BAB 10

3.6K 278 0
                                    

Sesuai dengan perintah kakaknya ranti sudah meninggalkan ruangan kania untuk segera pulang. Ia juga merasa bahwa dirinya memang harus segera pulang karena tubuhnya sudah merasa lengket oleh keringat.

Kini kania hanya bersama dengan dokter gilang dan lingga diruangannya.

Setelah beberapa hari dirumah sakit akhirnya kania sudah diperbolehkan pulang. Meski kania sudah cukup sehat dan kandungannya baik-baik saja Ranti menyarankan agar kania tinggal dirumah mereka saja. Supaya ranti bisa menjaga kania dengan baik jika kania tinggal di kos sendirian akan sulit nantinya jika terjadi sesuatu.

"Mbak kania mau tidur bareng ranti atau di kamar lain? Atau di kamar mas lingga aja.." ujar ranti sambil menggoda.

Mendengar perkataan adiknya lingga melotot tajam. Mana mungkin ia sekamar dengan wanita yang tanpa sebab di benci olehnya itu.
Apalagi mereka belum sah menjadi suami istri.
(Kampret memang si lingga ini.. uda di ehem-ehem dia masih mikir soal sah-sahan segala)

"Mbak tidur di kamar kamu aja ya ranti.. mbak gak berani kalo tidur sendirian dirumah orang lain.." ujar kania yang tengah duduk di kursi roda.
Jadi ada dua wanita yang kini duduk di kursi roda.

"Ehh gak boleh gitu ngomongnya mbak.. karena bentar lagi kan rumah ini jadi rumah mbak kania juga.. iya kan.." ujar ranti sambil menggenggam tangan kania.

Kania hanya tersenyum kikuk mendengar perkataannya ranti. Entah ia harus bahagia atau tidak bagaimana pun dirumah ini lah kejadian menyakitkan itu terjadi dan tersangkanya kini berdiri tepat di hadapannya.

Membayangkan menikah dengan seseorang yang telah menyakitinya kania merasa apakah nantinya ia mampu untuk menjadi istri dan ibu yang baik.

Saat mengingat kata ibu, kania jadi teringat dengan keluarganya di kampung. Jika ia menikah dengan lingga nanti bagaimana ia mengatakannya dengan keluarganya.
Bukankah terlihat aneh jika tiba-tiba ia meminta izin untuk menikah.
Jika ia mengatakan semua dengan jujur apakah mungkin ia diizinkan menikah nantinya.

"Saya mau bicara dengan kamu.." ujar lingga mendadak.
Kania merasa sedikit takut dengan raut wajah lingga yang tampak serius, kania jadi mengingat kembali bagaimana raut wajah lingga pada malam itu.

Ranti langsung izin pamit ke kamarnya ia paham bahwa kakaknya hendak membicarakan soal pernikahan mereka. Jadi ranti berfikir sebaiknya ia menyingkir, namun ternyata kania tidak siap jika harus berduaan dengan lingga. Kania meminta ranti untuk tetap tinggal di dekatnya tapi ranti menggeleng kepalanya dan meyakinkan kania bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kamu takut dengan saya?" Tanya lingga yang menyadari raut wajah kania yang terlihat ketakutan.

Kania menjawab hanya dengan gelengan kepala.

"Mas lingga mau bicara apa?" Tanya kania canggung.

"Kamu sudah dengar kan dari ranti.. kalau saya akan menikahi kamu.."

"Iya mas.."

"Kalau begitu kapan saya bisa datang menemui orang tuamu?"

"Terserah mas saja.."
Kania menjawab pertanyaan lingga dengan singkat, ia hanya menjawab tanpa menanyakan hal apa pun. Seharusnya banyak pertanyaan yang harus di lontarkan olehnya. Namun ia seperti tidak memiliki keberanian sama sekali.

CINTA KANIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang