Chapter XVI

25 6 1
                                    

Chapter XVI | The Stormy Night

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter XVI | The Stormy Night

SELENA menghilang—atau barangkali, perempuan melankoli itu tengah melarikan diri. Bersembunyi, mencoba tiadakan diri dari semesta, menyusut pada gelombang nostalgia. Hampir satu dekade—tepatnya, delapan tahun—Aiden mengenal Selena Porter, tetapi pemuda tersebut masih tak sanggup memahami rekognisinya. Rasanya, Aiden ingin membedah isi kepala gadis itu: mencabut semak belukar yang menjerat manah hingga buahkan sesak.

Aiden tidak mengerti. Baginya, kisah lampau tak menyenangkan Selena sekadar pengisi kehidupan: sebuah adimarga berlubang guna jadikan pembelajaran. Namun, ia tidak. Mungkin saja lukanya terlalu busuk untuk dicungkil. Selena dekap erat sang pembawa lara, venomkan hati akan hawar tanpa penawar.

Hari itu, kala bumantara menangis, panah kelodan berkedip mengiringi guntur bergumuruh, Selena datang. Usia Aiden Petrou baru menginjak angka sembilan, mengira bahwasannya gadis itu adalah tunawisma yang dibawa Bibi Mallory pulang. Dia berantakan. Badan kotor penuh lumpur, mata sembap, pipi bengkak pula rona biru-keunguan bekas tamparan menjejak, juga kaki berkelukur. Aiden rasa, gelandangan lebih bersih daripada bocah berambut merah menyala itu.

"Dari mana Bibi mendapatkannya?" Sembari menjerat langkah menjauh, Aiden kecil bertanya. Alisnya menukik. Netra cokelatnya menatap Selena mual. Bau busuknya menggelitik hidung. Aromanya jauh lebih buruk daripada lokasi pembuangan gang belakang.

"Dia budak," sahut Bibi Mallory enteng, mengundang pelototan Aiden. Wanita muda tersebut menggiring Selena masuk, mendudukkannya di kursi sebelum melesat ke teras samping, menyambar handuk kering.

"Kau gila?!" Intonasi keponakannya meninggi. "Cepat kembalikan! Kau tidak tahu baru-baru ini Ernst Sommer mengamuk?! Kita bisa habis!" Aiden menyebut salah satu pionir smokel yang berkuasa di pinggiran kota. Ia tidak tahu banyak, tetapi menurut cerita paman-paman pub malam, Ernst cukup disegani juga berkoalisi erat dengan negeri seberang. Selama bertahun-tahun, dominionnya tak goyah serta mengendalikan perdagangan manusia.

Bibi Mallory tertawa. Dengan cekatan, dia menyeka kotoran dari wajah Selena. Sementara itu, si gadis hanya bisa membisu, mencengkeram pedangnya kuat-kuat kendati seluruh daksanya gemetar. "Anak ini kabur," paparnya. "Untuk bocah sepantarannya, dia cukup pintar. Kau tahu, mengalahkan penjaga yang ukurannya dua kali lipat darinya bukan hal yang mudah."

"Memang berapa umurnya? Sepuluh?" Aiden menyipit, sekali lagi mengamati Selena, lalu menyodorkan segelas air. "Minumlah."

"Dua belas."

"Dia kecil," tandas Aiden. "dan lemah. Mustahil ia mengalahkan pengawal Ernst."

"Teknik pedangnya membuatku terkesan," komentar Bibi Mallory, mengingat pertarungan Selena beberapa saat lalu di tepi daerah kumuh. "Ya, ia lemah, tetapi ia cepat."

"Cepat?"

"Pedangnya tajam. Dia pun stabil." Bibi Mallory tersenyum puas. Perempuan tersebut merapikan rambut kusut Selena walau mustahil. Surainya seperti sapu ijuk, kasar, ditambah bentuknya yang keriting memicu semuanya melilit. "Hei, Nak," panggilnya kemudian.

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang