Chapter VIII

82 7 5
                                    

Chapter VIII | The Conspiracy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter VIII | The Conspiracy

MENGIKUTI alur sungai, dua sosok tunggangi kuda yang sesekali meringkik diselingi derap ladam belah kesunyian. Kendati nyaris sepenuhnya surya dilumat dubius, Vincent serta Austeen seolah tak kehilangan navigasi. Iris mereka menajam, arungi gelita tanpa kehilangan kendali. Barangkali karena puluhan tahun lamanya bauri durjananya lautan bersama badai mencekam yang tiada pelita.

Ditemani cuitan burung camar yang kian jarang, pohon-pohon berbonggol raksasa dengan akar mencuat ke mana-mana, dan pacuan kuda yang melambat, Vincent yang memimpin arah menarik tali kekang kuat-kuat. Dalam posisi duduk siaganya, dia berputar-putar di tempat. Amati tanaman bersemak belukar yang mana tanahnya terasa tandus.

"Kau yakin kita menuju jalan yang benar?" tanya Vincent. Keningnya mengkerut, pamerkan kulitnya yang telah menua.

"Ya, Yang Mulia. Terus menuju selatan, dan ke arah pohon besar ke-lima belas menghadap barat daya." Austeen menyahut. "Saya kira, tempatnya ada di sekitar sini." Dia turun dari tunggangan. Mata kecilnya mencoba telanjangi malam yang hambat penglihatan.

"Ada lubang di antara dua pohon dan tanaman berduri di sana. Yang Mulia—" Begitu menengok ke arah Vincent, Rajanya itu justru telah berinsiatif terlebih dahulu. Austeen buru-buru mengikuti sembari menggelandang kudanya. Dia berjongkok. Telapak tangannya terjulur, menyaruk-nyaruk onggokan dedaunan kering hingga tampakkan satu tali kecil melingkar beserta papan kayu usang.

"Seperti yang dijelaskan, ada ruangan bawah tanah di baliknya," desis Vincent tak percaya. "Bagaimana mereka bisa hidup di dalam sana?"

"Benar sekali, Yang Mulia," tukas seseorang di belakang keduanya. Anak Adam itu memakai jubah hitam bertudung yang menutupi separuh parasnya. Di genggaman terdapat lentera pancarkan seringai lebarnya.

Austeen buru-buru menarik pedangnya, ciptakan denting besi mengangkara sambut tawa kecil sang pria asing.

"Kau mau menyerang sekutumu?" Pria tersebut kelihatan masih muda. Kisaran usia dua puluh delapan. Pandangannya bertransisi sedikit mengancam dengan senyum yang masih melekat. Begitu Austeen kembali sarungkan senjatanya, pemuda itu berjalan santai hampiri Vincent dan membungkuk. "Salam Yang Mulia Vincent, sang Nahkoda Tertinggi Aésthe dengan segala keagungannya."

"Hentikan basa-basinya. Antarkan aku menghadap Tuanmu." Vincent berpaling angkuh.

Theoden terkekeh. "Sama seperti yang kudengar, Anda cukup jemawa berada di wilayah asing." Ia menekuk kakinya. Tarik tali kotor tersebut sampai mengekspos kubang kelimut seakan tak berdasar. Theoden bersiul, undang remang-remang tarian cahaya lilin terangi ruangan. "Tamu terlebih dulu." Dia bersikap seolah pemilik rumah—meski ruangan bawah tanah tak bisa disebut rumah, mempersilakan Vincent untuk segera menuruni tangga reyot di bawah.

Austeen menatap penuh waspada, membuat Theoden menggeleng tak habis pikir. "Kalau tak percaya pada kami, kalian bisa segera kembali ke istana. Kami tak akan bertindak gegabah."

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang