16. Beautiful Feeling

170 39 7
                                    


Rhea adalah tipikal yang tidak suka ribet. Ketidaksukaannya akan hal-hal ribet ini termanifestasi dari caranya berpakaian. Dia tidak suka berpenampilan terlalu feminin dengan rok atau manik-manik aneh yang pelengkap style seperti yang sering digunakan oleh para gadis. Karena itulah, Rhea tidak menyetok pakaian yang terlalu keperempuanan di dalam lemari pakaiannya. Dia hanya memiliki pakaian semacam kemeja, kaus, celana jins, biggy pants, celana training, sweater, jaket.

Tidak ada rok atau dress anggun. Tidak dengan daster bunga-bunga.

Rhea berdecak setelah mengeluarkan isi lemarinya dan tidak menemukan sesuatu yang bisa membuatnya kelihatan faminin dan anggun. Sekarang, meskipun ada berlembar-lembar pakaian miliknya rasanya tidak memiliki baju satupun. Problematika para gadis ketika akan bepergian dengan seseorang yang spesial.

Rhea mendudukkan tubuhnya di lantai keramik dengan bibir dikerucutkan.

"Gua kenapa, sih?" ia bermonolog, menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal, "kenapa juga gua harus kelihatan cantik atau feminin?" tangannya membuang secara sembarangan kemeja kotak-kotak miliknya.

"Kenapa juga gua nggak asal comot baju kayak pas mau pergi bareng Kana?"

"Toh, kalo pergi bareng Kana yang notabene model, gua biasanya juga lebih kelihatan kayak babunya model dan gua oke-oke aja."

"Kenapa gua harus pake baju bagus pas pergi bareng Jarvas?"

"Kenapa?"

"Kenapa coba?"

Karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Rhea memilih untuk mengemasi baju-bajunya kembali dan melipatnya rapi. Tetapi, ia melihat sesuatu di antara baju-bajunya. Sebuah dress. Itu adalah dress milik Avi yang belum ia kembalikan sejak sebulan lalu untuk kepentingan teater dadakan oleh organisasi kemahasiswaanya.

***

Sekarang, Rhea merasa gusar dengan dressnya.

Seharusnya ia kelihatan anggun, kan? Tapi, ia malah merasa aneh. Merasakan angin menerpa kakinya membuatnya merinding. Rhea tidak pernah menggunakan dress semenjak memasuki masa remaja akhir, jadi ini terasa aneh.

"Gua beneran mau pake ini?" ia menatap tubuhnya dari bawah sampai atas.

Di tengah kebingungan, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan dari seseorang yang tengah ia tunggu. Jarvas.

"Halo, Jar." Rhea mengangkat panggilan itu dengan cepat.

"Gua udah di depan nih, Rhe."

"Serius?"

"He'em. Lu masih lama nggak?"

"Enggak. Bentar, ya."

Panggilan ditutup dan Rhea tergesa-gesa mengambil ransel kecilnya. Ia keluar kamar, berlari kecil, dan berhenti di teras. Langkahnya melambat untuk mendekat pada Jarvas yang masih duduk di motor matic-nya.

"Hei, Jar."

Jarvas mengalihkan pandang dari ponsel dan menoleh pada Rhea. Seketika, tatapannya membeku.

Rhea dan sedikit perbedaan yang ditunjukkannya benar-benar mengejutkan.

Akan tetapi, Rhea yang ditatap begitu malah jadi salah tingkah. Ia menahan napas dan memandang tubuhnya dari bawah sampai atas. Kakinya yang terkena hempasan angin benar-benar terasa berbeda. Terasa aneh.

"Rhea, lu-"

"Jar, gua lupa ini bajunya Avi yang kemaren gua pinjem pas ada teater jurnalistik. Gua mau ganti dulu, ya. Bentar." Rhea memotong perkataan Jarvas dan berlari masuk lagi ke dalam.

The Days of JarvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang