Bagian 3

872 132 17
                                    

Saat itu sore hari. Matahari terbenam dengan indahnya beserta semburat jingga yang menerangi. Musim panas tahun ini begitu menakjubkan. Akhirnya ia bisa mengunjungi desa tempat kelahirannya dulu. Karena demi apapun, ia sangat muak dengan kehidupan perkotaan.

"Kau cantik." Suara berat menginterupsi. Mengalih pandangkan gadis yang tengah memaku pada rajanya hari.

"Hm?"

Mata keduanya bertemu. Saling mengunci untuk beberapa saat. Rasa ketertarikan dengan mudah menggerayangi diri mereka. Ruam merah tercipta dari kedua pipi masing-masing. Menandakan sikap tersipu karena keindahan yang di tampilkan dihadapan.

"Namamu siapa?" Tanya si penanya tadi.

Yang ditanya hanya mengembangkan senyum. Mulai mengaitkan anak rambut pada telinganya. "Winter."

"Aku Jaemin. Jaemin Na."

Akan ada suatu permulaan dari hubungan. Seperti pertemuan singkat yang berujung pada ketertarikan. Hingga berubah menjadi fase saling suka dan timbullah rasa cinta. Anak adam memang tak pernah memiliki urat malu untuk menyatakan perasaan. Dan keturunan hawa akan dengan senang hati mempertahankan perasaan. Perpaduan yang cocok untuk keseimbangan di muka bumi ini.

Berhari-hari berlalu. Dengan alasan ingin mengunjungi kampung halaman, Winter menyempatkan diri untuk menemui sang pujaan di tempat pertama mereka bertemu.

"Ini, aku bawakan coklat untukmu."

"Wah terimakasih. Aku sangat menyukainya." Sambut si gadis. Dengan tak sabarannya ia membuka bungkus coklat lalu memakannya.

Salah satu yang ia sukai di kota ini adalah penghasil coklat terbaiknya.

"Lyon sangat indah saat menjelang malam." Si pria berucap kembali untuk mengawali. Ia mendudukkan dirinya di salah satu batu bersebelahan langsung dengan si gadis.

Tanpa canggung Na Jaemin mengambil lengan kurus Winter untuk ia genggam. "Apakah tidak apa-apa jika kita berpegangan tangan?" tanyanya polos. Walau ia yang memulai, tetap saja ia gemetar.

Winter yang ditanyai hanya menggeleng dan bersemu. Ia meremat erat tangan itu. Rasanya sangat nyaman dan hangat. Kiranya, di desa ini ia hanya akan mendapat kehangatan dari sang mentari saja. Tapi, ada sosok lain yang ikut menghangatkan lengan dinginnya.

"It's ok. Always be there for me."

"Lyon adalah tempat pertama kami bertemu. Kami menjalin kasih disana mulai hari itu. Awalnya baik-baik saja. Namun—"

Mata Winter seolah menerawang kembali. Menceritakan sebuah kisah yang pernah ia alami secara langsung. Dan memori itu melekat kuat diingatannya hingga hari ini.

"Namun apa?" Yang paling antusias bertanya sembari mengetatkan selimut. Matanya terlihat begitu penasaran dengan perkataan selanjutnya.

Winter hanya terkekeh miris sebelum mulai bicara. "Kau tahu, sedikit sulit menjalin hubungan pada tahun 1726. Apalagi mengenai kasta kaya dan miskin." Jelasnya yang dengan sengaja membuat pola abstrak di atas kasur.

"Aku yang notabene memiliki darah bangsawan dilarang keras mendekatinya yang hanya seorang penggembala." Senyuman terpaksa Winter berikan. Sedikit besarnya memperbaiki suasana hati. "Tapi tak apa. Aku dan Nana akhirnya bisa mengikrarkan janji suci."

Winter membuang nafas. Ia memilih beranjak untuk mematikan lampu kamar dan mulai menyalakan lampu tidur. Suasana kamar yang terlalu cerah akan berdampak buruk bagi bayi dalam kandungan. Setahunya itu.

MEMORABLE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang