Chapter XXI | The Wicked
"DEMI Dewa! Kemana perginya mereka?" Masih di ambang pintu, mondar-mandir ditemani Erick, tetangga sebelah sekaligus asistennya sebagai kepala administrator dermaga, Bibi Mallory menggigiti ujung kukunya cemas. Ekor mata kucingnya berulang kali mengintip ujung gang tempat tinggal—yang mana tidak terlalu jauh dari jalan utama—lantas diakhiri kecamuk emosi; menerka-nerka masalah apa lagi yang barangkali menimpa dua biang keladi yang senang sekali mencari—ah, tidak, tanpa melakukan apapun, Selena dan Aiden sudah menjadi sasaran empuk segala permasalahan.
Di sisinya, Erick menepuk bahu wanita tambun tersebut, bertindak menenangkan. "Tidak apa-apa, Bi. Mereka pasti akan kembali. Mungkin saja mereka menonton festival," ujarnya, muntahkan segelintir praduga yang beberapa tempo sebelumnya meneduhkan batin.
"AKU SUDAH MENCARINYA!" Bibi Mallory berteriak, frustasi. "DAN JIKA MEREKA MEMANG ADA, MEREKA AKAN ADA DI SANA! TETAPI MEREKA TIDAK!" Jari-jemarinya menjambak rambut cokelatnya kuat-kuat. Sekiranya dengan begitu dapat meredam resah juga gundah, ingin memukul kedua anak-anaknya itu: melampiaskan macam-macam perasaannya yang setengah hari ini dicekik kegelisahan.
Erick tercenung, agaknya terkejut manakala ia dilontarkan gumpalan omelan. Pemuda tersebut mundur selangkah; matanya bergerak acak, tahu-tahu turut kalang-kabut, setengah hati merutuk ke mana perginya Aiden juga Selena, kendati manjapada telah membalam. Dari kejauhan, terlihat jelas warna-warni lampion menerangi perkotaan; sayup-sayup musik nan keramaian mengguyur malam. "Oke ... apa Bibi sudah melapor? Mereka hilang."
"Belum," sahut Bibi Mallory singkat. "Ini festival, Erick. Penjaga tidak akan memproses laporan orang hilang selama setengah hari." Wanita itu mendesah, mengembuskan napas kasar. Masih berbalut pakaian perayaan—gaun yang dikenakannya kala berkunjung ke kuil Abhiraja guna persembahan—Bibi Mallory memilih meluncur ke ruang tamu, mendudukkan diri selagi meneguk segelas air yang beberapa saat lalu ditawarkan Erick.
"Kalau begitu, aku akan mencoba." Erick yang mengekor, menangkup telapak tangan Bibi Mallory seolah memberi ketenangan. "Aku akan pergi ke pusat kota dan melapor kehilangan keduanya. Mungkin, ada yang berkenan membantu."
Bibi Mallory tersenyum—kentara sekali dipaksakan disertai wajah kuyu. "Thanks, Erick, dan maaf," ucapnya. "untuk membentakmu tadi."
"Tidak apa-apa." Erick berbalik, mengencangkan kemeja yang tadinya dilepas tiga kancing teratas. Panas, katanya. Menatap Bibi Mallory sekali lagi, jejaka itu melanjutkan, "Berdoalah, aku bertemu mereka di jalan nanti, Bi." Kalimatnya tenggelam seiring pintu kayu di hadapan tertutup.
Sekali lagi, Bibi Mallory menghela napas. Berpaling pada malam menjuntai di balik kaca jendela, dia menangkupkan kedua tangan, berdoa; sekiranya Dewa mendengarkan. Tolong, beri mereka keselamatan, bisiknya di penghujung semburan angin dingin, mengoyak api Iannes Yang Agung. Tergelincir padam, entah karena hawa malam menjepit persendian yang mana asakan kehangatan atau mungkin, sebuah pertanda. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Bibi Mallory tahu hal yang pasti; Dewa tidak mengabulkan doanya kali ini, sama seperti ketika ia dambakan suaminya kembali dari medan perang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Safe and Sound
FantasyTujuan Selena Porter usai rajapati delapan tahun lalu adalah melarikan diri, bersembunyi; membuang nama keluarga yang telah membelenggu kedua kaki akan orakel para kamitua dan hidup layaknya tikus mati. Namun, segalanya menjadi berantakan manakala a...