12. coffe latte : tentang kita yang terluka

63 9 0
                                    

Dibawah sinar bintang dan bulan yang terang benderang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dibawah sinar bintang dan bulan yang terang benderang. Adel dan Mahesa sedang duduk berdua. Tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Hanya ada sunyi dan juga suara jangkrik.

Mahesa tidak tahu harus berkata apa pada Adel. Ia sudah jadi pengecut yang lebih memilih pergi di banding tinggal. Mahesa ingin semuanya kembali sama seperti dulu, saat ia masih bersama Adel sebagai sepasang kekasih.

"Adel gak mau, lihat kak Mahesa kaya gitu lagi." Adel membuka pembicaraan. Matanya masih menerawang jauh ke atas langit.

Satu detik, dua detik, tiga detik, masih belum ada jawaban dari Mahesa. Kini Mahesa menggenggam tangan kecil Adel. Ia menatap Adel dengan tatapan penuh rasa bersalah.

"Iya, kakak gak akan gitu lagi." Mahesa tersenyum. Dan masih enggan melepaskan ngenggamannya.

"Semua yang terjadi sama aku, bukan salah kak Mahes. Jadi kak Mahes gak perlu merasa bersalah. Aku baik-baik aja kok sekarang."

"Ta-pi Del, ini semua terjadi karena kamu berhubungan sama aku."

"Diem. Adel gak mau denger itu lagi." Adel menutup kedua telinganya. Mencoba untuk menghentikan Mahesa yang selalu berkata kalau ini semua adalah salahnya.

Kini keduanya sedang berjalan bersama menikmati indahnya langit malam yang bertabur bintang dan juga cahaya bulan. Tidak ada pebicaraan, hanya ada suara jangkrik yang memecah keheningan.

Saat masih pacaran dulu, Mahesa dan Adel juga sering melakukan kegiatan seperti ini. Hanya sekedar jalan-jalan di bawah taburan bintang, atau jajan tahu bulat yang di goreng dadakan. Sebuah kesederhanaan namun mampu membuat keduanya bahagia. 

"Adel masih inget gak, kalau dulu kak Mahesa pernah bilang bulan itu lebih suka sendirian?" Kini Mahesa yang membuka pembicaraan lebih dulu.

"Iya, Adel masih inget." Adel tersenyum dan memandangi wajah Mahesa. Yang entah kenapa mala mini terlihat begitu indah, dengan cahaya bulan yang menerpanya.

"Karena bulan, akan bersinar sendirian. Dia gak mau bagi cahaya yang dia punya. Bukan karena bulan egois. Tapi karena bulan mau, manusia-manusia di bumi bisa mengagumi semua yang ada di langit." Kini Mahesa yang memandangi Adel. Mata keduanya bertemu, senyum terukir dan rasa bagia juga terpancar dari raut wajah keduanya.

Tiba-tiba saja Mahesa memeluk Adel. Dalam peluk yang begitu erat, peluk yang selama ini Mahesa rindukan. Bukan sekedar bualan, tapi rasa yang benar ia rasakan. Diam-diam Mahesa membisikan sesuatu di telinga Adel.

"Untuk semua yang terjadi di antara kita, kakak minta maaf ya Del."

Dalam peluk itu, Adel mengangguk dan meneteskan air mata. Ia juga rindu akan rumah yang sudah jadi penopangnya selama satu tahun enam bulan itu. Adel rindu bagaimana Mahesa berbicara kepadanya, bagaimana Mahesa menatpnya, memperlakukan nya seperti tuan putri. Namun jika di titah untuk kembali Adel tidak bisa. Jawabannya akan tetap sama, Adel tidak bisa menerima Mahesa kembali ke kehidupannya sebagai kekasih.

Coffe latte ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang