3. Dating App (3)

75.2K 824 5
                                    

"Alex, aaahh ...," rintihku tak tahan. Ketika ke dua tanganku meremas bukit kembar ini dengan gemas.
 
Geli dan begitu nikmat menerbangkan jiwaku sampai melayang jauh. Alex tetap menatapku dengan seduktive. Bahkan tangannya tetap menuntunku agar tetap pada koridor.
 
"Hana, cubit pelan-pelan putingmu," perintahnya.
 
Aku menuruti perkataanya. Gila! Rasanya sungguh tidak waras. Aku belum pernah hampir segila ini.
 
Aku memanglah wanita kolot dan polos. Sampai-sampai aku baru merasakan sensasi yang begitu luar biasa ini di saat usiaku mulai matang.
 
Disaat banyak kabar tentang teman-temanku yang sudah tak perawan lagi, aku malah baru merasakan hal ini sekarang. Hidupku memang monoton dan membosankan.
 
Tiba-tiba sudut mataku berair. Aku tak sadar jika pikiran semacam itu berhasil mebuatku menangis.
 
"Sweety, ada apa?" Alex mengusap pelan pipiku.
 
"Ti-tidak ada." Suaraku bergetar.
 
"Hey, look at me! Apa ada yang sakit?" tanyanya khawatir. Aku menggeleng pelan.
 
"Sepertinya aku melukaimu?"
 
"Tidak Alex. Sama sekali tidak," lirihku.
 
"Apa kau tidak nyaman?"
 
"Tidak, bukan itu."
 
"Lalu kenapa kau menangis?"
 
"Aku hanya sedang memikirkan sesuatu." Menundukkan kepala.
 
"Hey, look!" Telunjuknya mengangkat daguku. "Jika yang kau pikirkan bukanlah hal yang menyenangkan, enyahkan itu."
 
"Kau benar, Alex."
 
"Kau cantik. Kau wanita yang menawan. Kau pekerja keras. Kau harus mencari kebahagiaanmu." Ia kembali mengelus kepalaku dengan teramat lembut. Seolah ada kasih sayang di sana.
 
"Alex ...," panggilku ragu-ragu.
 
"Ya, Sweety?"
 
"Apakah kau menganggap diriku sebagai mainan?"
 
"Pertanyaan macam apa itu?" Alisnya naik sebelah.
 
"Setelah ini, apakah kau akan mencampakkanku?" Kepalaku tertunduk kembali. Nyaliku ciut.
 
"Apa itu yang kau pikirkan hingga membuatmu menangis seperti ini?"
 
"Ti-dak, bukan begitu. Aku hanya ingin tau. Bukankah kita hanyalah teman kenalan pada aplikasi kencan. Kau tau, bahkan ini menjadi pertemuan nyata kita yang pertama," jelasku pilu.
 
"Wanita memang unik. Terlalu banyak memikirkan hal yang belum pasti. Kau terlalu berlebihan."
 
Mataku mengerjap gugup. Kupikir memang benar, bahwa Alex tidak mungkin berniat serius denganku.
 
"Dari pada kau terus memusingkan kejadian yang belum terjadi, lebih baik kita berusaha untuk terus bersama."
 
"A-apa??" Mulutku menganga. Tidak menyangka bahwa pria itu menjawab demikian.
 
"Kau tau, aku pria sibuk. Kau juga. Kita sama-sama tidak punya waktu mencari pasangan yang tepat. Mengapa kita tidak mencoba bersama? Bukankah selama enam bulan ini kita merasa cocok? Bukankah kita punya banyak kesamaan?"
 
"A-Alex ...," gumamku terharu. "I-itu berarti, kau tidak akan meninggalkanku setelah tubuh ini kuberikan seutuhnya 'kan?"
 
"Memangnya kau yakin akan memberikannya padaku?" godanya.
 
"Alex!" tegurku malu. Kupukul pelan lengannya. Terdengarlah tawa beratnya.
 
"Bagaimana kalau kita lanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi, hmm?" Alisnya naik-turun menggoda.
 
"Ish! Kau ini! Itu bukan pekerjaan!" Semburat merah sedang menghiasi seluruh wajahku.
 
Karena tak tahan denga perasaan malu ini, kupeluk tubuh gagahnya dengan erat. Lalu menenggelamkan wajah pada dada bidangnya. Telingaku mendengar tawanya yang menggelegar.
 
"Lucu sekali kau ini, Sweety. Bagaimana kalau kau telanjang saja. Aku sudah tidak tahan." Tawanya kian kencang.
 
"Aku mau kau yang membukanya," balasku malu-malu.
 
"Wah ... wah ... memang gadis nakal. Baiklah!"
 
"Alex ...!" pekikku ketika tanpa aba-aba ia menggendongku ala bridal syle.
 
Pria itu membawaku ke dalam kamarnya. Kamar dengan nuansa putih. Benar-benar serba putih. Kami memang punya selera warna yang sama.
 
Lalu dengan perlahan ia meletakkan tubuhku di atas ranjang king size-nya. Ia menatapku lembut sebentar sebelum seringainya terbit.
 
"Karena sudah ditahap ini, kau tidak diperbolehkan untuk mundur, Sweety. Tidak akan ada celah untukmu kabur sampai kita sama-sama menuju puncak."
 
Mendengar hal itu, aku kesusahan menelan saliva. Kini degup jantungku sudah tal bersturan.
 
"Sepertinya obat perangsang di tubuhmu masih beraksi. Itu berarti kau masih dalam kondisi 'on'."
 
"A-apa?! O-obat perangsang??"
 
"Kau ini menggemaskan sekali. Begitu saja tidak tau, kalau tubumu bergairah karena susu yang baru saja kau minum," kekehnya gemas.
 
"Kau tega sekali padaku!" rajukku.
 
"Apa kau masih bisa marah jika kulakukan ini?"
 
Alex mencum bibirku dengan tergesa-tergesa. Mengulumnya sedikit kasar hingga akhirnya mulutku terbuka. Lantas lidahnya menerjang dan menyusuri seluruh rongga mulutku.
 
Napasku mulai menipis. Kupukul kuat bahunya hingga ia beranjak mundur sedikit.
 
"Haha!" Pria itu malah tertawa melihatku kehabisan oksigen.
 
"Kau ini!" gerutuku kesal.
 
Tak lama Alex memajukan kembali tubuhnya. Ia mengecup sensual leherku. Ia tidak berusaha membuat tanda kemerahan di sana. Yang kurasakan ia hanya terus mengecup, menjilat, dan sesekali menggeram pada cekungan leherku.
 
"Aaah! Emmhh ...."
 
Tanganya malah menarik paksa sisa-sia kancing kemjaku. Malah bisa kurasakan bahwa baju milim Alex ini seperti robek. Aku ingi  memastikanya tapi tak bisa. Aku tak kuasa setelah braku juga dilepas kasar.
 
"Ssshh ... Alexhh," desisku.
 
"Euumm ...," gumamnya setelah kecupannya mulai turun sampai di dada.
 
Karena tak kuasa jemariku meremas seprei. Menggigit bibir, dan membusunglan dadaku ke depan. Supaya Alex kian dalam terbenam dibelahan dadaku yang sintal dan kenyal.
 
"Aw! Aaah!"
 
Aku terkejut ketika tiba-tiba perasaan ngilu dan geli sekaligus pada putingku. Mataku melirk ke bawah. Alex seperti bayi yang kehausan. Bahkan pipinya tampak cekung ke dalam. Ia terlalu menghisap kuat.
 
"Sshh ... aaah Alex!" racauku menggila tak kala sebelah bukitku digoda dengan jepitan gemas dari ibu jari dan telunjuknya.
 
Sebelah tangannya mengelus punggungku dengan teratur. Menciptakan kehangatan yang menyamankan. Ini sungguh merusak nalarku. Tiada yang lain selain meinta terus dan terus. Rasanya aku tidak ingin Alex berhenti. Aku ingin ia menyentuhku semakin dalam dan dalam lagi.
 
Mataku yang terpejam menikmati kelihaiannya pun terbuka. Ketika kurasakan elusan lembut diarea keramatku.
 
"Enghhh ... Alexhh.
 
Tanpa meminta persetujuan ia melepasan kain terkahir di bawah sana. Lalu pria itu membimbing ke dua kakiku mengangkang. Alex menatapku dengan tatapan penuh nafsu. Hal itu semakin membuatku melayang jauh tak tergapai.
 
"Hana, lihat aku," panggilnya serak. Aku membalas tatapannya.
 
"Dengar ini, aku ingin kau menatap mataku. Kau tidak boleh memejamkan mata. Mendesahlah dengan menatapku. Lihat wajahku. Kau dengar?" ujarnya tegas.
 
Karena nalarku sudah buntu, aku hanya mengangguk saja tanpa mengerti apa yang baru saja ia ucapkan. Lalu aku tersentak kuat ketika sesuatu berada diantara lubang dan klistorisku.
 
"Aaah!" Rasanya lebih gila dari area sensitifku yang lain.
 
"Engghh ... Alexhh," rengekku manja. Ia menggesek terlalu cepat.
 
"Hana, kau tidak dengar apa yang kukatan barusan?"
 
"Aah ... a-apa?" tanyaku mencoba mengambil alih kewarasanku sebelum benar-benar tenggelam
 
"Tatap aku!" serunya.
 
Aku mencoba menatapnya. Ia sedang menghujamku dengan mata tajamnya. Tetapi semua tangannya sedang sibuk melemahkanku. Yang satu memilin puting secara bergantian, sedangkan satunya menggosok daging kecil di bawah sana dengan ritme berantakan. Kadang pelan bahkan nyaris lembut, kadang brutal sampai terasa perih.
 
"Alexhh! Tolooong!" pekikku tak tahan.
 
"Mendesahlah, tapi lihat aku. Hana, kau dengar?!" Suara baritonnya benar-benar tak ingin dibantah.
 
"Iya, Sayang. Aku melihatmu ... aaahh!" Aku membelai pipinya. Lalu terpampanglah senyum lebar menawannya yang sejak tadi kutunggu.
 
"Bagus. Kuberikan apa yang kau mau."
 
Ia mengecup bibirku sekilas, lalu melahap rakus kembali putingku dengan kuat. Sebelah tangannya meremas dan menjepit kembaran bukitku.
 
Tidak hanya itu, tangan yang sejak tadi sibuk bermain di daerah luar lembah keramatku, kini telah menerobos masuk. Jari tengahnya mengocok dengan rotme teratur. Sedang telunjuknya asyik menekan klistorisku.
 
Aku benar-benar dibuat gila. Sensasi ini membuatku tidak lagi memijak bumi. Aku sudab terbang jauh tinggi. Bukit kembar dan lembar keramatku sudah basah tak karuan lagi.
 
"Aahh ... ah ... yaahh.
 
"Alex ... jangan berhentiihh. Tidakhh ... tidak! Yashh aah!"
 
"Terus ... terushh. Enghh iya, di situ. Aaah!"
 
___________________
 
TBC

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang