Chapter VI

88 9 12
                                    

Chapter VI | Loveless

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter VI | Loveless

ISTANA tempat kediaman raja sukses menyisakan koridor-koridor panjang dengan lampu temaram. Dalam tiap jarak lima meter, tampak jendela-jendela besar ditemani tarian tirai di baliknya. Cahaya bulan terpantul, sinarnya memanjang menghujani Arshen hingga bayangannya memenuhi dinding. Langit-langit begitu tinggi dihiasi ukiran-ukiran rumit sang pengrajin. Dalam kemelut malam yang menjajah kulit, jejak langkah Arshen begitu jelas menggema—menembus kelabu depan sana, sedikit memamerkan pendaran lentera dari dalam ruangan.

Di tengah hening mendesis bercampur rima angin menggugah kantuk merajai, Arshen mendadak menjadi waspada. Pelipisnya berkerut heran, tak mendapati satu pun pengawal istana berjaga. Ini sudah pukul delapan. Seharusnya ada pergantian pekerja. Begitu pula tak adanya presensi pelayan yang hilir-mudik. Lampu lorong seperti sengaja dipadamkan dalam jeda bilik tertentu. Entitas pelita tak tampak sedikit pun pada sejumlah sisi jendela.

Arshen tahu-tahu mencengkeram gagang pedang. Pandangannya menajam, berusaha membelah pekatnya kegelapan kendati sia-sia. Emosinya berubah tak stabil. Sekelumit praduga menjamuri tempurungnya. Pemuda itu lantas melangkah terburu, membaur pada piraunya suasana tanpa pedoman.

Bersama kalut yang perlahan menukik naik, napas yang terengah, keringat dingin serta rotasi aneka spekulasi, Arshen terus berlari. Dikungkung rasa takut yang merayapi relung hati, ia kian merasa koridor istana semakin memanjang. Teror mimpi buruknya muncul ke permukaan. Tangan-tangan mengerikan dalam ingatannya berusaha menjangkaunya, menyeretnya dalam kubang neraka. Rontaan juga teriakan pilu menyumpal rungu. Aroma anyir mendominasi kepala berhias tulang-belulang di bawah kaki menenggelamkannya pada kelesah yang menghisap kewarasan.

Arshen kemudian berhenti. Seluruh tubuhnya diguyur candra. Siluet wajah tegasnya terpapar dari kaca. Rembulan masih berada di tempatnya, meniup berkahnya akan kirana. Sedikit-banyaknya memandu akan jalur yang hendak diraih. Lelaki tersebut sesaat terpaku diselingi gejolak napas tak teratur diikuti desibel denting besi mengangkasa. Bola matanya melebar sepenuhnya. Jemari Arshen menggenggam pedangnya kuat-kuat. Suara dahan pohon di luar sana terdengar patah, daun-daunnya berguguran, diekori gesitnya pergerakan figur berpakaian serba hitam meloncat turun sampai daksanya menghilang dari balik tembok istana.

Terbayang bilamana tragedi lampau dalam otaknya itu kembali terealisasikan, Arshen kontan menggapai pintu ganda ruangan kerja Matthias—menjeblaknya begitu keras bertepatan pada raga ayahandanya yang luruh. Jatuh bersimpuh tersoroti kemilau bulan.

Arshen jelas masih hapal sekali soal ibunya yang meregang nyawa. Wanita tersebut batuk tanpa henti, tersungkur tak berdaya melawan racun yang menjalari nadi. Pakaiannya ternoda bercak kemerahan kental, meluber ke mana-mana lantaran muntah darah. Ronanya pucat pasi. Tatapannya sayu sebelum kelopaknya terkatup sepenuhnya. Arshen masih ingat detik-detik di mana Maut menjemput Zharaon seakan baru terjadi kemarin. Begitu mengerikan sampai mengikuti bunga tidur.

Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang