12. (Hidden) Promise

192 50 14
                                    

Jarvas tengah memanfaatkan waktu setengah jam sebelum latihan nge-band dengan cara mengerjakan tugas sampai sebuah tangan mengulurkan sekaleng soda padanya. Saat itulah konsentrasinya terpecah dan dirinya segera mendongak untuk melihat pemuda dengan rambut acak-acakan (yang biasanya sangat manjur membuat para gadis jejeritan) berdiri di sisi meja.

"Apaan?" Jarvas bertanya dengan kerutan samar di dahi.

"Coca-cola. Buruan nih, tangan gua pegel."

Jarvas menerima dan meletakkan minuman dingin itu di sisi laptop putih 12 inch-nya, "Thank's." ia kembali fokus pada papan ketik dan menuliskan kata-demi kata untuk menyempurnakan tugas yang belum selesai, "dalam rangka apa lu ngasih ginian ke gua? Perasaan kemaren kita masih berantem."

Cowok itu, Brama, menghempaskan bokongnya di sofa yang berada di belakang Jarvas, "Sorry. Gua marah-marah nggak jelas, padahal lu juga nggak salah."

Jarvas menghentikan pergerakannya pada papan ketik, tersenyum kecut. Ia paham mengapa Brama marah-marah padanya, itu bukannya tanpa alasan. Kalau jadi Brama, Jarvas mungkin juga akan melakukan hal yang sama.

"Santai, bro. Kita udah pernah bicarain ini dan kita berlima emang udah sepakat buat nggak deketin cewek dulu. Tebar pesona boleh, kasih harapan jangan. Gitu, kan motto hidup lu hari ini?" Jarvas bicara dengan terus menatap laptopnya yang menampilkan tulisan dan gambar organ manusia.

Brama tertawa pelan, "Pada intinya, gua nggak mau kita berakhir dengan nyakitin orang lain, terutama orang yang kita sayang."

Dalam satu gerakan cepat, Jarvas menolehkan kepala untuk menatap wajah Brama, "Yo man, sejak kapan lu jadi menye-menye gini, hah?" biasanya mereka memang menulis lagu-lagu galau, tapi tidak akan melibatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

"Lu nggak bisa lihat gua serius dikit?"

Jarvas tidak menjawab. Ia membuka buku tebal dan mengalihkan pandangan dari Brama. Meskipun begitu, ia terus mendengarkan Brama yang melanjutkan kata-kata meskipun tidak berhadapan dengannya.

"Asalkan lu tahu batasan, Jav. Inget sama kesepakatan kita, kesepakatan Seis Dias, dan kebaikan orang-orang. Jangan sampai jadi kayak gua. Percaya deh, lihat orang yang kita sayangi sakit, rasanya lebih sakit." Kalimat terakhir Brama diucapkan dengan volume lebih lirih hingga menciptakan atmosfer kesenduan.

"Eh, tapi, lu deketin Rhea bikin pemikiran negatif gua ilang, tahu." Brama melanjutkan.

"Pemikiran negatif yang mana? Perasaan lu pemikirannya negatif mulu ke gua."

"Yang gua ngira lu nggak suka sama cewek. Dengan lu deket sama Rhea, berarti-"

Buku milik Jarvas yang setebal 200 halaman lebih dulu menghantam dahi Brama sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.

***

"Jadi, siapa cowok yang dimaksud Kak Ilham?"

Dua mahasiswa psikologi itu berada di perpustakaan, di antara rak buku yang berjajar, tapi Rhea merasa tengah berada di ruang interogasi kepolisian seperti yang ada di drama-drama Korea bergentre kriminal investigasi. Apalagi, didukung dengan tatapan Avi yang penuh selidik dan kalimatnya yang ditekan sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan intimidasi.

Rhea mengusap tengkuk, berdehem, "Sebenernya, kemaren gua agak sakit. Gua lupa sarapan, terus kelas gua sampai jam tigaan. Abis itu ada rapat sama jurnalistik sampai sore, lu kan nggak dateng gara-gara ada kelas tambahan."

"Iya, terus?"

"Nah, pas itu badan gua lemes banget. Kaki gua bahkan kayak nggak mampu berdiri. Kepala gua sakit. Lu tahu kan kalau gua kadang bisa segila itu kalau nggak sarapan. Terus, gua diem sambil duduk dan Kak Ilham deketin gua. Dia tanya-tanya, gua kenapa dan lain sebagainya. Abis itu dia tahu kalau gua kecapekan. Jadi-"

"Jadi, siapa yang nganterin lu kemaren. Bukan Kak Ilham pasti." Avi memotong tak sabaran, "jangan diputer-puter gitu ah ceritanya, Rhe. Siapa? Siapa cowok yang nganterin lu sampai kosan itu?"

Rhea berdecak frustrasi, merasa berat mengatakan yang sebenarnya, "Gua baru kenal sama dia baru-baru ini. Belum lama."

"Iya, terus siapa?" Avi mendesak.

"Lu juga nggak deket sama dia, Vi."

"Siapa?"

"Vi..." Rhea merengek.

"Rhe, lu nggak mau gua tahu siapa cowok itu atau gimana? Atau jangan-jangan, dia ngancem lu kemaren?" kelopak mata Avi terbuka lebih lebar, kedua tangannya memegang kedua bahu Rhea dan meremasnya sedikit kuat, "dia ngelakuin sesautu yang buruk sama lu? Atau dia ngelecehin lu? Ngomong sama gua, lu bakalan aman. Gua jamin!" ia bicara dengan menggebu-gebu, seperti ada nyala api di belakangnya.

Rhea menelan ludah, menatap dengan tidak enak hati. Lihat, Avi sangat memikirkannya. Dia benar-benar perhatian dan peduli. Rasanya tidak adil kalau Rhea menutup-nutupi kebenaran yang ada.

"Rhea!" Avi menaikkan volume, mengguncang bahu Rhea cukup keras.

"Tolong jangan ribut, ya. Ini perpustakaan." Sebuah suara menegur dan Avi langsung tutup mulut.

Rhea yang melihatnya tertawa kecil.

"Jangan ketawa, lu." Kesal Avi.

"Abisnya lu lucu. Singkirin dulu, nih." Balas Rhea sambil melepaskan tangan Avi dari bahunya.

"Terus siapa? Yang nganterin lu kemaren siapa?"

Rhea sedikit ragu, tapi akhirnya menyerah. Ia merasa Avi berhak tahu, "Tapi lu harus janji-"

"Ngapa janji janji segala, sih? Emangnya gua Nagita-Rafi?" cewek satu ini benar-enar tidak sabaran.

"Janji aja."

Mata Avi menyipit, kembali mengarahkan sorot curiga, "Lu diancem, ya?"

"Enggak, Vi. Dia baik banget sama gua, bahkan sampe bikinin gua bubur dan nyiapin bekal buat gua sarapan tadi pagi."

"Serius?"

"Ho'oh."

"Siapa?"

"Janji dulu."

Avi mendesah jengah, "Oke, oke, gua janji. Tapi, janji apaan?"

"Janji lu nggak bakalan teriak atau bikin keributan di sini."

Timbul kerutan di dahi Avi sebab ia merasa aneh menjanjikan hal semacam itu, "Oke, gua janji. Jadi, cowok itu siapa?"

Rhea melihat ke kanan dan kiri, memastikan hanya ada dirinya dan Avi yang berada di antara rak bagian itu. Ia lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Avi dan bicara lirih, "Jarvas."

"WHAT? DEMI APA RHEA LU-"

Rhea segera membungkam mulut Avi sebelum cewek itu mengatakan hal-hal tidak karuan tentang Jarvas dan dirinya.

"Itu yang ribut-ribut terus, keluar aja ya dari perpus. Ganggu mahasiswa-mahasiswa lain yang lagi konsentrasi."

----

Halo...gimana kabarnya?

Ah iya, aku mau tahu dong kesan kalian baca book ini, hehe. Atau part ini juga boleh (apapun deh yaa). Bisa banget tulis di kolom komentar, yaa....

Makasih banyak udah mampir dan bacaa

The Days of JarvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang