Chapter XV

34 6 7
                                    

Chapter XV | Hide and Seek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter XV | Hide and Seek

“ANDA baik-baik saja, Yang Mulia?” Pria berperawakan ceking dengan busana apik yang tergolong kelas menengah tanpa corak tersebut bertanya. Berdiri di belakang sang tuan yang sedari tadi membisu, Theoden mengawasi bagaimana kerumunan kaum marhaen maupun adiwangsa tampak kontras. Terik mulai membakar seiring baskara yang kian menukik rampas mahkota. Mendapati Ivone tak kunjung menjawab, ia kembali bertanya, “Yang Mulia?”

Ivone berdecak. Tangannya yang sejajar dengan dahi, menghalau kilau mentari bergerak turun. “Perhatikan lidahmu.” Rambut pirangnya bergoyang ringan, sesekali dibuai angin pagi hingga sambut resonansi daun-daun menyungging. “Ada banyak mata mengawasi.”

Theoden menunduk takzim. “Dimengerti, Tuan,” sahutnya.

Bangunan bergaya klasik ditopang batu pualam usang serta hiasan tanaman liar—yang sesekali merambat di antara pilar, terlihat dipangkas dan ditata rapi. Di bawahnya, puluhan anak tangga tampil mempesona, berkelok mengikuti kemiringan bukit, serta-merta hamparan autumn crocus yang sengaja dibiarkan tumbuh bengkok menutup laut pastura. Macam-macam mangkok terbalik bercorak menawan milik bangsawan tertancap di tepi, kanopikan meja–meja teh sembari menanti antrean kuil demi jumpai pendeta tinggi—salah satu trik aristokrat lain yang gemar pamerkan kekayaan berkedok sumbangan juga sifatnya yang tak ingin ketinggalan tren.

Tanpa menoleh ke gardanya, Ivone lekas merapatkan tudung jubah—bukan jubah keabuan lusuh yang sering ia pakai kala bertabir, tapi jubah mewah yang baru saja ia beli beberapa hari lalu di salah satu butik ternama. Jangan tanya dari mana ia dapatkan beratus-ratus koin emas, tapi salahkan saja profesinya dan pengikutnya, yang telah lama bergelut menjadi tentara bayaran.

“Ah, Tuan, sebentar!” seru Theoden. Dia berlari kecil mengikuti Ivone, menuruni bukit landai.

“Istvan.” Ivone memutus. Dwi manik hitamnya menyorot kerumunan priyayi menengah: saling bertukar salam, pujian, maupun menebar selenting gosip terbaru ibu kota—terutama pada mereka yang memang telah lama berdaulat di wilayah masing-masing.

“Ya?” sahut Theoden tak mengerti.
Ivone mendesah. “Istvan. Panggil aku dengan nama itu.”

“T-tapi … Tuan … itu agak … sedikit ….” Theoden berkilah gelisah. Pria muda tersebut mengerutkan dahinya tidak nyaman. Tangannya bergerak risau. Bukan tanpa alasan, tapi nama itu pernah berkuasa pada masanya: masa-masa sebelum kastil megah penuh kehormatan Clethinthiallor tenggelam pada reruntuhan.  Nama yang Ivone dapatkan tatkala mendapat gelar  penerus tahta, Istvan, yang artinya mahkota.

“Tidak apa-apa,” ujar Ivone ringan. “Itu sudah lama dilupakan. Tidak ada yang tahu.”

Theoden terdiam. Berjalan agak ke belakang—dasar etika bilamana bawahan tak boleh melangkah di samping sang tuan—ia memandang nanar punggung tegap Ivone. Setelah jatuhnya kota  Pryvale, keluarga kerajaan terpaksa melarikan diri, melepas kehormatan demi menjaga garis keturunan. Theoden tahu betul hal itu. Konflik di antara adiwangsa, pengkhianatan pihak internal, serta serangan musuh tanpa peringatan sukses menyeret Clethinthiallor hingga ke dasar lumpur.

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang