10. Please be Fine

187 51 11
                                    


Rhea membuka mata. Ia mengerjab beberapa kali, menatap dinding putih kamar kosannya. Hal pertama yang berusaha ia ketahui adalah alasan mengapa ia jatuh tertidur. Rasanya sedikit aneh karena dia dibonceng oleh seorang cowok dengan perawakan tinggi, memeluk pinggangnya erat-erat, memejamkan mata sebab rasa sakit yang menerjang kepala hingga lemas di sekujur tubuh, lalu ia tidak ingat apa-apa dan tiba-tiba sudah bergelung di bawah selimut tebalnya.

Mendesah panjang, Rhea merasa menyesal telah memeluk Jarvas dan menyandarkan kepala di punggungnya. Biar bagaimana, dia tetap orang asing. Meskipun wajahnya manis dan bibirnya seperti tidak lelah mengumbar senyum, ia tidak bisa langsung mempercayainya begitu saja. Itu butuh proses, tentu saja!

Rhea bangun pelan-pelan, menatap ke meja belajarnya yang tidak kosong seperti biasa. Ada segelas teh yang sepertinya sudah dingin di sana. Ada juga mangkuk yang ditutupi buku tulis tipisnya.

Kira-kira, siapa yang melakukannya?

Cewek itu menurunkan kakinya, mendekat pada meja belajar dan melihat waktu yang tertera di jam wekernya. Pukul sepuluh malam. Ia memandang air dalam gelas, lalu menyadari bahwa yang di dalamnya bukanlah teh, melainkan air jahe.

Mendesah pelan, Rhea membuka buku yang menutupi mangkuk putih, lalu menemukan bubur. Di samping mangkuk, ada sticky notes kuning yang di dalamnya tertulis beberapa kalimat dalam huruf-huruf acak-acakan yang hampir tidak beda dari ceker ayam.

Rhe, kalo lu bangun, makan dulu. Cepet sembuh, ya.

Hm, janlup chat gua juga. Ntar kita ngobrol.

Jarvas

Mata Rhea membola.

JADI JARVAS MASUK KE KAMARNYA?

Rhea sekarang memohon agar cowok tinggi itu tidak melihat tumpukkan pakaian di ujung ranjangnya yang belum sempat ia lipat. Masalahnya, di sana ada barang-barang yang urgent bagi perempuan!

Kalian tahu itu apa.

***

Rhea tidak bisa berpikir jernih sejak bangun tidur pukul lima pagi tadi. Pikirannya carut marut, dominan tertuju pada cowok jangkung yang kemarin mengantarnya pulang. Ia sangat malu karena sudah pasti Jarvas melihat tumpukkan pakaiannya, tempelan di dinding kamarnya yang sebagian besar berisi tulisan impian dan isu-isu psikologis, dan semuanya. Apalagi kamarnya belum dibereskan, dan ada cukup banyak debu yang menempel di lantai.

Demi kerang, kamarnya tidak tampak seperti kamar anak perempuan yang seharusnya rapi dengan pernak-pernik lucu dan warna soft yang menuai kesan feminin. Kamarnya ini berantakan, menyamai kapal pecah.

Rhea malu. Sangat malu sampai ia ingin mengubur dirinya sendiri.

Merasa tidak ada gunanya menyesal, si mahasiswa psikologi lantas menghela napas panjang dan bangkit dari duduknya di atas kasur single bad dan berjalan sedikit cepat untuk keluar. Ini sudah jam tujuh, tiga puluh menit lagi ia akan berhadapan dengan dosen dan mater-materi memusingkan. Daripada meratapi apa yang terjadi, Rhea memilih untuk berangkat kuliah saja.

" Rhea!"

Langkah Rhea terhenti di ruang tamu ketika seorang perempuan memanggilnya. Itu adalah Mbak Keyla, Rhea lupa dia mahasiswa di fakultas apa. Yang pasti, cewek berrambut panjang dengan poni tipis menjuntai di dahi ini usianya lebih tua darinya.

Rhea tersenyum canggung, "Eh, Mbak Key. Nggak kuliah, Mbak?"

Keyla menggeleng, "Yang semalem itu pacarmu, Rhe?"

"Eh?"

Rhea bukannya tidak tahu siapa yang dimaksud. Hanya saja, pertanyaannya terlalu mendadak sehingga ia blank beberapa saat.

Keyla tersenyum, mendekat pada Rhea dan bicara dengan menggebu-gebu "Mbak kaget tahu, Rhe, pas bukain pintu terus yang dateng itu Jarvas. Kejutan banget. Mana sama kamu lagi."

Rhea mengusap tengkuk, "Oh, gitu, ya Mbak?"

"Dia bilang sih sepupu kamu. Tapi, Mbak mana percaya. Pacar kamu, kan?"

Kening Rhea berkerut. Belum sempat ia menjawab, perempuan di hadapannya ini menambahkan dengan kehebohannya.

"Nggak nyangka banget kalo kamu pacar artis, Rheaaaa... sumpah, ini unexpected banget, tahu. Mbak mah tahunya kamu nggak bakal pacaran, mana kalem gini kamunya." Tangan Keyla merambahi pipi Rhea dan mencubitinya, membuat Rhea sedikit tidak nyaman.

Rhea melepasan tangan Keyla dengan sedikit kasar dan segera menatap si lebih tua dengan senyuman dipaksa, "Mbak, sebenrnya, Jarvas emang bukan pacarku, kok," ia bicara sedikit gugup, lalu menambahkan, "beneran. Lagian kita beda fakultas, baru kenal beberapa hari yang lalu juga. Mana mungkin sih aku jadian sama orang baru. Kan Mbak Key tahu aku kayak gimana."

Keyla menatap curiga, "Tapi dia sampe bikinin kamu bubur, jahe anget, selimutin kamu. Mana mungkin, sih bukan pacar kalo sebegitu perhatiannya."

"T-tapi, emang bukan pacar, ok, Mbak. Kita Cuma-"

"Oh Mbak tahu, Mbak tahu." Keyla tersenyum, jenis senyum yang membuat Rhea sedikit ngeri karena dia juga menaikturunkan alisnya, "kamu ngerahasiain hubungan kamu sama Jarvas, kan? Biar nggak kecium sama publik, kan?"

Astaghfirullah, susah banget sih dibilangin?

"Mbak, tapi-"

"Santai aja, Rhea. Santai." Keyla menepuk-nepuk bahu Rhea, "Mbak paham kok. Meskipun nggak pernah pacaran sama artis, Mbak tahu kalau kalian pengen nyembunyiin ini demi kebaikan kalian. Apalagi kamu nih pendiam, nggak suka keramaian juga. Mbak bisa ngertiin, kok keputusan kamu sama pacar kamu itu."

Ya Tuhaaaaaaannnnn...

"Mbak janji, nggak bakalan bilang ke siapa-siapa kalau kamu pacaran sama Jarvas. Jadi kamu tenang aja."

"Mbak, aku nggak-"

Baru saja Rhea ingin membela diri kembali, ponsel di saku celana Keyla bergetar. Si lebih tua segera mengangkat tangan sebagai kode agar Rhea diam dulu karena dia ada urusan. Sementara itu, Rhea mendesahkan napas jengkel. Rupanya, telepon itu dari pacarnya Keyla. Perbincangan antara Keyla dengan pacaranya adalah perbincangan yang akan berlangsung sangat panajng dengan berbagai kalimat-kalimat picisan.

Karena tidak ingin terlambat kuliah, Rhea segera meninggalkan Keyla dengan langkah yang panjang dan cepat. Gadis itu membuka pintu dan keluar, lalu kembali menutupnya.

"Pacaran apa, sih? Mana pernah gua pacaran, coba? Terakir kali putus aja sama tali puser," Rhea menggerutu, "aneh banget, deh." ia berdiri di teras dengan tangan memegang ponsel, membuka aplikasi gojek.

"Udah sarapan?"

Sebuah suara yang tidak asing mampir di pendengaran, menyebabkan sensasi merinding. Rhea segera mendongak untuk lalu menemukan sosok jangkung yang berdiri di hadapannya dengan senyuman tipis yang, seperti biasa, manis.

Rhea mengerjab-ngerjaban mata, mundur selangkah saking kagetnya melihat keberadaan orang ini secara tiba-tiba.

"Jarvas, lu ngapain?" Rhea bertanya gugup, merasa aneh karena darahnya berdesir dan jantungnya berdebar-debar. Ia segera menggeleng-gelengkan kepala, berpikir bahwa kegugupan ini hadir karena Jarvas datang tiba-tiba tanpa permisi.

Jarvas memperlebar senyum, "Gua nunggu chat dari lu, takut lu kenapa-napa. Tapi, syukur deh karena lu udah baikan."

Rhea menelan ludah, tak tahu harus berkata apa.

"Gua juga bawain ini, biar lu nggak kelaperan." Jarvas mengangkat kresek putih di tangannya dan memamerkannya pada Rhea.



---

Aku mau confess... Jadi, aku seneng banget sama respons positif kalian ke book ini. Makasih bacan, vote, dan comment. Makasih udah menghargai hasil karyaku ini.

Aku berharap book ini emang bisa bikin kalian terhibur, yaa...

Have a nice day.... dan, karena ini sudah malam, have a nice dream!!!

Seperti biasa, makasih banyak udah bacaa

The Days of JarvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang