| Chapter 13 | : I Can See You

14 6 0
                                    

Ibu telah datang dan sepertinya aku sudah menjadi seperti bocah yang suka merengek di atas kasur. Dengan lubang hidung yang basah, mata memerah dan suhu tubuhku mendadak panas. Kompres air es yang diletakan di dahi sudah tak terasa berguna lagi. Badanku masih terasa panas.

"Kenapa bisa jatuh segala?" Ibuku mulai mengganti kain kompres dengan kain baru. Aku segera mendelik, menyingkirkan tangan panjang dan lentik milik Ibu yang tengah sibuk menempelkan kompres baru yang kuanggap terlalu becek.

"Pokoknya aku mau pindah dari rumah ini. Ibu dengar, kan?" kataku entah sudah berapa kali mengucapkannya. Namun,  justru aku tidak menceritakan tentang gadis yang kulihat di dalam air kolam tersebut. Karena aku yakin, dia adalah sosok yang sama dengan si pengganggu itu. Suara desahan singkat dari bibir Ibu membuatku bisa membaca apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Sudah tak ada lagi uang tabungan yang tersisa untuk bisa menyewa rumah baru, tidak cukup Layla," katanya gusar.

Aku tidak seharusnya kecewa atau memekik tak suka, apalagi mengamuk. Aku cukup sadar bagaimana tanggungan Ibu saat ini. Tidak ada pilihan lain selain menerima semua yang ada di sini. Mungkin jika yang terjadi tidak akan terulangi maka aku akan baik-baik saja.

Ibu beranjak pergi dari kamarku, setelan
formalnya masih melekat di tubuhnya. Setelah beberapa jam yang lalu, Ibu sudah tahu apa yang terjadi hari ini padaku, dia berlari ke kamar dan menyerbuku dengan seberondong pertanyaan, apa kau baik-baik saja?

Tak lama setelah dia mengetahui bahwa Daman yang menolongku, ibu terlihat bisa bernapas lega. Dia pergi sebentar ke luar, jika kutebak bahwa Ibu pergi menemui Daman dan dia pasti memberi banyak terima kasih padanya, mungkin begitu. Ya, memang seharusnya begitu. Entahlah, jadinya aku kepikiran tentang Daman. Setelah pergi siang tadi, aku tidak melihat batang hidungnya lagi.

Apa Daman marah? Padahal aku hanya bilang ingin keluar dari rumah ini, itu saja. Kenapa reaksinya bisa seberlebihan itu, aneh? Tentu saja aneh.

Jam weker bisu yang diletakan di nakas menunjukkan malam telah datang. Aku mencari letak yang nyaman di kasur. Meskipun sesak dan penuh, karena kehadiran dua buah selimut dan sebuah boneka beruang besar yang aku lupa sebutkan di awal kepindahan kamu. Dengan noraknya, ibuku membelikannya untukku. Bukan, lebih tepatnya ada seorang pria yang memberinya secara cuma-cuma.

Aku tidak yakin bahwa itu hanya sekedar hadiah gratisan. Melainkan ada hal lain yang pria itu inginkan dari ibuku. Apalagi aku mengetahuinya dari mulut Ibu sendiri bahwa pria itu baru saja bercerai dengan istrinya. Hanya dengan memikirkannya saja membuat perutku diserang rasa mual.

Waktu tengah malam mulai datang, aku tidak yakin bisa tidur malam ini. Aku tidak merasa mengantuk, kecuali seluruh tubuhku mulai terasa membaik. Terlebih rasa pening di kepala mulai menyerang. Membuat mataku mengerjap dan tanpa sadar kugigit bibir bawahku, menahan rasa sakit. Semakin pening hingga harus kutahan mati-matian.

Apa sehabis tenggelam akan mengalami pening separah ini? Mataku kembali terpejam dan terbuka.

Terkejut ketika aku sadar dan melihat ke sekitar ruangan kamar. Melihat kamar ini berubah kusam dan sejenak seperti bukan kamar yang kutempati. Lebih mirip sebuah ruangan yang ditinggalkan sudah lama.

Aku duduk di ranjang sendirian. Tapi mataku panik mencari-cari kebenaran dari apa yang kulihat sekatang. Pintu kamar seolah lenyap berganti dengan dinding-dinding kusam berlumut hijau dengan banyak tetes-tetes cairan hitam berbau seperti lumpur. Aku memandang semua itu dengan panik, menoleh ke sana ke mari seperti orang bodoh, atau lebih tepatnya seperti dijebloskan ke dalam dunia asing.

"Layla ...."

Katakan bahwa aku hampir saja menjerit. Jika aku punya gerakkan refleks paling baik. Maka saat itu juga aku akan meloncat dari tempat tidur dan mengangkat kedua tangan beserta kedua lututku yang mulai bergetar.

Aku menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namaku barusan. Dan lagi-lagi aku harus mendapat rasa kejutku yang bisa dikatakan berlebihan sepanjang hidupku.

Kedua mataku membulat besar. Aku melihatnya!

Gadis yang kulihat ikut tenggelam itu, kini tengah berdiri tak jauh dari ranjangku. Tubuhnya yang kurus berbalut gaun tidur putih yang bersih, tak bergerak dari tempatnya. Melainkan dia menatapku seolah akulah yang dia harapkan akan sesuatu.

"Tolong aku!" kata gadis itu dengan wajah piasnya.

Tubuh ringkihnya bergetar dengan wajah menunduk. Dia menangis, terisak dan aku tidak tahu harus berbuat apa untuknya. Aku takut untuk menyuarakan ucapanku selain diam membatu dan meremas sisi selimutku dengan rasa takut.

Tiba-tiba satu tangannya bergerak lurus ke arah jendela. Menunjuk sesuatu. Tapi sayangnya aku tidak mengerti apa yang dia inginkan. Aku hanya mengikuti arah telunjuknya dengan hati-hati.

"Layla!"

Aku terlonjat kaget lebih buruk dari sebelumnya. Kulihat Ibu telah berdiri di depan pintu, bersama mata tajamnya yang mengarah padaku. Ibuku membawa sebuah mangkuk di tangannya. Aku yakin itu adalah nasi lembek yang semua orang sebut bubur.

"Kau masih suka melamun?! Di saat sakit
seperti ini juga!"

Seperti biasa, dia sangat benci memergoki Aku masih menyadarkan diri dengan sisa keterkjutanku tadi. Ruangan tadi seolah lenyap, dunia lain yang kulihat itu tiba-tiba hilang tak berbekas. Bersamaan dengan Ibu masuk, melangkah ke kamar dan meletakkan semangkuk bubur polos dengan taburan bawang goreng yang bisa kucium aromanya.

"Makan dan nanti langsung tidur. Jangan bertingkah macam-macam lagi. Ingat, kau sudah dewasa."

Aku mengangguk, menginstrupsi pandanganku agar mengitari sekitar kamar untuk kedua kalinya. Pandanganku terhenti pada jendela yang tadi ditunjuk gadis itu sebelum menangis dan menghilang. Perkataannya masih kuingat sampai sekarang, bahkan dia memanggil namaku seolah di telah memperhatikanku selama tinggal di sini. Memang benar begitu adanya bukan.

Gadis itu, ah bukan, hantu itu meminta
bantuanku?

Aku tidak berpikir bahwa saat ini hantu itu tidak akan menggangguku lagi kecuali aku berbalik padanya dan dengan senang hati membantunya.

Betapa konyolnya itu, hantu meminta tolong padaku? Ah, apa mungkin aku masih sering berhalusinasi. Lebih tepatnya halusinasiku bertambah buruk karena tadi siang hampir saja mati tenggelam di dalam kolam sialan itu.

Aku meraba kepalaku yang entah mengapa rasa peningnya belum hilang. Aroma bubur di atas nakas membuat perutku mual tak karuan. Meskipun pada akhirnya aku didera rasa haus dan tidak menemukan air di kamarku, kecuali gelas kosong. Apa Ibu lupa membawakanku air? Malas sekali jika harus turun dari ranjang, keluar dari kamar, menuruni tangga dan masuk ke dapur. Sehingga berdiam diri di kamar selama satu jam penuh sukses membuat rasa kesal menumpuk.

Hari ini lbu juga tidak banyak bicara kecuali mengetahui putrinya hampir meregang nyawa di kolam belakang rumah tadi siang. Dia pasti kelelahan. Jadi, kuambil langkah keluar kamar, dan menuruni tangga sambil sesekali menarik napas, akibat rasa sesak bercampur perih yang kurasakan di dalam dada. Sesampainya di dapur aku segera menyambar gelas dan mengisinya dengan air. Meneguknya perlahan, karena tenggorokanku masih trauma jika harus menelan zat cair itu lagi. Hingga acara minumku selesai dan berniat pergi dari dapur. Tiba-tiba terdengar suara ketukan yang cukup nyaring. Langkahku pun terhenti saat itu juga. Aku menajamkan indera pendengaranku. Mencari arah sumber suara itu. Dan tanpa sadar atau terdorong rasa penasaran.

Tubuhku bergerak mencari asal muasal suara ketukan, lebih tepatnya seperti suara benturan dua buah benda.

Tungkai kakiku terhenti setelah tahu di mana aku berada sekarang. Tepat di depan pintu yang menghubungkanku ke halaman belakang. Gemetar tubuhku menjadi-jadi, tapi tanganku menginginkan hal lain. Sekarang aku sudah mencengkeram knop pintu dan dengan susah payah mendorongnya ke luar. Sehingga aku bisa melihat dengan leluasa halaman belakang rumah.

Meskipun sedetik kemudian aku menyesali perbuatanku dan segera menutup pintu itu kembali. Karena yang aku lihat adalah sosok gadis itu lagi tengah berdiri tegang dengan  kepalanya yang dia benturkan berkali-kali ke tiang teras.

****

THE TALK : Beyond The Water ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang