Ryu melirik lalu kembali menatap danau. "Dia jauh lebih kuat dariku saat ini, karena dia sendiri adalah rasa dendamku. Bagaimanapun, dendamku itu sudah kupendam sangat lama, kebenciannya pasti sangat kuat. Kau ingat tongkat yang pernah kau beli dari seorang pak tua? Bisa kulihat lagi?"
Raulla tampak bingung tapi menuruti Ryu. Dia akhirnya mengeluarkan tongkat itu dan menunjukkannya pada Ryu. "Tongkat ini bernama Tongkat Adam. Ini merupakan simbolis dari kontrak antara aku dan para bawahanku. Aku memiliki lima orang lain pemegang Tongkat Adam selain dirimu. Sekarang, aku akan bertanya, apakah kau ingin tetap menjadi bawahanku dan memegang tongkat ini? Aku bisa memberimu yang lebih baik daripada tongkat ini."
Raulla menundukkan kepalanya sejenak sebelum kembali mendongak dan berkata, "Tidak. Aku akan memakai tongkat ini saja." Raulla mengangkat tongkat berwarna emas di tangan kanannya dan menggenggamnya erat.
Ryu melirik Raulla dengan tatapan aneh. "Kau aneh, kenapa menerima tawaran itu. Padahal kau bisa bebas, tetapi memilih menjadi bawahan orang sepertiku. Tapi, baiklah. Kalau begitu sekarang kau adalah bawahanku?"
"Iya, Tuan Ryu," kata Raulla sambil tertawa kecil.
Ryu mendengus dan melirik ke arah langit yang penuh dengan bintang. Dia lalu mengangkat tangannya dan membuka telapak tangannya lebar-lebar, kemudian dikepalkan. Elf itu kemudian berdiri, menatap Raulla dan menyodorkan tangannya.
"Untuk sekarang, mari kita kembali dulu. Kucing itu pasti sedang berguling-guling kelaparan sekarang. Setelah beristirahat sebentar, kita akan melanjutkan pelatihannya. Kau pasti letih seharian bertarung,"
Raulla tersenyum dan meraih tangan Ryu sembari berkata, "Kalau begitu, kenapa tidak memberiku libur? Kalau kau memang ingin aku beristirahat."
"Jika begitu, maka kau akan semakin lama menjadi kuat. Bukankah kau sudah merasakan perbedaannya? Sebelum kau melawan hewan-hewan itu dan setelahnya." Ryu lalu menarik Raulla dan menyuruh gadis itu memimpin jalan.
"Tuan Ryu, apakah menaikkan kemurnian sirkuit sihir setelah menembus batas 70% memang sesulit itu?" tanya Raulla bingung.
"Kau benar, batas 70% merupakan dunia baru bagi penyihir. Wajar jika sangat sulit untuk menaikkan kemurnian, bahkan jika itu hanya sepersen. Kau sudah merasakannya sendiri, butuh banyak usaha hanya untuk menaikkan kemurnian sirkuit sihir. Maka dari itu, aku memberimu latihan yang lain," jelas Ryu.
Raulla mengangguk paham dan melihat ke arah cahaya di kejauhan. "Apakah Byakko juga tahu soal Tongkat Adam?"
Ryu melirik dingin dan menjawab, "Tentu saja. Sabit yang dia pakai juga merupakan Tongkat Adam. Kau masih bertanya saat jelas-jelas dia merupakan salah satu dari lima bawahan yang tadi kubilang."
Raulla menggeleng pelan dan berkata, "Benar juga."
Ryu melihat ke sisi lain, tersenyum tipis kemudian kembali menunjukkan wajah datar. Beberapa langkah kemudian, mereka akhirnya tiba di perkemahan dan melihat Byakko sudah meringkuk, tertidur pulas dengan selimut putih yang melindunginya dari udara dingin. Api unggun mengeluarkan hawa hangat beberapa senti dari tempat Byakko tertidur.
"Rupanya dia sudah tidur," gumam Ryu, "Padahal hari baru saja berganti menjadi malam. Tapi dia sudah tidur."
Raulla tersenyum tipis dan duduk di dekat perapian. Mengambil sebongkah daging dan mengambil sebuah botol kaca dengan cairan berwarna cokelat tua. Dia lalu mengambil sebatang kayu yang masih bersih kemudian mengupas kambiumnya lalu meruncingkannya. Raulla menusuk daging-daging itu dan membakarnya di atas api unggun setelah dicelupkan ke cairan berwarna cokelat tua.
"Duduklah di sini, Tuan Ryu. Aku akan membuatkan kalian makanan. Ah, bisa kau ambilkan gandum di tasku?" pinta Raulla tanpa melepaskan pandangannya dari daging yang sedang ia bakar.
