20

4 2 0
                                    

Ryu turun dari salah satu dahan dengan kedua tangan yang dilipat di belakang. Netranya menatap mayat-mayat serigala yang berserakan. Dia kemudian menarik serigala yang memiliki bulu hitam dan mengambil inti sirkuitnya.

"Pakailah ini untuk membuat senjatamu sendiri. Kau tidak bisa memakai tongkat sihir murahan itu lagi, terlalu lemah untuk digunakan di hutan ini." Ryu melemparkan inti sirkuit berwarna ungu gelap tadi pada Raulla.

"Benarkah? Kupikir ini sudah cukup kuat untuk digunakan bertarung di hutan ini." Raulla menatap tongkat sihirnya yang berbentuk seperti pipa dan mengambil batu sihir yang tertanam. "Tunggu, aku memiliki tongkat lain, kebetulan paman itu memberiku tongkat ini."

Raulla mengambil tongkat lain dari dalam tas dimensi. Dengan ujung yang berbentuk belah ketupat yang berongga, memiliki satu celah berbentuk lingkaran di pangkal. Tali berwarna putih juga menghiasi sisi kanan dan kiri. Gadis itu lalu menaruh batu sihir yang tadi ke celah berbentuk lingkaran itu.

Tongkat tadi bereaksi dan berubah warna menjadi emas.

"Bagaimana dengan tongkat yang ini?"

Raulla tersenyum dan menunjukkan tongkat yang dia pegang pada Ryu. Wajah datar Ryu perlahan menunjukkan satu ekspresi; amarah. Aura sihir yang bercampur dengan rasa haus darah menguar dari tubuh Ryu, bersama dengan tanda 'V' berwarna biru tua yang muncul di bahu.

"Dari mana kau mendapatkan tongkat itu?"

"Dari mana kau mendapatkan tongkat itu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nada suara Ryu tampak sangat dingin.

"Jawab Aku! Dari mana kau mendapatkan tongkat itu!?" Ryu mengulangi dan menatap Raulla dengan penuh amarah. Warna iris matanya berubah-ubah. Alisnya meninggi, bibirnya terkatup kencang.

"Aku mendapatkannya dari seorang kakek tua yang menjaga toko. Memang ada apa? Kenapa kau tampak sangat marah hanya dengan menatap tongkat ini?" kata Raulla sembari berjalan mendekat ke arah Ryu.

Tiba-tiba aura sihir Ryu menghilang, sebagai gantinya, elf itu merasakan sakit di jantungnya. Dia menyentuh dadanya yang terasa seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum, tubuhnya mengejang, alisnya berkedut. Raulla yang melihat itu segera membuang tongkatnya dan berlari menghampiri Ryu.

"Tuan Ryu, ada apa? Apakah karena tongkat itu?"

Elf berkulit cokelat muda itu menggelengkan kepala pelan dan menyentuh lengan Raulla. Matanya yang terpejam berkedut, telinga panjangnya bergetar. Bibirnya yang pucat seolah ingin mengatakan sesuatu. Dia kemudian membuka mata dan memperlihatkan iris birunya yang memiliki sorot lemah. Melihat itu, Raulla mendekatkan telinganya ke bibir Ryu yang tampak kesusahan hanya untuk mengucapkan satu kata saja. Dia juga mengangkat kepala Ryu agar dapat berbicara lebih jelas.

"Ba ... wa a ... ku ke dek ... at danau."

Raulla yang mendengar itu mengangguk cepat dan mengambil kembali tongkat sihirnya kemudian dimasukkan ke dalam tas dimensi. Tas dimensi itu kemudian digantungkan di dekat tas besar di punggung.

Raulla menggendong tubuh Ryu di depan kemudian melompat dari satu pohon ke pohon lain. Dari visinya, dia dapat melihat pantulan cahaya matahari dari depan sana. Matanya melirik ke arah Ryu yang tampak sangat kesakitan.

"Bertahanlah, Tuan Ryu."

Danau yang menjadi tempat tujuan mereka berdua berada di tepat di depan mata. Dia lalu melirik ke arah Ryu yang masih menampakkan wajah kesakitan. Gadis itu lalu berhenti di salah satu dahan.

"Ryu, kita sudah sampai di danau. Haruskah kita lanjut?"

Ryu mengangguk. Jari-jarinya yang lemah menunjuk ke pinggiran danau.

"Bawa aku ke situ. Baringkan saja, dan kau bisa meninggalkanku."

Raulla mengangguk dan melompat turun dari dahan pohon yang dia tempati. Kakinya berlari cepat menuju arah danau, tak memedulikan luka gores akibat gesekan dengan rerumputan. Begitu sampai di pinggir danau, Raulla membaringkan Ryu di sana lalu berdiri.

"Apa yang akan kau lakukan di danau? Kau serius aku ingin pergi? Bagaimana jika ada hewan sihir? Sepertinya dirimu yang sekarang tidak akan semudah itu menumbangkan hewan-hewan sihir yang menyerang," ucap Raulla bersimpati. "Aku bisa membantumu dengan menjauhkan hewan-hewan sihir."

Ryu melirik dan berkata lirih, "Ka ... lau be ... gitu, to ... long."

Raulla mengangguk dan berbalik, kemudian melompat ke salah satu dahan pohon. Berpindah dari satu dahan ke dahan lain sembari mengeluarkan kabut dingin di sekitar tempat Ryu terbaring.

Si elf berkulit cokelat muda perlahan duduk dan menatap ke dalam air.

"Kau ada di sana, kan? Keluarlah, kita perlu bicara."

Air yang menampilkan bayangannya sendiri mulai beriak dan membentuk tubuhnya sendiri. Bayangan itu lalu menyeringai dan mengelilingi Ryu sembari mengelus bahunya pelan.

"Kau tahu? Dia sempurna untuk rencana kita. Lagipula, dia sudah mengikat kontrak dengan Tongkat Adam. Dia artinya sudah resmi menjadi budakmu, terimalah," ujar bayangan itu dengan suara seraknya.

"Tidak. Aku bisa memutuskan kontrak itu begitu kita keluar dari hutan ini," kata Ryu dengan tangan yang mengepal.

"Terima saja, kau bisa menjadikannya umpan," kata bayangan itu sembari menepuk bahu Ryu.

"Kubilang tidak ya tidak!"

Ledakan aura sihir menguar dari tubuh Ryu. Emosinya memuncak begitu dia mendengar kata-kata dari "dirinya" itu. Dia segera saja memberi tatapan menusuk pada bayangan itu dan meraih lehernya—menggenggam erat.

"Jangan kau ganggu dia, atau kau akan tahu sendiri akibatnya," kata Ryu sembari menekan leher manusia air itu.

"Kukuku, baiklah jika itu maumu. Sampai jumpa."

Bayangan itu kembali menjadi air biasa dan membasahi tangan Ryu. Elf itu menunduk dengan beban pikiran yang bertambah. Dia lalu berbalik dan mendapati Raulla sedang menatapnya dengan tatapan yang tampak sangat terkejut.

"Raulla, kau masih di sini?"

"Jelaskan padaku semuanya, sekarang!" Wajah gadis itu tampak berapi-api. Telinganya memerah, pandangannya menajam, dan alisnya berkerut. Dia lalu berjalan cepat ke salah satu batu besar di dekat danau, duduk dan melirik Ryu yang terkejut.

***

"Aku memiliki masa lalu yang cukup buruk. Ibuku terbunuh oleh ras Behemoth yang berhasil bebas dari segel. Beruntung, waktu itu aku sedang berada di rumah teman ayahku bersama dengannya," jelas Ryu sembari memandangi matahari yang mulai terbenam di balik danau. "Tetapi, nasibnya tidak jauh berbeda. Dia terbunuh saat berusaha melindungiku dari para penculik. Kini aku tinggal sendiri saja, semua kenalanku kebanyakan menjadi budak karena tertangkap."

Raulla menatap Ryu dengan tatapan iba dan menepuk punggungnya pelan. Ryu yang merasakan tepukan di punggungnya segera menatap balik Raulla dan menurunkan alisnya. Tatapannya tidak sedingin biasanya, bahkan seulas senyum tipis muncul. Membuatnya tampak menua beberapa tahun.

"Bayangan yang kau lihat merupakan perwujudan dendam yang kupendam selama puluhan hingga ratusan tahun, aku tidak tahu pastinya. Karena aku tidak mengingat sejak kapan perasaan ini muncul. Dendam itu makin lama makin menguat dan mengambil wujud manusia, bahkan memiliki kesadaran dan akal sendiri. Akhir-akhir ini dia sampai bisa keluar dari tubuhku dan berkeliaran," jelas Ryu sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kau tak bisa mencegahnya?" tanya Raulla lirih.

Cassanova: Akar MasalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang