Ryu lalu membalik halaman buku ke lembar selanjutnya dan mempertemukan ujung ibu jari dan jari tengahnya. Energi sihir besar terasa dari dua jari itu dan berkumpul membentuk bola-bola kecil.
Si elf beriris biru lalu menarik napas panjang dan meniupnya. Siulan keras terdengar bersama dengan kerlap-kerlip empat warna yang menyebar ke segala sisi hutan. Selepas itu, Ryu menjentikkan jarinya dan membuat pelindung transparan di sekitar mereka berdua.
Raulla meningkatkan kewaspadaannya saat merasakan banyak aura hewan sihir yang datang. Sedangkan Ryu menatap dingin ke satu titik di mana aura kuat dan penuh dengan rasa haus darah datang.
"Kau urus sisanya, aku akan mengurus yang itu."
Raulla hendak melayangkan protes tetapi Ryu telah mengeluarkan sebilah pedang. Berbilah emas dengan sebuah batu sihir berwarna-warni di tengah gagangnya, tampak sangat elok dipadukan dengan visual sedingin es milik Ryu.
Pria itu melesat dan meninggalkan Raulla dengan kerumunan hewan sihir. Beberapa dari mereka berhasil masuk, sedangkan sisanya tertahan di luar pelindung. Gadis itu segera mengeluarkan tongkat sihirnya dan merapalkan mantra.
Angin puyuh tercipta di sekitar hewan sihir tadi dan mengangkatnya terbang. Suara debuman keras menjadi akhir dari riwayat mereka bersama dengan kepala yang pecah karena menghantam tanah. Raulla menarik napas panjang dan hendak beristirahat, tetapi kloter kedua segera datang.
Sapuan angin menghancurkan kloter kedua, tetapi kloter berikutnya datang. Tak terhitung berapa kali Raulla mendapatkan goresan di sekujur tubuhnya. Area perutnya kini bahkan sudah penuh dengan warna merah.
Saat pandangan gadis itu sudah mulai memburam, sapuan lidah api menghabiskan para hewan sihir yang tersisa di luar penghalang. Sang elf berambut hitam datang dengan wajah yang sudah penuh dengan darah merah, membuat kesan kejam datang darinya.
"Kerja bagus sudah berhasil bertahan dengan ujian kecil yang kuadakan. Setidaknya kau tidak selemah itu," kata Ryu dengan senyum sinis. Elf itu menyapukan tangan dan membuat hewan sihir yang tersisa membeku sekaligus memadamkan kebakaran yang dibuat olehnya.
Elf itu menepuk penghalang transparan itu dan membuatnya hilang. Dia lalu mengangkat sudut bibirnya dan menembakkan sebuah bola berwarna emas. Saat bola itu mengenai kulit Raulla, luka di seluruh tubuhnya segera sembuh dengan kecepatan yang dapat dilihat oleh mata telanjang.
"Kau baik-baik saja bukan?" Senyum sinis kembali muncul di wajah Ryu.
Raulla menarik napas panjang dan menatap tajam ke arah Ryu. Wajahnya berwarna merah, dengan bau amis menyengat. Tangannya yang semula berpegang erat pada tongkat sihirnya perlahan dapat dilepas.
"Kau gila! Bagaimana bisa kau meninggalkan seorang gadis dalam kerumunan hewan sihir yang beringas, dan kau berkata ini hanya ujian kecil!? Kau benar-benar seorang psikopat gila!"
"Ya, aku gila. Dan ke depannya aku bisa membuatmu makin gila, tapi kau bisa apa? Kau sudah berkata di dalam kontrak menerima segala metode pelatihan, dan ini adalah metode pelatihanku." Ryu menarik kedua tangannya dan disilangkan di depan dada.
"Kontrak kita selesai, cukup hari ini aku merasakan perbuatan gilamu itu. Dasar psikopat!" Raulla menarik tubuhnya dan berjalan terseok-seok mendekat ke arah Ryu. "Aku menyesal sudah menerimamu menjadi pelatih sihirku. Kuharap ini adalah pertemuan terakhir kita."
"Kenapa dia kejam sekali sih!?" ucap Raulla dengan sedikit berteriak.
Raulla sedikit melempar tas dimensinya ke ranjang dan merebahkan diri. Pakaiannya yang berbau amis sudah ditanggalkan, diganti dengan kaus dan celana pendek. Netra ungunya menatap langit-langit kayu kamar, sedikit resah dengan biaya denda jika dia benar-benar membatalkan misi.
"Sepertinya biaya pembatalan misi tidak akan murah," ujar Raulla lirih. "Itu pun jika ada, tetapi sepertinya tidak akan ada biaya denda."
Raulla memasang raut bimbang dan mengganti posisi tidurnya pelan. Dia menatap ke arah bulan yang bersinar redup di balik bangunan tinggi. Gadis berambut putih itu memejamkan matanya dan sedikit bergumam. "Dewi Echtes, apa yang harus kulakukan dengan hal ini? Haruskah aku melanjutkan latihan dengan elf psikopat itu?"
Dia lalu bangkit dengan wajah yang penuh dengan keterkejutan; matanya membelalak, alisnya terangkat dengan mulut yang terbuka lebar. "Aku lupa jika minggu ini aku belum ke kuil! Maafkan aku, Dewi Echtes, aku akan mengunjungi-Mu besok."
Raulla membetulkan posisi bantalnya dan kembali berbaring. Menghilangkan seluruh beban pikiran dan terlelap memasuki dunia yang penuh dengan warna; dunia mimpi.
***
Seorang gadis berlari dengan sebuah kantung penuh roti mentega di tangan kanannya. Kakinya berderap memasuki sebuah bangunan berbentuk segi enam yang menjulang tinggi dengan ujung yang mengerucut. Lambang mainan anak kecil terpampang di atas salah satu pintu masuk bangunan itu.
Raulla mengambil napas panjang dan berjalan memasuki pintu masuk dengan lambang mainan anak kecil tadi. Sebuah patung yang menampakkan seorang wanita dengan banyak mainan anak kecil di sekelilingnya menjadi pusat dari ruangan itu, dengan sebuah perapian di depannya.
"Dewi Echtes, maafkan anak ini karena tidak mengunjungi Anda minggu lalu. Sebagai gantinya, biarkan anak ini memberikan sekantung roti mentega untuk Anda nikmati. Mungkin tidak seberapa, tetapi anak ini harap Dewi menyukainya."
Raulla menangkupkan tangan dan memejamkan matanya. Dewi Echtes, anak ini berharap Anda dapat membantunya melupakan masa lalunya yang buruk. Semoga Anda mendengar doa anak ini.
Raulla lalu menaruh sekantung penuh roti mentega yang sedari tadi dia bawa ke perapian. Api merah itu perlahan melahap roti-roti yang diberikan Raulla dan mengubahnya menjadi abu hitam.
"Terima kasih atas berkah Anda, Dewi Echtes. Anak ini meminta izin untuk undur diri."
Raulla memberi hormat dan berjalan cepat meninggalkan bagian dalam bangunan itu. Rasa lega menyelimutinya saat Raulla telah keluar dari kuil. Matanya bergerak ke segala arah hingga dia menemukan sosok yang familiar sedang berdiri membelakangi dirinya.
"Bukankah itu si elf psikopat? Sedang apa dia di depan ruangan Dewi Minas?"
Raulla menggelengkan kepala dan berjalan tanpa memedulikan Ryu. Tetapi, secara tiba-tiba tangannya dipegang dan ditarik oleh seseorang. Tidak siap, Raulla tertarik ke arah orang yang menariknya.
"Apa-apaan! Hei, kau sungguh kurang ajar! Menarik seorang gadis sembarangan, apakah kau sudah kehilangan sopan santunmu!" Raulla berteriak dan menatap ke wajah orang yang menariknya. Telinga lancip, dengan rambut hitam dan netra ungu, serta kulit cokelat mudanya yang khas. Ryu Cassanova.
"Kau tidak menyapaku? Lupakah jika kau masih memiliki jadwal denganku? Latihanmu masih belum selesai," katanya dengan nada tajam. "Atau kau memang sengaja pura-pura lupa?"
"Sudah kubilang bahwa kita sudah selesai kemarin, aku tidak ingin melanjutkan denganmu lagi." Raulla melepaskan genggaman Ryu dari tangannya dan berjalan cepat ke arah serikat petualang.
Tampak lalu lalang petualang sedikit lengang dibanding dengan hari-hari sebelumnya. Raulla segera berlari ke arah aula pengambilan misi dan mencari-cari sosok Amber, hingga sebuah suara terdengar memanggil nama Raulla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassanova: Akar Masalah
Fantasy[TRILOGI CASSANOVA-BOOK 1] FANTASY-ROMANCE Beberapa chapter memiliki unsur kekerasan, dimohon kebijakan pembaca dalam menyikapi. Terima kasih. BEST RANK [24-04-2021] #2 in Magical Realism #4 in Dwarf #11 in Duniaparalel #13 in Otherworld #14 in Ca...