Ryu mendengus dan meraih tas besar milik Raulla lalu memasukkan tangannya ke dalam. Setelah merasa mendapatkan yang dia mau, Ryu mengangkat sekarung gandum dan meletakkannya di hadapan Raulla.
"Terima kasih."
Ryu menyenderkan dagu dan memutuskan untuk duduk di samping Raulla. Dia lalu membantu Raulla dengan membuat api untuk gandumnya. Beberapa kali pandangan mereka bertemu. Tatapan dingin Ryu masih tidak berubah, tetapi kini intensitasnya sangat banyak berkurang.
Mencium bau harum masakan, Byakko terbangun dari tidurnya dan melihat Ryu dan Raulla sedang memasak. Byakko lalu tersenyum lebar dan berjalan ke arah mereka sebelum mendudukkan tubuhnya di pangkuan Raulla.
"Aku akan membantu juga!"
Byakko lalu mengambil sebuah batang yang berukuran sedang dan melubangi tengahnya sebelum menggunakannya untuk meniup api yang dihidupkan oleh Ryu tadi. Ryu menatap gadis kecil itu dengan tatapan tajam. Tetapi, gadis bertelinga harimau itu mengabaikan Ryu dan tetap meniup api tadi.
Beberapa saat setelahnya, mereka semua telah selesai melakukan pekerjaan masing-masing dan menenteng mangkuk kayu, lengkap dengan sendok yang juga berbahan dasar kayu. Mereka lalu makan bersama di bawah cahaya rembulan dengan suara serangga yang menjadi pengiring, kecuali Ryu yang malah berbaring menghadap ke rembulan.
"Oh ya, Nona Byakko. Apakah kau langsung tahu siapa aku begitu melihat Tongkat Adam?" tanya Raulla di tengah-tengah makan.
"Kau benar. Aku merasakan aura Tongkat Adam darimu, jadi aku langsung tahu jika kau adalah bawahan Tuan Ryu yang lainnya. Ngomong-ngomong, panggil saja aku Byakko. Kau membuatku terlihat tua jika menambahkan kata 'nona'," balas Byakko.
"Apakah tidak apa? Anda tidak keberatan jika manusia seperti saya memanggil Anda tanpa sebutan kehormatan?"
"Santai saja."
"Tapi, aku tetap tidak enak jika memanggil Anda tanpa sebutan kehormatan."
Byakko menatap Raulla tajam lalu sedikit membanting mangkuk kayu yang dia bawa. "Jika kau tetap memanggilku dengan sebutan 'nona', aku akan marah. Jika aku marah, maka aku tidak tahu apa yang akan kulakukan padamu."
"Baiklah baiklah, maafkan aku."
Dua orang itu segera menghabiskan menu makan malamnya dan menaruh mangkuk kayu tadi di dekat tenda terdekat. Raulla lalu berjalan ke arah Ryu yang tampak sedang memejamkan mata, menikmati sepoi angin malam di bawah cahaya temaram bulan.
Gadis itu duduk di samping Ryu, turut menikmati sepoi angin. Elf berkulit cokelat muda itu perlahan membuka matanya, menampilkan iris birunya yang bersinar memantulkan cahaya bulan. Dia menoleh dan menatap Raulla. Menampilkan senyum datar, kemudian kembali memejamkan mata.
"Suasana hutan di malam hari, memang yang terbaik. Cahaya temaram bulan, sepoi angin, dan juga suara serangga yang saling bersahutan. Seakan alam berkata 'mari sejenak lupakan masalah dan nikmati apa yang Dewa beri'," kata Raulla sembari mengangkat tangannya, membuka telapak tangannya ke arah atas, menikmati angin yang melewati tubuhnya.
"Kau benar."
Ryu berujar tanpa membuka mata. Rambut hitamnya bergerak ke kanan dan ke kiri akibat angin yang berhembus. Pakaiannya sedikit tersingkap, jubahnya bergerak ke arah depan dan belakang. Dia kembali membuka matanya perlahan, mengambil posisi duduk kemudian menatap dalam ke mata Raulla.
"Kau ingat, kan? Kita masih memiliki latihan lagi, ayo," ujar Ryu sembari beranjak dari posisi duduknya. Disusul Raulla yang sudah membawa tas kecil berisi ramuan penyembuh dan tongkat sihirnya. Mereka berdua berlari menembus gelapnya malam menuju ke bukit kecil di sisi selatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassanova: Akar Masalah
Fantasy[TRILOGI CASSANOVA-BOOK 1] FANTASY-ROMANCE Beberapa chapter memiliki unsur kekerasan, dimohon kebijakan pembaca dalam menyikapi. Terima kasih. BEST RANK [24-04-2021] #2 in Magical Realism #4 in Dwarf #11 in Duniaparalel #13 in Otherworld #14 in Ca...