Chapter XX

34 0 0
                                    

Chapter XX | Blessings and Curses

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter XX | Blessings and Curses

SELENA bermimpi panjang. Panjang sekali sampai ia menangis; hatinya kosong, sekiranya luluh lantak tak karuan; kepalanya sakit, pusing mengulik; tak luput dari perutnya yang bergemuruh lapar nan kerongkongan terbakar.

Barangkali, lipatan jeluang-jeluang lapuk beberapa tahun lalu tergelincir dari arsip memori, bercerai-berai proyeksikan cuplikan adegan lampau kala titelnya masihlah putri Arthur, seorang gadis bermahkota serta gelar agung selaku anak raja. Pun sepanjang yang Selena ingat kala keladak kesadaran menggedor kranium, daulat melankolis yang bertahun-tahun melekat, ia masihlah tergulung tragedi delapan warsa silam, laksana orang bodoh.

Begitu gelap muram menyentuh rekognisi, restropeksi paras ayahnya bercelaru, bergeser pada Etherelda, ibu sekaligus Ratu Clethinthiallor, juga salah satu sintua kerajaan, Altair, yang sosoknya baru saja Selena lihat di kuil Abhiraja kemarin lusa. Di antaranya kaburnya wajah-wajah persona yang ia temui selama dua puluh tahun ia bernapas, Selena masih hapal struktur lonjong dipadankan jambang hitam nyaris keputihan khas ubanan tipis, mata hijau pekat, juga alis panjang yang ia lihat tampak menggeliat bak ulat bulu.

"Supaya matahari bertahta, bulan haruslah tenggelam, Yang Mulia. Semakin terang cahayanya, semakin gelap pula bayangannya," kata Altair. Dia bersimpuh di sepanjang karpet merah menuju anak-anak tangga podium, tepat berhadapan dengan Arthur. "Saya kira, Anda paham betul mana yang dibutuhkan."

Dari balik pintu ruang tahta, Selena kecil mengintip meski dua penjaga istana memandanginya tak habis pikir. Sepasang mata kelabunya menyapu ayahnya yang menyilangkan kaki angkuh; kepalanya ditopang lengan yang bertumpu pada sandaran kursi. Meski keduanya tak menyadari—atau mungkin sudah, sebab Selena tak pandai menyembunyikan diri—gadis bersurai merah keriting serupa Arthur mundur, memilih berjalan beberapa langkah susuri koridor berfondasi bebatuan laksana rona jerebu diterangi kandil-kandil di sisi dinding.

Derak pintu kayu raksasa tak lama menggema, menjerit pada celah sunyi. Selena berbalik, menangkap Altair berbalut jubah hitam kebesaran. Mukanya terklandestin tudung sampai dagunya saja yang terlihat.

"Saya menyapa Bintang Kedua yang diberkati Dewa." Altair membungkuk, memberi hormat. Tangan kanannya menyentuh dada kiri; tangan yang lain tersembunyi dari balik punggung. Pria berumur tersebut menarik senyum manis.

Kening Selena berkerut. Tungkainya terseret menjauh. Dipayungi pijar lilin, refeksi Selena memanjang hingga sudut lorong. Jendela besar berlapis kaca patri warna-warni memantulkan sinar rembulan, memandikan ekspresi Altair yang menyimpan berbagai intensi tidak menyenangkan.

Sebelum serebrum kecilnya menduga-duga—dipenuhi pemikiran subal—sebuah suara remaja laki-laki memanggil dari belakang. Aroma hutan pinus menggelitik Selena, menggodanya untuk berbalik demi jumpai obsidian kakaknya, Ivone.

"Valeria."

Vokal rendah Ivone yang ia rindukan muncul di mimpinya. Dada Selena berdebar, berpacu seakan ia kembali berkuda dengan kakaknya di perbukitan dekat kastel. Sayangnya, semuanya sebatas euforia. Bukan kegembiraan yang menjamah, justru Selena dihempas duka; turbulensi memori Ivone dihujani anak-anak panah, jadikan dirinya perisai berujung Selena ketahui dwi manik jelaganya tak lagi berpendar; tubuh Ivone tak bernapas sejalan pada pasukan berselimut kabut mengejar.

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang