya sudah cocok menjadi model majalah pria musim panas ditambah lagi Daman bisa memasak. Aku berkali-kali mengeluh dalam hati. Sebagai seorang wanita yang pemalas dan tidak pandai memasak. Apa masihkah harus hidup di dunia yang tidak adil ini? Mempertahankan rasa maluku dihadapan pria sepertinya?

"Bukannya tidak sopan, tapi tadi aku lihat
meja makanmu kosong. Sepertinya Bibi Sum juga tidak datang hari ini, jadi kutawarkan jasa memasakku hari ini."

"Oke," kataku singkat. "Asal harus enak ya," kataku menunjuk tepat ke arah wajahnya. Bukan wajah, karena tubuhku pendek dan Daman begitu menjulang tinggi, jadinya telunjukku malah mengarah ke dada bidangnya. Daman mengangguk dengan mempertahankan senyum di wajahnya.

***

Aku memperhatikan setiap gerak-geriknya, saat dengan serius menyiapkan bahan-bahan untuk membuat masakan yang katanya akan membuatku jatuh hati. Dapat dilihat dari sini jika Daman begitu mahir bermain di dapur.

Sementara aku duduk manis di kursi meja
makan. Jaraknya dari dapur hanya beberapa meter dan aku bisa dengan jelas melihat bagaimana Daman memasak. Hanya terhalang meja dapur itu sendiri. Dan kami bisa saja saling menatap satu sama lain jika ingin. Satu orang sibuk memasak dan satu orang lagi menunggu dengan penuh cinta. Menjijikkan sekali adegan seperti itu setidaknya bisa lebih baik jika aku berada di sana. Bukan pria bernama Daman itu yang harusnya memasak.

"Aku mau memasak ayam goreng bumbu
merah, kau suka pedas?" tanyanya, setelah mengangkat satu kotak kecil transparan berisi paha dan dada ayam.

"Suka," jawabku dengan bahu terangkat.
Sementara jari-jariku mengetuk meja makan dengan taplak berbahan licin dengan motif bunga aster. Daman mengangguk dengan senyum tipisnya. Lalu, sibuk mengeluarkan bagian-bagian daging ayam dari kotaknya. Mencucinya dan mulai sibuk memotong beberapa akar bumbu.

"Apa kau datang ke sini ... atas permintaan ibuku lagi?" tanyaku setelah beberapa menit adanya keheningan. "Maksudku ... well menjagaku lagi, padahal aku sudah sebesar ini."

Daman tertawa singkat sebelum menaruh
teplon di atas kompor. "Begitulah," katanya mengangkat bahu seolah memang biasanya dia melakukan itu—jasa menjaga orang lain, mungkin.

Aku memutar bola mataku kesal. "Kenapa kau mau? Kau dibayar berapa oleh ibuku?" tanyaku lagi dengan nada sedikit sinis. Jangan bilang jika Daman akan menjadi Ayah tiriku sampai di bagian sini. Memikirkannya saja membuatku ingin muntah.

Pria itu segera menggelengkan kepala pelan dan masih dengan senyumnya. Sejenak aku bertanya-tanya apa dia tidak lelah terus saja mempertahankan senyum itu di wajahnya?

"Karena aku mau, tidak ada kegiatan yang bisa kulakukan di rumah."

Jawaban yang aneh dan ambigu menurutku. Alasan konyol apalagi ini? Tidak punya hal yang bisa dia lakukan di rumah? Padahal setahuku pria malah tidak suka hal seperti ini. Pria bukannya lebih suka berpergian seperti memancing, berolahraga, mencari tempat berfoto dengan pemandangan keren atau sekedar bermain bersama teman sebayanya.

Bukannya menghabiskan waktu menjadi suruhan seorang janda dengan satu anak yang hampir dewasa. Apa Ibu tidak khawatir jika terjadi sesuatu dengan putri satu-satunya ini? Mendadak aku merasa ngeri hanya dengan memikirkannya saja. Refleks aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Seolah tengah melindungi diri dan mulai berhati-hati. Sialnya Daman memperhatikanku pada saat yang bersamaan. Dia sontak tertawa renyah dan berujar "Oh, aku tidak berencana menjadi pria brengsek." Aku merutuki diri sendiri. Apa dia barusan membaca apa yang kupikirkan?

"Tidak!" kataku sedikit lantang. Lalu,
membisik dengan ragu."Tapi bisa saja, 'kan. Kau bukan orang yang lama kukenal?" Daman terlihat menghentikan senyumnya. Ada raut aneh di wajahnya sebelum kembali lagi tersenyum.

"Kalau begitu, mari saling mengenal lebih
dekat lagi," katanya. Baru kali ini aku merasakan seluruh tubuhku merinding mendengar jawaban Daman. Ternyata pria bisa mempengaruhi wanita hanya dengan ucapan sesantai itu.

Jangan bawa perasaan! pekikku dalam batin. Lagi-lagi Daman tertawa melihat wajahku yang panik dengan kedua tangan yang masih menghalangi dadaku.

"Tenang saja, aku tidak akan bertindak seperti apa yang ada di kepalamu."

Ada rasa lega yang terbuka sedikit di dadaku. Mendengar Daman berkata setulus barusan. Dia kembali menyibukkan dirinya dengan menggoreng daging ayam. Sementara aku hanya bisa terdiam dengan kedua tangan berpangku di meja. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menatap Daman dengan aktivitasnya di dapur. Beberapa kali terkesan, karena begitu lihainya Daman saat menggunakan pisau dan menggoyangkan teplon yang berisi potongan daging ayam.

Semerbak harum nikmat memasuki indera penciuman. Bahkan tanpa sadar liur di dalam mulut seakan mengumpul. Cacing-cacing yang sejak pagi belum diberi asupan apa pun akhirnya bersuara cukup kencang, bahkan aku harus mencari pengalihan karena malu.

Daman datang dengan semangkuk besar berisi daging ayam panas berbumbu merah menyala. Dipastikan membuat perutmu meronta-ronta setelah memakannya. Tapi tak dapat dipungkiri jika lidahku sudah tidak sabar untuk menyantapnya. Daman meletakkannya di atas meja, tepat di depanku. Dengan sepasang sendok dan semangkuk nasi putih yang masih mengepul.

"Kau harus memakannya dengan nasi, agar perutmu tidak terkejut setelah makan yang pedas seperti ini." Aku bahkan belum mencobanya, tapi tubuhku seakan meleleh mendengar perkataan Daman yang keterlaluan sekali.

"Kau tidak makan?" tanyaku sebelum
menyantap makanan buatannya. Daman menggeleng pelan. Kedua tangannya bersedekap di atas meja. Karena kami berdua tengah saling berhadapan. Dan hal itu, membuatku agak risi. Apalagi saat ucapan yang keluar dari bibir Daman, membuatku ingin berlari dari kursi saat itu juga.

"Melihatmu makan saja, aku sudah kenyang, jadi cepat habiskan."

****

THE TALK : Beyond The Water ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang