6. Best Friend (2)

50.7K 505 1
                                    

Aku membantunya melepaskan seluruh pakaian tanpa tersisa. Sedikit menahan napas lantaran tubuh yang selalu mampu membuatku tersihir kini begitu dekat.
 
Dada kenyal serta puting merah mudanya. Perut rata yang sejak dulu kubayangkan menjadi tempat benihku tumbuh. Apalagi, bagian ranum di bawah perut. Tanpa bulu sedikitpun. Shela sangat memperhatikan keindahan tubuhnya dengan baik.
 
Mata bulat lentiknya kini menatapku sayu. Dengan sebelah tangan meremas buah dadanya, sedang satunya lagi sibuk menggesek klistoris merah mudanya.
 
Pemandangan gila. Terlebih sensasi angin sepoi dan alam terbuka seperti ini, memacu gairahku hingga rasanya sudah di ubun-ubun. Aku yakin, Shela merasakan hal yang sama. Karena ini pertama kalinya kami bercinta di tempat terbuka.
 
"Uuuh ... tidak tahan. Fuck!" Kepalanya mendongak. Kaki jenjangnya semakin mengangkang.
 
"Aaah! Touch me please ...," rengeknya.
 
"Orion ... enghh ah!" Kali ini jari tengahnya sedang keluar-masuk.
 
Aku senang ketika ia selalu mendesahkan namaku. Terselip rasa bangga jika gadis ini memohon seperti itu. Meski di hatinya ada Wiliam, tapi akulah yang selalu bisa membuatnya puas.
 
"Uuuh ... Orion! Please ... aku tidak kuat."
 
Kudekati dirinya yang terlentang di atas rerumputan. Mengusap perut ratanya supaya ia merasa lebih nyaman.
 
"Aku di sini," kataku menenangkan.
 
Lalu tangannya menarik tanganku menuju tempat kocokan jarinya yang kian cepat. Kutatap lekat pemandangan itu.
 
"A-aku ingin jarimu, Orion."
 
Tentu saja, tangan penuh otot dan jari-jariku yang panjang, pasti selalu ia dambakan. Aku tersenyum miring.
 
Tanpa banyak alasan, kupandu agar jemari indahnya segera menyingkir. Kini telunjukku sedang bermain-main. Menyentuh bibir vaginanya dengan gerakan memutar.
 
"Enghh ... Orion ... aku tidak tahannh. Sshh." Matanya terpejam.
 
Tanpa mengindahkan permintaannya, kukecup mesra bibir yang tampak lebih merah karena tak henti ia gigit. Lumatan nafsu hingga lidah kami saling bergelut.
 
"Emmhh ...." desahannya tertahan dalam pangutan memabukkan.
 
Lalu aku melepaskan ciuman itu. Kukecup mesra keningnya. Ia menatapku pasrah. Aku hanya ingin menyalurkan perasaan menggebu ini. Bahwa aku begitu memuja dirinya. Dan betapa besar rasa cinta yang kupunya.
 
Setelah itu wajahku turun mengendus bekas cupang yang masih memar. Kucumbu lagi titik-titik itu sampai basah. Aku hanya ingin memarnya mereda. Lalu bibirku turun kebelahan dadanya.
 
"Ooh!" desahnya terkejut.
 
Kuhisap kuat putingnya. Seperti akan ada air yang keluar dari sana. Tangan sebelahku tetap menggoda bukit kembarnya. Meremas, memilin, mencubit, dan menjepit. Dan Shela mulai gelisah karena ulahku. Ia membusungkan dada. Menahan kepalaku untuk tidak berhenti.
 
"Ngilu. Ssshh aaahh ...," gumamnya.
 
Aku menyudahi acara susu-menyusu itu. Kutatap tajam rautnya yang sudah berkabut gairah. Jariku di bawah sana sedang menggoda klistorisnya. Ia menggigit bibir bawahnya lagi. Sungguh pemandangan yang sangat gila.
 
"Orion ... please," rengeknya manja.
 
Tangannya menuntun jari tengahku yang sedang menggoda vaginanya, untuk segera menerobos lubang kenikmatan itu.
 
"Masukkan, aku mohon ... aaahh."
 
"Tatap aku dulu," perintahku. Ia menurutinya dengan baik. Aku tersenyum senang.
 
Akhirnya dua jariku maju-mundur. Kumasukkan hingga jariku tenggelam sempurna. Kulirik Shela tengah terpejam dengan mulut terbuka.
 
"Uuuh ... yaashh!" pinggulnya ikut bergoyang seirama kocokanku yang kian brutal.
 
"Yaaashh, yaashh, yashhh! Fuck!" pekiknya kencang. Aku tersenyum penuh kemenangan.
 
"Oh yeahh! Faster, Babe! Please ... make me cum!" racaunya lagi
 
Kemudian kuhisap kuat lagi putingnya. Kali ini benar-benar kuat. Sesekali memberikan gigitan gemas. Dan sebelah dadanya tidak kubiarkan menganggur.
 
Aku tak mengendurkan kecepatan kocokan jariku. Dan aku yakin, Shela tidak mampu membendung gejolak kenikmatan dariku.
 
"Aaah ... i wanna cum! Orion ... please ...," rengeknya seperti ingin menangis.
 
Sampai tiba saatnya. Kurasakan vaginanya berkedut. Bahkan menghisap jari-jariku kuat.
 
"Emmhh," gumamku.
 
Dan akhirnya ....
 
"Aaahkk ...!" Ia melenguh panjang. Pinggulnya bergetar menyambut klimaks pertamanya. Aku mengulum senyum.
 
"Huuuh ... haaahh." Ia menarik napas dalam-dalam. Kukecup lehernya. Lalu kudekap erat.
 
"Haahh. Giliranmu, Orion," ucapnya tersengal-sengal.
 
"Nanti saja. Kau bisa istirahat dulu." Mengelus punggung telanjangnya dengan teratur.
 
"Tidak!" Ia mendorong hingga dekapan kami terlepas.
 
"Shela?" gumamku terkejut tak kala ia berhasil membuatku terlentang, dan kini gadis nakal itu bersimpuh tepat di depan pusaka tergagahku.
 
"Orion, aku mengenalmu dengan sangat baik. Aku tau kau suka dengan gaya bercinta yang kasar. Berapa kali kukatakan untuk jangan menahannya!"
 
Kududukkan diriku lalu menangkup pipinya. Menatap penuh cinta bola mata indah itu.
 
"Kau adalah duniaku, Shela. Aku mencintaimu," kataku frustasi.
 
"Aku tau itu." Ia tersenyum cantik.
 
Sudah pasti tanpa perlu kuucapkan, gadis itu mengetahui isi hatiku selama ini. Aku juga sadar akan perasaan sepihak ini. Tapi aku tak bisa menjahui Shela. Ia adalah segalanya untukku. Senyum dan tawanya adalah yang utama. Maka dari itu, kepuasannya selalu kutuntaskan. Aku siap-siap saja jika harus bermain solo pada akhirnya. Tidak masalah.
 
Ia mencoba membuka celana pendekku. Aku tak kuasa menolaknya. Dengan usilnya ia meremas gundukan yang masih terbalut celana dalam.
 
"Hmmhh," geramku. Dan akhirnya aku pun juga telanjang bulat.
 
"Penis kesukaanku!" serunya antusias dan langsung menggenggam erat.
 
"Shela ... sshh," desisku tak tahan.
 
"Besar, panjang, dan berurat. Menggemaskan sekali," kekehnya. Lalu mencium gemas. Sesekali dijilatnya. Aku kembali mendesis.
 
"Sshh ... kau nakal sekali, Shela."
 
Tanpa menggubris, tangannya mengocok dengan ritme sedang. Mataku terpejam dan kepalaku terdongak ke atas. Ke dua tanganku terkepal kuat. Rasanya aku ingin menjambak rambutnya.
 
"Shh, aaahh ...."
 
"Desahanmu benar-benar candu, Orion. Rasanya aku ingin mendengarnya setiap hari."
 
"Menikahlah denganku, maka setiap waktu kau akan basah dan berlendir." Kucolek lubang vaginanya.
 
"Aw! Ssshh ... aku suka jika kau berbicara vulgar."
 
"Kau keberatan jika aku memintamu memanjakan juniorku ini?"
 
"Dengan senang hati."
 
Lidahnya terjulur menjilat kepala penisku. Ia menggerakkan lidahnya ke kanan dan kiri.
 
"Huuuhh, Shela ...." Kubelai rambut panjangnya.
 
Gadis itu tersenyum nakal. Lalu mengulum. Awalnya memang tidak muat, tapi karena tak tahan kusodok dengan kuat. Ia menjerit tertahan. Dan hal itu membuatku terbang tinggi.
 
Shela memang gadis nakal. Buktinya ia tetap bisa menghindarkan giginya agar tak melukai batang penisku yang nyaris setengah tenggelam dalam rongga mulutnya. Sampai kupikir bibirnya akan robek.
 
Aku bisa merasakan lidahnya membelai penisku dengan nikmat. Tapi aku melihat wajah tersiksanya. Dan jujur saja, itu membuatku semakin ingin menusukinya dalam. Kalau perlu sampai ia tersedak.
 
"Bergeraklah, Shela. Buat aku puas," geramku berusaha tetap sabar. Logikaku masih berjalan untuk tidak melukainya.
 
Kepalanya naik-turun. Tetapi terlalu lambat. Aku jadi gemas sendiri. Kupegang kepalanya erat, lalu menuntunnya supaya bergerak lebih cepat. Bahkan pinggulku ikut bergoyang menyambut kulumannya.
 
"Ooohh ... yeahh! Aaahh ...." Akhirnya aku mendesah kuat. Aku sudah menahannya sejak tadi.
 
Tangannya menepuk pahaku, tapi sengaja tak kugubris. Bahkan kukunya menancap. Karena ini salahnya yang sudah menawarkan diri. Maka terlambat untuk bisa menghentikannya. Semakin tersiksa, semakin puas hasratku melihatnya.
 
"Uuuh ... yaashh! I will choke you, Shela. Aaah ... rasanya ingin kupatahkan leher jenjangmu ini."
 
Shela menangis tanpa suara. Wajahnya memerah lantaran kesusahan bernapas. Tapi aku tidak bisa berhenti. Hentakanku makin liar dan dalam. Rasanya penis ini terus menabrak tenggorokannya.
 
"Aaarghh shit! Aku ingin keluar."
 
Karena tak ingin menyemburkannya di dalam mulut. Kulepaskan juniorku. Ia langsung terbatuk-batuk sambil menangis sesenggukan.
 
Ini belum tuntas. Tanpa membiarkannya mengambil napas, kudorong tubuhnya hingga kembali terlentang. Kuangkat ke dua kakinya mengangkang.
 
"Orion ...," lirihnya masih sesenggukan.
 
"Bitch!" seruku tanpa sadar. Lalu langsung mencoblos lubang yang tetap sempit meski sering kugagahi.
 
"Aaaahkk!!!" jeritnya.
 
________________
 
TBC

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang