14. Sweet Pea

30.4K 338 0
                                    

Aku membenarkan kacamata dibatang hidung, ketika melihat seorang gadis belia sedang berjalan riang sembari bersenandung lirih. Senyum cantiknya merekah lebar. Rona pipi dan mata bulatnya mengisyaratkan betapa gembira hatinya.
 
Tanganku masuk ke dalam saku jas putih milikku. Aku tak bisa menghindari bibir ini melengkung keatas. Baru saja ingin menghampiri langkah kecilnya, tiba-tiba seseorang menahanku.
 
"Daniel?" panggil suara merdu itu.
 
"Oh, hai Clara. Kau belum pergi makan siang? Kelihatannya teman-temanmu sudah duluan," balasku ramah.
 
"Kau benar, aku belum sempat pergi. Pekerjaanku padat sekali. Hari ini ada empat operasi yang harus kulakukan. Huuh! Melelahkan sekali," adunya.
 
"Dokter hebat sepertimu memang luar biasa. Sudahlah cantik, muda, dan tentu saja berbakat." Aku memuji karena benar adanya.
 
"Kau ini!" serunya memukul lenganku pelan. Pipinya kentara merona.
 
Aku hanya tersenyum simpul menanggapi reaksi Clara. Wanita cantik teman seangkatanku di akademi. Kami tidak terlalu dekat, tapi akhir-akhir ini cukup banyak kesempatan untuk sekadar berbincang bersama.
 
Aku bukan bermaksud terlalu lancang untuk percaya diri, bahwa mungkin saja Clara ingin mengajak makan siang bersama. Tapi sebagai pria dewasa, aku paham gelagat seseorang yang sedang tertarik. Well, aku harus terus terang bahwa aku tidak berminat bermain-main dengannya. Justru saat ini, pikiranku sedang dipenuhi oleh gadis cantik nan anggung tadi.
 
Aku pun dengan sopan undur diri. Meski ada raut kecewa di sana, tetap langkahku pasti mengikuti jejak gadis itu. Dan aku pun tahu kemanakah ia pergi.
 
Langkahku terhenti ketika melihat punggung mungil sedang berjalan mengendap menuju ruanganku. Seringaiku kian lebar. Dari belakang aku mengikuti gerakannya.
 
"Are you looking for me, Jasmine?" bisikku tepat di telinganya.
 
Tubuhnya menegang seketika. Dengan perlahan memutar tubuh, dan menutup mulutnya lantaran terkejut.
 
"Miss me?" lanjutku sensual.
 
"Do-Dokter Daniel," gumamnya.
 
"Yes, i am." Wajahku maju mendekat.
 
Raut polos, takut, terkejut, tetapi bahagia, tergambar jelas saat ini. Begitulah yang kubaca. Aku menatap tubuhnya dari ujung kaki sampai rambut. Tampaknya Jasmine sudah benar-enar sehat kali ini. Wajahnya tidak pucat lagi. Justru kemerahan seperti udang rebus.
 
"Sebelum ada yang melihat kita, ayo masuk." Kurangkul pundaknya untuk segera masuk. Meski tubuhnya kembali tersentak kaget, tetapi ia tak menolak sama sekali.
 
Kubuat tubuhnya duduk di sofa. Aku menghampiri meja kerja sebentar, untuk memastikan tidak ada jadwal operasi lagi nanti.
 
"Bagaimana keadaanmu, Jasmine? Sudah merasa lebih baik?" tanyaku tanpa menoleh.
 
"Su-sudah membaik, Dokter."
 
"Tentu saja. Operasinya berjalan lancar, jantungnya juga cocok denganmu." Kulirik ia yang sedang menatapku malu-malu.
 
Jasmine sudah dari kecil memiliki kelainan jantung. Dan sial sekali, gadis polos ini malah mendapatkan aku sebagai dokter pribadi keluarganya.
 
Setelah mendiang guruku wafat, sebagai anak didiknya yang selalu mengikuti jejak suksesnya, aku ditunjuk menggantikan posisi dokter spesialis jantung dikeluarga Mr. Clark. Khususnya bagi Jasmine Clark.
 
Sudah hampir menginjak dua tahun lamanya diriku mengurusi Jasmine dan keluarganya. Mengabdikan diri demi keberlangsungan hidup keluarga Mr. Clark, yang secara turun-temurun memiliki riwayat penyakit jantung.
 
"Lalu apa itu?" tunjukku pada sesuatu yang ia bawa. Jasmine mengeluarkan isinya. Ternyata itu sebuah kue ulang tahun.
 
"Aku sudah izin untuk merayakan hari lahirku juga bersama Dokter Daniel." Semburat merah kembali merekah di pipi putihnya.
 
"Wah ... kau sudah makin dewasa berarti. Ini ulang tahunmu yang keberapa?" Aku duduk di sampingnya.
 
"Sembilan belas tahun." Ia mengulum bibir ke dalam menahan senyum.
 
"Baiklah, ayo hidupkan lilinnya!" seruku antusias.
 
Jasmine menuruti perintahku. Gadis itu begitu senang ketika tahu betapa antusiasnya diriku menyambut ulang tahunnya.
 
"Selamat ulang tahun, Jasmine. Semoga tahun depan, ada kesempatan bagiku merayakan kembali ulang tahunmu. Seperti saat ini." Kuusap puncak kepalanya dengan kasih sayang.
 
Tanpa diduga satu kecupan di pipiku lolos begitu saja. Aku terpaku sejenak, setelah menyadari ulah Jasmine. Dan gadis itu malah semakin malu-malu.
 
"Sudah berani memulai, ya?" godaku.
 
"A-aku merindukanmu, Dokter Daniel," lirihnya menunduk.
 
"Benarkah? Lalu mengapa dua hari ini tak ada video lagi darimu? Aku menunggu asal kau tau."
 
Video yang kumaksud tentu saja tentang rekaman masturbasinya. Seperti yang telah kusebutkan, bahwa begitu sial nasibnya bertemu denganku. Karena aku begitu tertarik padanya. Dan berakhirlah jiwa iblisku menuntun gadis polos ini untuk masuk kejurang bersama.
 
Selama aku menjadi dokter pribadinya, selama itu pula kami berhubungan intim. Memadu kasih. Menuju puncak kenikmatan yang sebenarnya.
 
Saling menjamah, melumat, bergulat, bertukar kenikmatan tiada tara. Bahkan yang paling kutunggu adalah bagian tubuh mungilnya yang dipenuhi keringat sedang menggeliat meminta ampunan.
 
Hanya saja, ketika tak ada kesempatan bersama, maka aku hanya bisa melihat aksi erotisnya dari sebua rekaman. Kami sama-sama saling merindukan. Saling menginginkan hujaman-hujaman serta jepitan menggairahkan. Dan saat inilah rindu itu terobati.
 
"Kenapa kau diam saja? Tidak mau menjawab, hmm?" Tubuh kami mulai saling menempel.
 
"I-ibu mulai curiga. Aku jadi tidak berani melakukannya." Ia kembali menunduk.
 
"Alasan. Kau hanya beralasan, bukan? Kau memang tidak mau melakukannya untukku." Kuangkat dagunya. Tatapan kami bertemu.
 
"Tidak! Bukan begitu, Dokter. A-aku berkata jujur padamu. Percahalah padaku ... aku mohon."
 
"Kenapa aku harus mempercayaimu?" ujarku menantang.
 
"Ka-karena aku menyukaimu, Dokter," lirihnya kembali menunduk.
 
"Kau merasa bersalah? Kenapa terus menunduk?" Alisku naik sebelah.
 
"Aku takut Dokter Daniel tidak menyukaiku lagi."
 
"Kau mau aku tetap menyukaimu, Jasmine?" Membelai bibir bawahnya lembut. Tubuhnya seketika menegang. Ia pun menjawab dengan anggukan kaku.
 
"Kita bermain lagi seperti waktu itu, ya?" lanjutku dengan suara rendah. Dan lagi, Jasmine mengangguk. Tapi anggukan remaja yang sedang malu-malu.
 
Perlahan wajahku kian dekat. Embusan napas hangat menyertai. Bibir ini menempel. Kemudian mulai mengecup seringan bulu. Tipis ... tipis, lalu melumat pelan. Mengajaknya ikut berpartisipasi. Supaya menciptakan suasana "sama-sama ingin".
 
"Emmhh." Jasmine melenguh tak jelas, setelah kuluman itu makin dalam.
 
Menunututnya bermain semakin liar. Menanggalkan kepolosannya. Hingga kembali desis menggairahkan terdengar indah.
 
"Sshh ... Daniel ...," panggilnya setelah pangutan mesra itu terlepas. Lihatlah, betapa tatapan memohon itu membuatku menahan diri.
 
"Aku suka ketika kau memanggil namaku dengan benar. Kau jadi lebih dewasa menurutku." Kukecup lagi bibir bengkaknya sekilas. Ia tersenyum.
 
"Apa boleh kupanggil Daniel saja, bahkan di rumah sakit sakalipun?"
 
"Panggil aku dokter jika aku sedang bekerja sebagai doktermu. Selebihnya tidah perlu."
 
"Kalau begitu ... Daniel, aku mau lagi," imbuhnya sambil menahan senyum.
 
"Lagi?" ulangku pura-pura bingung.
 
"Emm ... iya, lagi. Kita lakukan la-lagi." Jasmine menyembunyikan wajahnya di dadaku.
 
"Seperti apa, seperti ini?"
 
"Enghhh!"
 
"Atau ini?"
 
"Ahh! Ja-jangan itu ...."
 
"Yang ini saja, ya?"
 
"Daniel ... ahh stop!"
 
_______________
 
TBC

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang