Gua utang janji
dan jadiin itu sebagai alasan biar kita ketemu lagi.
***
"Tunggu dulu."
Rhea mengernyit ketika seseorang menahan tangannya yang akan menutup pintu aula Fakultas Psikologi Universitas Nusantara yang telah dipenuhi peserta seminar. Karena takut membuat keributan dan mungkin saja orang ini memiliki kepentingan, Rhea segera keluar agar bisa bicara dengan lebih leluasa.
"Iya? Ada apa, ya?"
Seseorang itu adalah cowok jangkung yang perbedaan tingginya cukup signifikan dengan Rhea. Rhea sampai harus mendongak untuk melihat wajahnya.
"Maaf banget gua, eh, saya terlambat karena ada sedikit urusan tadi."
Rhea ber-oh ria ketika cowok itu memberi penjelasan. Ia langsung menarik kesimpulan bahwa cowok ini pastilah peserta seminar yang terlambat. Dikarenakan tidak ada toleransi untuk keterlambatan, dia tidak bisa masuk tentu saja.
"Oh, maaf tapi registrasinya udah ditutup. Mungkin bisa ikutan di acara yang lain, ya." Rhea berusaha bicara dengan ramah, bahkan tersenyum di ahkir kata seperti mbak-mbak SPG.
"Aduh, please, izinin gua masuk, gua butuh banget ikutan acara ini."
Rhea merasa tidak enak hati karena cowok itu sampai sedikit membungkuk agar tingginya sama dengannya.
"Maaf tapi ini udah aturan kami, Kak."
Sebenarnya, Rhea ingin sekali membiarkan cowok tinggi ini masuk dan mengikuti seminar yang temanya berkaitan dengan kesehatan fisik dan psikis. Namun, ketua pelaksana telah memberikan mandat padanya agar tidak membiarkan siapapun yang terlambat untuk masuk. Rhea yang sebagai anggota seksi acara yang hari itu ditugaskan di bagian registrasi peserta hanya melaksanakan perintah itu.
Cowok itu terdengar mendesis, wajahnya menautkan kebingungan, "Gua bener-bener butuh ikut acara ini. Tolong bantuin gua." Ia merekatkan kedua telapak tangan dan memohon.
Rhea, sebagai cewek yang tidak enakan, sangat merasa bersalah melihat cowok ini memohon sementara dirinya tidak bisa mengabulkan.
"Maaf banget, Kak, tapi-"
"Gua Jarvas, FK angkatan 2019, kita seangkatan jadi informal aja nggak apa-apa."
Cowok itu mengatakan demikian, tapi Rhea malah merasakan atmosfer yang semakin canggung, "Eh, iya. Maaf, ya, Jarvas, registrasinya udah ditutup dan aku nggak bisa bantu apa-apa."
"Bentar lu lihat ini dulu." Cowok yang memperkenalkan dirinya sebagai Jarvas itu merogoh saku jaket dan mengeluaran ponsel, "gua ditugasin sama Profesor Hartono buat ikutin seminar ini dan nyimpulin materi hari ini buat tugas. Ini chat gua sama beliau, lu lihat dulu. Bener-bener urgent." Ia menyerahkan benda persegi panjang itu pada Rhea.
Rhea menerima ponsel itu, membaca chat yang cukup mengerikan antara mahasiswa dengan dosen.
"Tolongin gua, ya." Jarvas kembali memohon-mohon.
Rhea gigit bibir, dilema. Kalau membiarkan Jarvas masuk, kemungkinan dia akan ditegur oleh Kak Ilham selaku ketua pelaksana yang menyebalkan dan hobi marah-marah dengan dalih mendisiplinkan. Tapi, cowok ini kasihan juga. Chat dari sang dosen benar-benar membuat bulu kuduk berdiri saking judesnya kata-kata yang disusun.
"Oke." Rhea menentukan pilihan untuk menerima teguran dari Kak Ilham karena melanggar peraturan, "kamu masuk aja, abis itu ambil kursi yang kosong." Ia berusaha tersenyum meskipun hatinya ngilu membayangkan tatapan mematikan dari kakak tingkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Days of Jarvas
Dla nastolatków"Rhe, gua di depan." "DEMI APA JARVAS GUA LAGI MASKERAN!" *** Jarvas Kanigara, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Nusantara. Anak band, major di gitar. "Kenapa masuk FK?" "Karena...prospek kerjanya bagus. Jadi dokter." Cowok dengan tinggi ba...