13. Something About Them

158 42 15
                                    


Wajah berkeringat, dada naik turun tak beraturan, napas ngos-ngosan seperti seseorang yang lari dalam jarak tempuh yang jauh, dan tangan gemetaran. Seperti itulah deskripsi keadaan Rhea dalam tidurnya ketika waktu menunjukkan pukul empat pagi. Gadis itu kemudian membuka mata secara tiba-tiba dan menatap keadaan sekelilingnya yang temaram sebab hanya diterangi lampu tidur di atas meja. Napasnya masih ngos-ngosan dan ujung jemarinya masih tremor hebat oleh sesuatu yang hadir di alam mimpi.

Rhea mengangkat tubuh, menapakkan kakinya di atas lantai keramik yang dingin, lalu berjalan untuk menyalakan lampu. Ia menyandarkan bokongnya di meja, mengumpulkan kesadarannya yang belum terkumpul sepenuhnya. Merasa butuh air untuk menetralkan pikirannya yang carut-marut, ia keluar dari kamar menuju dapur. Diambilnya gelas untuk ditadahkan di bawah dispenser.

Sementara menunggu gelasnya penuh, pikiran Rhea tak bisa lepas dari mimpi yang baru saja ia alami. Sebuah mimpi yang terasa sangat abstrak, dimana di dalamnya hanya terisi warna-warna gelap yang pekat seperti hitam, cokelat, biru tua, army. Ada teriakan dan bunyi keras yang memunculkan ketakutan. Rhea tidak tahu itu apa, tapi terasa sangat mengerikkan.

"Rhea, itu airnya tumpah-tumpah."

Suara Keyla menyadarkan Rhea dari lamunan. Ia segera menutup dispenser dan menatap genangan air yang menyentuh kakinya. Satu decakan lolos disertai kernyitan di dahi.

"Ngelamun ya?" Keyla menegur sembari menyodorkan kain pel.

Rhea meletakkan gelas di atas meja, lalu menerima kain pel dari Keyla, "Makasih, Mbak. Tadi aku nggak fokus."

"Nggak fokus, ngelamun, apa masih ngantuk?"

Rhea tersenyum kecut. Ia tidak yakin yang mana.

"Masih ngantuk deh kamu. Tuh, matamu masih ada beleknya." Keyla menunjuk mata Rhea dan tersenyum jahil.

***

Hari ini kelas pagi, dimulai pukul setengah delapan. Sialnya, Brama bangun pukul tujuh karena semalam menyelesaikan pembuatan lagu baru. Setelah bersiap secepat kilat, dengan melupakan mandi dan memprioritaskan sikat gigi, pemuda itu melajukan motor gedenya terburu-buru. Jalanan ramai, jadi dia tidak bisa ngebut. Alhasil, dia sampai di kampus lima menit sebelum kelas dimulai.

Brama memarkir motor dan bergegas masuk gedung fakultas yang sudah cukup ramai. Dalam ketergesaan, ponselnya berbunyi dan Brama mengangkatnya sambil misuh-misuh.

"Apaan, sih, gua lagi buru-buru." Sembur Brama sebagai kalimat pembuka dengan seseorang di ujung sambungan.

"Bram, tugasnya lu bawa, kan?"

Mata Brama membola, langkahnya terhenti mendadak di depan tangga. Mampus, dia lupa. Tugas itu sudah dikerjakan dengan sangat susah payah di sela-sela latihan band yang menguras tenaga. Tapi, file sialan itu belum diproses menjadi hardfile melalui perantara mesin print.

"Yassalam, belum gua print!"

"Yaudah print buruan. Keburu Pak Gino dateng, nih."

Brama mematikan ponsel dan membalik arah langahkahnya menuju fotokopian yang memang sudah disediakan di fakultas. Jaraknya cukup dekat, tapi kemungkinan akan ramai sebab ini adalah waktu pagi menjelang siang dimana para mahasiswa mungkin saja juga memiliki tujuan yang sama dengannya.

Sembari berjalan, Brama melepas ransel donker-nya dan merogoh flashdisk yang ia sisipkan di antara buku-buku. For your information, Brama ini tidak pernah memiliki tempat pensil karena itu terasa merepotkan. Dia punya dua pulpen dan kalau keduanya hilang, dia akan meminjam atau beli yang baru.

The Days of JarvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang