"Ahh!" pekiknya setelah kembali kuremas lembah keramatnya.
Kini dress selutut Jasmine sudah tanggal. Bra dan celana dalam pun telah terkapar di lantai. Tubuh pucat polosnya terpampang nyata dihadapanku.
Dalam keadaan tubuh kami saling menghimpit, wajahku kembali maju mendekat. Ingin meraup bibir manisnya lagi. Tapi tangannya malah menahan dadaku. Mata sayu ini menatap bingung.
"Curang. Aku sudah telanjang, tapi Dokter malah masih berpakaian lengkap."
Mendengar hal itu tanganku kembali menekan vaginanya. Ia tersentak kembali.
"Kau harus konsisten, Jasmine. Jika kau memang ingin memanggil namaku, maka sebutlah dengan benar."
"Engghh ... maaf, aku lupa, Daniel." Matanya hampir terpejam setelah jariku memainkan puting dan dada mungilnya.
"Aku akan membuka pakaianku, ketika kau memainkan dirimu sendiri terlebih dahulu."
"Ta-tapi aku menginginkanmu," lirihnya.
"Aku juga. Bahkan aku ingin sekali kau menari erotis seperti sebelumnya di depanku sekarang." Menggesek klitorisnya.
"Sshh aahh ...," desisnya tak tahan.
"Tapi sayang, kita harus memanfaatkan waktu dengan baik. Mungkin lain waktu saja. Aku menyimpan vibrator cadangan. Jadi kau mainkan itu."
Tubuhku beranjak menuju lemari kecil. Tempat biasanya kusimpan barang-barnag penting. Ya, termasuk mainan untuk Jasmine.
Kukeluarkan benda lonjong nan panjang. Mirip sekali dengan kelamin pria. Benda ini kubeli dengan harga mahal hanya untuk Jasmine. Aku memikirkan kepuasan gadis itu. Tentu saja sekaligus keamanan dan kenyamanan saat menggunakannya.
"Berikan padaku emmhh," rintihnya sembari memainkan ke dua puting merah mudanya.
"Ini," balasku dengan menyodorkan benda itu tepat di mulutnya. Jasmine mengerti. Ia membuka mulut lalu mengulum sensual.
"Uh .. Jasmine. Kau cantik sekali," pujiku riang.
Bibir ranumnya kini menghisap dan menjilat benda panjang tersebut. Terus dan terus. Menatapku dengan tatapan gairah yang begitu tinggi. Seiring meremas kuat bukit kembarnya. Pemandangan yang sungguh tidak waras.
Kepolosannya raib. Jasmine sudah seperti wanita muda di klub langgananku. Sedang mencoba merayu untuk didatangi. Aku bisa merasakan betapa sesaknya pusaka di bawah sana. Ingin bebas dan terpuaskan seperti biasanya.
"Kau membuatku ingin menggagahimu detik ini juga, Jasmine," geramku.
Gadis itu tidak bisa menjawab. Ia malah sengaja mengeraskan desahan tertahannya. Dengan rongga mulut yang sedang penuh oleh vibrator, pinggulnya naik turun. Seolah menggodaku.
"Gadis nakal!" seruku kesal. Kucabut benda itu dari lumatannya, lalu segera mencumbu bibirnya kasar.
"Enghh!!"
Dengan tak sabaran kulepas semua pakaian. Hingga kini kami sama-sama tanpa sehelai benangpun. Lumatan bibir semakin menuntut. Sampai akhirnya aku sengaja memutuskan pangutan kami. Benang-benang saliva tampak nyata.
Jasmine terengah. Tapi tidak bagiku. Entah apa jadinya jika orang tuanya tahu, tentang apa yang telah kulakukan pada anak berlian mereka.
"Kau mau ini?" tunjukku pada pusaka gagahku. Jasmine menatap sayu. Ia menggigit bibir bawahnya sensual.
"Daniel ...," pintanya memohon.
"Mainkan dulu dirimu, Baby," bisikku serak. Kutuntun tangannya menggenggam vibrator, lalu memasukkannya ke dalam lembah keramat miliknya.
"Ayo, Baby girl."
Jasmine memainkan benda itu di bibir vaginanya. Terdengar lenguh indah. Tanganku membantu merangsang putingnya kembali, sedangkan satu tanganku yang lain menggesek klitorisnya.
"Ohh ah!" desahnya terkejut. Apalagi kini benda itu berhasil menerobos gua surga miliknya.
"Bagaimana rasanya?" Aku menonton puas ketika Jasmine memaju-mundurkan vibrator tersebut. Tatapanku lurus berpusat di tempat itu.
"Aahh ... ah, aahh." Jasmine hanya mampu menjawab dengan desahan manja.
"Damn it! You're so hot, Baby."
Mataku mulai nyalang. Tersulut kabut gairah tak tertahankan. Dan tanganku menjulur ke bawah, dimana pusaka gagah itu tengah mengcung tegak. Kuurut perlahan sembari memperhatikan aksi gila gadis polos di bawahku ini.
"Uuuhh ... Jasmine."
Dalam kegilaan Jasmine yang sedang mencari kepuasannya, aku pun tak terelakan ikut melakukan hal yang sama. Kegiatan mengurut yang begitu pelan, kini berubah ganas. Semakin cepat dan cepat lagi.
"Argghh!!" geramku ketika Jasmine ikut mempercepat proses maju-mundurnya.
"Da-Daniel ... ini nikmat. Ah, aah, uuhh yashh!" rancaunya.
"Iyahh ... lebih cepat, Jasmine ... aahh!" Kepalaku mendongak.
"Daniel tolong ... oohh! Aahh please ...." Ia mulai merengek kembali.
Aku kembali menatapnya, ketika namaku dipanggil lagi. Sebenarnya aku sudah gemas ingin segera memasukinya. Lalu kuhentikan acara onani itu, segera kusambar tubuhnya. Kubuang kesembarang arah vibrator itu.
"Aku datang, Baby."
"Sshh ah!" Tubuhnya tersentak hampa.
Kucumbu kembali bibir manisnya. Kami kembali bergelut dalam ciuman panas. Tangannya meremas rambutku kuat.
"Enghh ... Daniel please," pintanya lagi.
Tanpa menjawab, ciumanku telah berpindah pada leher putihnya. Kulitnya begitu halus dan lembut. Lumatanku makin kasar, dan sudah pasti meninggalkan bercak merah di sana. Anggap saja itu karya dariku.
Lalu dengan lahap kuhisap putingnya. Hisapan yang sangat kuat dan kencang. Jasmine menjerit. Untung saja ruangan ini kedap suara, dan begitu pula pintunya sudah terkunci rapat. Aman. Aman untuk membuatnya berteriak.
"Payudaramu padat dan bulat. Sebentar lagi pasti akan membesar," kekehku.
"Daniel ... lagi, ayo hisap lagi."
Kuturuti permintaannya. Kembali menghisap dan memilin putingnya. Di bawah sana sudah menyentuh tepat di depan bibir vaginanya. Vagina tanpa bulu. Mulus dan menggemaskan. Sampai rasanya ingin kumasuki dengan kasar.
"Sshh ah, ahh Daniel ...."
"Siap, Baby?" bisikku menatap tajam.
Jasmine hanya mampu mengangguk pasrah. Ia pasrah di bawahku. Tak berdaya dalam kukunganku. Merelakan sepenuhnya untuk kuhujam habis-habisan. Untuk kuhentak sampai puas. Dan mencapai puncak kenikmatan dunia.
Akan kubuat tubuhnya bertekuk lutut. Akan kubuat hatinya memuja dan mendamba. Mengambil seluruh napasnya sampai ke neraka bersama. Hingga dititik di mana ia akan mati bila tak melihatku.
"Aahkk!" pekiknya sakit ketika pinggulku baru menenggelamkan seperempatnya.
"Padahal sudah cukup sering. Kenapa masih sempit saja? Shit!" gerutuku kesal.
"Jika aku tidak punya hati, tiada yang kupedulikan selain kenikmatanku sendiri," lanjutku yang mencoba sabar memajukan penis ini dengan telaten.
"Huuhh ... sakit." Suaranya bergetar. Momen ini selalu terjadi setiap kali kami berhubungan.
Aku menghirup napas dalam-dalam. Karena Jasmine selalu merasa kesakitan diawal. Sedangkan aku? Aku tidak tahan dijepit seperti ini. Terlalu nikmat rasanya. Aku tidak ingin egois.
"Mungkin karena kau terlalu muda untukku, Jasmine. Maaf, ya?" Kukecup keningnya dalam.
"A-aku tidak apa-apa, tolong lanjutkan," imbuhnya menahan nyeri.
"Sebentar lagi sakitnya hilang." Aku berujar dengan suara rendah.
Jasmine menutup matanya rapat-rapat. Jemarinya meremas kuat pinggiran sofa. Dan aku sedang berjuang menghilangkan rasa sakitnya.
Perlahan tapi pasti. Penisku mulai masuk setengah. Hal itu berhasil membuat Jasmine merintih nikmat. Aku tersenyum puas melihatnya. Hingga pinggulku kini mampu menenggelamkan sluruhnya.
"Uuhh ... ini sempit sekali," pujiku senang.
"Rasanya penuh. Ahh!"
"Rasanya enak?" godaku.
"Aahh iya, ah!!"
Pinggulku langsung bergoyang dengan ritme agak cepat. Ini sungguh luar biasa sekali!
"Kau begitu-- uuhh yeahh!" Kalimatku terputus ketika terasa hisapan kuat di dalam sana.
"Ah, ah, ahh, yeahh! Sshh ohh." Jasmine tak kalah gilanya dalam mendesah. Membuatku hilang akal.
"Jasmine-- aahh ... aku tidak memakai pengaman. Kita-- sshh ... harus berhati-hati. Arghh!!" geramku lantaran gemas. Jasmine ikut menggoyangakn pinggulnya.
"Sshhh aahhh."
_______________
TBC