Chapter IX

90 7 7
                                    

Chapter IX | Scenery

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter IX | Scenery

DARI balik tabir tirai menggelayut margin jendela kereta kuda, perempuan berperawakan mungil menyembulkan sedikit telapaknya, membiarkannya dilibas angin senja sembari mengamati riuh-rendah dermaga. Rona amis seketika menggelitik penghidu—menyelinap dari celah ventilasi pedati—sedangkan jemarinya tak kunjung enyah dari ujung gorden. Manik hijau jernihnya menyusuri tepi jalanan. Dihadiri berbagai eksistensi rumah-rumah dari bata polos tiada perwarna, tak pula luput dari kepulan asap yang mengangkasa.

Bersama rona muram mengekang, Alena hanya memandang paronama pelabuhan tanpa aksara, tak terkecuali ada berbagai kuesioner melesap di antara bola matanya. Sebersit ketakjuban membekas, menyaksikan transformasi pesisir Qaushin telah mulai rasai era kontemporer.

Kincir-kincir angin raksasa bergulir alirkan tirta sungai berhilirkan bahar menuju perkotaan, isi tong-tong inventori sepenuhnya hingga berakhir di istana. Kapal-kapal bergeledak kayu kokoh padatkan bandar, dampingi kesibukan para kelasi dengan peti-peti komoditi. Di sisinya, tertambatlah sampan bahariwan isi jala akan ikan-ikan montok, dipindahtangankan ke arah keranjang anyaman, lantas diangkut gerobak dengan buruh pasar. Desibel pengait di mana angkut boks-boks beratus-ratus kilo beratnya mendecit di tengah konversasi kaum marhaen, diselingi kikikan tawa maupun seruan-seruan komando pegawai sipil.

Kendati sambekala telah rampas corak kebiruan mega dengan merah keemasannya, tak sanggup hentikan aktivitas sebagaimana mestinya. Sekalipun festival serta perayaan menanti besok, tuangkan hari monumental lainnya dalam satu tahun kalender Juksu.

"Selena, astaga! Kau masih berkencan dengan papan membosankan ini, hah?!" Jerit nyaring lecutkan huru-hara yang kian menjadi-jadi. Alena berujung menoleh, jerat sosok gadis muda bertopi lebar berpadu dengan gaun renda biru pucat. Dia tampak memasang raut dongkol, beralih uapkan tawa lebarnya. Dari gayanya, Alena yakin benar jika putri tersebut bukanlah orang sembarangan. Ditambah beberapa penjaganya yang mengawasi ditemani pelayan pribadi mengekori. "Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Erick, hah? Sudah alami kemajuan?"

Lawan bicaranya menggeleng, umbarkan dengusan kaku. Bibirnya bergerak-gerak menyahut ucapan si gadis—yang sayangnya tak terdengar dari posisi kereta yang ditumpangi Alena. Dia lilit tubuhnya dengan pakaian khas pendekar berlapiskan jubah kumal tutupi rambut mengembangnya. Alena akui, perempuan jawara itu memiliki aura tersendiri; kuat nan tak terbantahkan. Pedang tersampir di pinggang, busur dan anak panah mengisi kokosongan punggung.

Temannya—kalau boleh Alena sebut begitu—merengut tak setuju. Tangannya menarik-narik tubuh si pendekar, memaksanya pergi menuju ke suatu tempat dengan bibir yang terus berkomat-kamit seperti menggerutu.

Bagaimana bisa mereka berteman, ya?

Sampai akhirnya Selena—yang dipanggil demikian—menuburukkan irisnya pada hentakkan pedati kerajaan. Bukan alang kepalang mencolok sebab warna mentereng serta kuda putih khas istana. Pupil Selena melebar, kentara menahan keterkejutan manakala menangkap presensi Alena yang sama-sama menatap dirinya. Hingga semesta turut andil bagian, bisikkan angin predestinasi berupaya pikat sang anak hawa. Sibak tudung jubah sampai telanjangi surai kemerahannya yang berkilat bagai batu rubi tatkala sorotan kirana baskara menghujaninya, pun secara simultan ambil atensi Alena pada Pennelope yang mendobrak hening.

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang