8. First Night

51.5K 492 2
                                    

Kubuka pintu secara perlahan. Menampilkan kamar remang. Langkah lelahku masuk dengan gontai. Berjalan dengan pandangan lesu. Dapat kulihat sesosok tubuh panjang dan besar sedang terbaring lelap di ranjangku.
 
Melirik jam. Sudah hampir pukul dua dini hari. Dan aku baru pulang, setelah tadi menjalani hari yang penat. Yaitu, pernikahan.
 
Ya, beberapa jam yang lalu aku baru selesai menggelar pesta penikahan. Tapi setelah semuanya rampung, aku malah pergi ke klub langgananku. Meninggalkan ayah, ayah mertua, dan tentu saja suami.
 
Dering gawaiku berbunyi nyaring. Kuangkat panggilan tersebut sembari menatap suami yang sedang terbaring tenang.
 
"Ya?"
 

"Bella! Where are you, Babe?" Aku mencarimu kemana-mana." Terdengar musik kencang dari seberang.

 
"Pulang."
 

"What?? Jangan bilang kau ingin melakukan malam pertamamu."

 
"Aku lelah. Bisakah kau menelepon lain waktu?"

 
"Come on, Babe. Pernikahanmu itu hanyalah perjodohan. Kau tidak perlu menganggapnya sebagai suami. You're still free."

 
"Aku pulang karena lelah. Hari ini terlalu panjang."
 

"Baiklah. Kau istirahat saja. Besok aku akan menghubungimu."
 

Panggilanpun terputus. Lalu sebuah suara menyadarkanku.
 
"No-Nona," panggilnya ragu.
 
"Hai, Edward. Kau sudah bangun?" tanyaku basa-basi.
 
"Maaf aku ketiduran." Menggaruk tengkuknya canggung.
 
"Tentu saja. Kau menghabiskan tehku." Daguku menunjuk cangkir kosong di atas nakas. Itu adalah teh yang biasa kuminum untuk membuatku cepat tertidur.
 
"A-ah ... ma-maaf, Nona."
 
"Panggil aku Bella, aku bukan anak majikanmu lagi. Aku istrimu, benarkan?" Tersenyum tipis.
 
Edward dan ayahnya adalah salah satu pekerja di kebun anggur ayahku. Ya, ayahku adalah pemilik kebun anggur yang cukup besar dan terkenal.
 
"Tetap saja rasanya sedikit aneh. Aku sudah terbiasa memanggilmu Nona."
 
"Tidak masalah. Bukankah kita pernah bermain bersama sewaktu kecil? Itu berarti kita teman kecil, Edward. Kuharap kau tidak perlu sekaku itu padaku." Aku duduk dipinggir ranjang. Ia pun ikut mendekat.
 
"Kau baru pulang, Non-- maksudku, Bella?"
 
"Ya, begitulah. Tubuhku lengket. Aku mau mandi sebentar."
 
Kemudian tubuhku melesat ke dalam kamar mandi. Sekitar 20 menit berlalu, aku keluar dengan rambut basah dan tubuh hanya terbalut handuk kimono. Ternyata Edward masih terjaga. Ia duduk bersandar pada kepala ranjang. Sembari memainkan bantal.
 
Kehadiranku berhasil menyita perhatiannya. Aku tak begitu memedulikan dirinya. Aku duduk di depan meja rias. Menatap pantulan wajah pucatku di depan cermin. Aku sadar sejak tadi atensiku terus diperhatikan olehnya.
 
"Apa kau tidak bosan memperhatikanku?"
 
"Emm-- maaf." Kulirik dirinya yang sedang menunduk. Aku menarik napas dalam.
 
"Bukankah usia kita sama, Edward? Jadi kau tidak perlu secanggung itu," kataku tanpa menoleh.
 
"Aku memang payah," gumamnya masih dapat kudengar.
 
"Payah? Apa sebelumnya kau punya kekasih?" tanyaku penasaran.
 
"Tidak, aku tidak punya."
 
"Hmm, begitu." Menggangguk paham.
 
Hening. Kami tak lagi berbicara. Setelah selesai mengeringkan rambut, baru kulepas tali pengikat handuk ini, spontan Edward memalingkn wajah.
 
Aneh. Harusnya ia bersikap selayaknya pria pada umumnya. Apalagi saat ini masih dalam suasana malam pertama, meski beberapa jam lagi pagi akan menyambut.
 
"Apa melihatku tanpa busana adalah hal yang menjijikkan, Edward?"
 
"Bu-bukan begitu. Aku hanya ... hanya ...." Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya.
 
Tidak. Aku tidak percaya masih ada pria kuno. Sekalipun Edward berasal dari daerah perkampungan, tetap saja semua pria itu sama. Ketika melihat mangsa, mana mungkin akan ditolak.
 
"Kau tidak meminta malam pertamamu?" Tanganku bertolak pinggang. Menantang.
 
Ia tidak menjawab. Matanya masih setia melihat kesembarang arah.
 
"Tenang, Edward. Aku tidak jadi melepaskan handukku." Barulah ia menatapku lagi. Ia menggaruk belakang kepalanya dengan kikuk.
 
Senyum jahil pun terbit. Aku tidak tahu dari mana pikiran usil itu datang. Aku hanya ingin memastikan dugaanku.
 
Tanpa aba-aba tubuhku meloncat ke atas ranjang, lalu mendorong tubuhnya hingga terlentang. Kentara sekali Edward terkejut setengah mati.
 
"Hahaa!" Tawaku menggelegar.
 
"Be-Bella ...,"
 
"Haha ... maaf. Kau terkejut, ya?"
 
"Hmm, itu ...." Kuikuti arah matanya.
 
Mata ini langsung melotot sempurna karena ternyata tubuh depanku terpampang nyata. Aku lupa jika talinya sudah terlepas.
 
"Shit!" Bibirku mengumpat. Aku bangun dan mengikat kembali talinya.
 
"Be-Bella ...," panggilnya serak.
 
Matanya sayu. Jakunnya naik-turun. Ia menatapku lapar. Seperti yang telah kuduga. Mana ada kucing yang bisa menolak ikan asin?
 
"Apa sekarang pertanyaanku tadi bisa kau jawab? Kau tidak meminta malam pertamamu?" Tersenyum miring.
 
Ia sibuk menghirup napas dalam-dalam. Seolah sedang menenangkan diri. Well, aku adalah wanita yang terbiasa dengan kebebasan. Dunia malam adalah kehidupan ke dua bagiku. Tapi aku bukan jalang yang haus akan belaian. Meski tentu saja diera sekarang hal yang lumrah jika sudah tak perawan lagi.
 
Tapi aku tak yakin pada Edward. Mungkin ia adalah golongan orang yang harus bercinta setelah menikah. Cukup menarik.
 
"Edward, bagaimana jika aku menginginkan malam pertama kita?" godaku. Ia terpaku menatapku.
 
"Kau mau?" tawarku.
 
"Aku merasa tidak pantas." Ia kembali menunduk. Aku menduduki pahanya. Lalu mengangkat dagunya. Tatapan kami bertemu.
 
"Aku sudah tidak perawan. Apa orang sepertimu akan jijik mendengarnya?"
 
"Tidak!" jawabnya lantang. Aku terkekeh pelan.
 
"Kalau begitu, tidak ada alasan mengatakan dirimu tidak pantas." Kubelai rahang yang dipenuhi bulu-bulu tipis. Ia mengejang.
 
"Bukankah kau tidak menyukaiku?"
 
"Yang tidak kusuka adalah menikah. Bagiku pernikahan itu mengekang. Aku tidak suka itu."
 
"Asal kau tau, Edward. Aku memilih pasangan secara random. Tidak menentukan secara spesifik, seperti status soalnya, atau kondisi fisiknya. Tapi biasanya aku tidak menenetap. Karena aku suka hubungan yang tidak mengekang." Membelai bibir bawahnya sensual.
 
"Aku lega mendengarnya," ia tersenyum lebar.
 
"So, you want to play with me?" Lalu kubelai lembut kepalanya. Supaya ia nyaman dan berhenti bersikap canggung.
 
Ia tak menjawab. Tapi tatapanya lurus pada bibirku. Wajah kami saling mendekat. Deru napas bisa dirasakan. Tubuhku mulai terasa panas. Sudah cukup lama aku tak melepaskan gairah seperti ini.
 
"Emmhh ...," desahku tertahan.
 
Tangannya di pinggang. Menarik tali handuk ini lalu melepaskannya. Kini tubuh polosku diraba. Dari punggung sampai naik ke bahu. Kupu-kupu mulai berterbagan dalam peruku.
 
"Ssshh ...," desisku. Kulepaskan pangutan kami. Mata Edward kini mengarah pada buah dadaku yang tidak besar, tapi tidak kecil juga. Sedang.
 
"Kenapa hanya dilihat? Sentuh saja. I'm yours tonight."
 
Detik itu juga ia mendorong hingga tubuhku terlentang. Ia menjulang dihadapaku. Mengukung dengan tangannya berada ke dua sisiku. Kuberikan senyum termanis yang kupunya. Sengaja menggigit bibir bawah, lalu memijat sensual payudaraku. Semata-mata membuatnya makin gila.
 
Hal itu berhasil. Tatapan gelapnya begitu seductive. Tubuhku bergetar merasakan sensasi ini. Edward kembali melumat bibirku, sembari melepaskan piyama satinnya dengan tergesa. Hingga tubuh atletisnya membuatku libidoku makin naik. Kuraba dada dan perutnya, lalu kucubit kuat puting kecoklatannya.
 
"Arghh!" geramnya. Pangutan kami terlepas. Mata kami bertemu.
 
"Katanya, cara alami memperbesar payudara dengan cara diremas." Kugesek putingnya dengan gerakan memutar. Matanya terpejam karena ulahku.
 
"Biasanya aku selalu meminta teman kencanku memainkan buah dadaku setiap waktu. Kau ... mau menggantikannya?" tawarku sembari meremas bukit kembarku dengan kuat.
 
"Ooh ... ssshh," desahku lolos begitu saja.
 
Tanpa ada jawaban, Edward kembali mencumbu bibirku. Mengajak lidah kami kembali saling bergelut.
 
____________________
 
TBC

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang