Chapter XIX

28 2 0
                                    

Chapter XIX | Uncover

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter XIX | Uncover

MALAM yang sama masih nahkodai buana.

Menembus kabut sebab suhu yang mendadak turun ekstrem, jauh melintasi sebagian tanah subur, sekalipun hujan jarang turun beberapa bulan belakangan, lanskap wilayah timur dirongrong atmosfer gelorat.

Obor-obor oranye-kemerahan terlampau kontras membakar pekatnya balam-balam. Perkemahan tentara yang baru saja dibangun selepas gencatan senjata yang bentrok fajar tadi mengisi tanah lapang, sesekali ditumbuhi rerumputan liar, dibasuh aroma keringat para pria kekar. Raksi anyir menyengat dari terbukanya luka-luka, khas pertempuran, mencicip epidermis akan pekat merah merebak. Erangan maupun isak tangis membendung lara tak kuasa lengangkan satu hari setelahnya usai perayaan.

Mereka yang menderita cedera ringan tertalah-talah mengurus yang sekarat, carut-marut tunjukkan jejak pertarungan tewaskan kesadaran. Direngkuh antariksa sebam, malu-malunya rembulan, juga api unggun hangatkan badan, seperdua dari anggota batalion berjaga di perbatasan, menjelajah pelantaran meski mata telah membentur kantuk. Berlandaskan kegelisahan menjajah batin, menerka-nerka andaikan antiwirawan tahu-tahu menyerang kala raga dirundung lelah—lengah, terlalu menyepelekan, berspekulasi kalau legiunnya yang lemah akan mengadakan serangan tanpa pengumuman.

Mengelilingi barak kuning gading yang disulami ikon mahkota berduri—termasuk bendera yang berkibar di dalam tenda—Raevan sesekali mengintip isi kamp, merapah perkumpulan pasukan terbaring tak berdaya ditemani luka-luka parah; tebasan, tusukan, atau barangkali mereka yang tahu-tahu tak bernyawa dialihkan menuju puncak bukit, ditumpuk menjadi satu bersama yang lain—tewas dalam peperangan dalam kondisi mengenaskan—lantas dikremasi, disapa lambungan asap hitam dibaur aroma khas mayat-mayat yang telah lama menjadi momok mengerikan.

Entah siapa saja yang binasa, Raevan tak tahu. Namun, tatkala tangis acapkali menyeruak dari angkasanya erang pilu, muntahkan air mata demi teman sejawat yang tak lagi di sisinya, telah menjadi bukti absolut atas kekejaman pertumpahan darah.

"Bagaimana dengan dia?" Telunjuk Raevan teracung pada salah satu pria yang hanya terdiam, layaknya manekin, tak menangis maupun frasakan sekelumit kisah kolega seperti yang lain. Napasnya tersengal; pekat merah cabuli tunik, meluber ke mana-mana embuskan aroma amis dari sisi pinggang. Walaupun demikian, lelaki tersebut tak bergeming. Sepasang netranya tertambat langit-langit tenda. Sepanjang Raevan menelisik, dunianya sekonyong-konyong hampa. Pendengarannya malfungsi sekalipun prajurit di sampingnya terus menjerit lantaran cedera.

Salah satu staf medis, menoleh, tambatkan irisnya pada si empu yang menatap kosong langit-langit. "Dia tertusuk tombak beracun," jelasnya sembari menghela napas. Pakaian bersih, obat-obatan, serta perban dipeluk di lengan petugas. "dan harus segera dipulangkan. Ada kemungkinan kalau ia akan cacat."

Alis Raevan meninggi, tertarik. "Dia tak bersedih?"

"Tidak ada orang di dunia ini yang berduka karena vonis kehilangan sumber penghasilannya, Tuan Crawn, terlebih kedua kakinya." Si puan menggeleng iba. Di ambang pintu, ia menyingkir, agak ke dalam sebab koleganya melintas, hilir-mudik mengobati tentara.

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang