9. First Night (2)

41.3K 469 2
                                    

Ciuman Edward turun ke leher. Refleks kepalaku mengadah keatas. Suhu tubuhku meningkat. Merasakan bibirnya mencium serta bernapas di sana. Tubuhku bergidik ngeri. Merinding.
 
"Ssshh ... jangan tinggalkan kiss mark, Edward," pintaku memohon.
 
Edward terhenti sejenak. Lalu kurasakan ia mencium kembali seringan bulu pada ceruk leherku. Tanganku meremas tengkuknya, lantaran gejolak yang ia berikan.
 
"Aaahhk!" jeritku tertahan ketika kini bibirnya mencumbu payudara. Geli tapi ngilu.
 
Tiba-tiba mataku menoleh pada kaca jendela. Pemandangan di balkon yang cukup indah. Apalagi suasana dini hari yang menyejukkan.
 
"Edward, bisakah kita bercinta di sana?"
 
Edward menghentikan aksinya, lalu ia melihat kemana arah mataku. Lagi-lagi ia hanya diam tak menjawab, tetapi dengan sigap menggendongku menuju balkon.
 
"Kau penurut sekali, Edward. Aku menyukaimu," pujiku lalu memeluk lehernya. Mencumbu kembali bibir itu.
 
"Aww!" Aku terkejut ketika ia membalikkan tubuhku menjadi membelakanginya. Kemudian ia menyingkirkan rambutku lalu menjilat leher dari belakang.
 
Dalam keadaan tubuhku yang naked ini, seolah Edward sengaja memperlihatkan bagian tubuh depanku ke jalanan. Karena balkon kamarku mengarah tepat ke jalanan komplek. Meski suasana telah gelap, bila ada orang yang melihat itu cukup membuatku waswas.
 
Tapi sensasi ketakutan itu malah membuat birahiku meninggi. Perasaan tubuh yang akan dilihat banyak orang, malah menjadi sesuatu yang mendebarkan. Aku tak pernah merasakan ini.
 
Lalu tangannya mengangkat satu kakiku, lalu disandarkan di depan pembatas kaca ini. Ini benar-benar gila! Jika benar ada orang yang akan melihatku begini, pasti ia berhasil melihat dari ujung kaki sampai rambut tanpa sehelai benangpun.
 
"Edward ...," lirihku menatap jalanan.
 
"Ooh!" desahku terkejut ketika tangannya mengocok vaginakau dari belakang. Sedangkan tangan satunya masih menahan kakiku mengangkang sebelah.
 
"Aaahh ... Edward! Ini gila," rengekku.
 
Edward masih diam tak bersuara. Tapi aku bisa merasakan tubuhnya ikut tegang.
 
Ke dua tanganku memilin puting, dan tubuhku seketika tersengat listrik gairah yang membawaku terbang sampai ke angkasa.
 
"Oohh yaaahh!" pekikku kencang. Aku tidak perduli lagi jika ada yang memergoki kami.
 
"Edward ... ssshh, kita pasutri baru yang nakal," kekehku lalu kembali mendesis.
 
Ia mejilat kupingku sensual. Lihatlah pria kampung ini, benar-benar bisa menyerang daerah sesnsitifku secara bersamaan.
 
"Uuuhh ... k-kau yakin masih perjaka, Edward? Haaahh!! Emmhh ... kau se-seperti sudah handal melakukannya." Kepalaku mendongak ketika kocokan jarinya kian cepat.
 
"Hmm," dehamnya. Baru berdeham saja sudah membuat lembah keramatku berkedut.
 
Tanganku berjalan ke selangkangannya. Meraba gundukan yang sudah tegang itu dengan sensual."
 
"Emmhh," geramnya tertahan lalu menggigit bahuku.
 
"Sshh, aww!" aduku meringis.
 
Kekita rasa nikmat itu terus menyerangku, hingga rasanya hampir keluar, terdengarlah bunyi dentingan besi yang mencuri perhatianku. Bunyinya seperti gasper yang dibuka. Senyum puasku pun terbit, ketika menyadari Edward mulai membuka celananya.
 
Lalu di saat hampir klimaks tiba, jarinya berhenti. Aku mengerang kecewa. Namun, tak lama kemudian sesuatu yang keras dan panjang mencoba menerobos vaginaku.
 
"K-kau ... tidak mau kuoral penismu terlebih dahulu?" Ia hanya menggeleng,  lalu kembali mengecup bahuku.
 
"Aaahkk!" jeritku tertahan setelah benda perkasa itu berhasil masuk.
 
"Ssshh ... sesak," racauku. Dan Edward menuruh kakiku bertumpu kembali pada pembatas ini. Sehingga ke dua telapak tangannya menangkup payudaraku.
 
"Aaahh ... yeahh!! Yeah, yeahh, sshhh fuck."
 
"Ssshh ... aaahh," desah Edward pelan. Suara beratnya membuatku tidak tahan.
 
"Edward ... emmhh sshhh," rengekku setelah kini jarinya pindah menggoda klistorisku.
 
Hentakannya makin liar, dan aku tak sanggup lagi membendung orgasme yang akan datang. Dadaku terpantul-pantul seperti bola basket sekarang.
 
"Bella!" tekannya dengan menggertak gigi. Setelah pelepasanku tiba. Dan vaginaku pasti meremat batang penisnya dengan kuat di dalam sana.
 
Aku tak kuasa menahan bobotku untuk terus berdiri. Dan Edward menyadari itu. Ia menuntunku berbaring miring di lantai, lalu ia kembali memasukiku dari belakang. Tangannya kembali mengangkat sebelah kakiku.
 
"Aaahh, Edward!" rajukku karena belum selesai menikmati klimaks pertama, dan kini ia kembali menghujam diriku dengan brutal.
 
"Ooh ... sshhh," desisnya sembari menggigit bahuku lagi.
 
"Seperinya kau suka ... ga-gaya bercinta seperti ini."
 
"Aku menyukaimu, Bella," bisiknya lalu menjilat telingaku.
 
"Uuh, aahh, sshh ... fuck!" Aku dibuat gila oleh goyangan Edward yang stabil. Sejak tadi hentakan brutalnya belum kendur.
 
"Bella ...," panggilnya serak. Ia memainkan putingku. Aku menoleh padanya dan meminta untuk dicium.
 
"Emmhh."
 
Decapan yang terus terlepas, lantaran Edward menghujamku dengan kencang. Aku tersenyum melihat raut penuh birahi itu. Edward memjamkan matanya, ia sedang mencari kepuasannya. Sedangkan kakiku mulai terasa kebas karena mengangkang  sebelah.
 
"Biarkan aku di atas sebentar," pintaku. Edward tak menjawab. Malah tubuhku terguncang hebat. Tak ada kesempatan untuk membuatnya bersuara. Karena detik itu juga pelepasan ke duaku tiba.
 
"Oohhkk ... aaahh yasshh! Edward ...," pekikku.
 
Kupikir ia akan berhenti, ternyata ia bangkit. Edward membuatku tidur telentang, lalu ia menjulang di depanku. Tanpa banyak bicara, penisnya kembali mencoblos diriku.
 
"Aww!" Tingkahnya membuatku terkejut.
 
"Bella!!" Kepalan tinjunya menghantam lantai tepat di samping kepalaku. Aku tersentak kaget.
 
Namun, yang kulihat Edward sedang dalam tegangan tinggi. Hujamannya terus cepat, dan wajahnya mendongak sembari geraman tertahan dapat kudengar jelas.
 
Aku berusaha bangkit, untuk menggapai wajahnya. Lantaran tak sampai, kukecup dada bidang yang dipenuhi bulu tebal. Ternyata aku baru sadar tentang hal ini.
 
"Enghhh!" Ia mengerang frustasi. Aku mencoba menyambut goyangannya agar ia cepat keluar.
 
"Huuuh, hahh ...." Tubuhku terasa remuk sekarang. Aku juga sudah mulai lemas. Tapi tidak dengan Edward. Hal itu membuatku bahagia. Ia adalah laki-laki perkasa.
 
Bibirnya menerkam bibirku dengan ganas. Desahan kami tertahan. Tangannya kini kembali meremas payudara.
 
Sepertinya sebentar lagi Edward akan sampai. Begitu pula vaginaku yang berkedut kembali.
 
"Aahhkk!! Aku ma-mau keluar, Edward."
 
"Bella ... aahh, sshh," racaunya.
 
Lalu hentakan liarnya memelan setelah tembakan beberapa kali telah mengeluarkan laharnya. Begitupula dengan diriku. Kami terkapar lemas saling memeluk.
 
"Hahh, huuh." Napasku menipis. Edward mengecup ringan bibirku. "Eemmh."
 
"Aku ingin mandi," katanya dengan suara serak.
 
"Lebih baik kita istirahat dulu. Haaah ... lemas sekali rasanya."
 
"Aku masih kuat." Lalu ia bangkit menggendongku menuju kamar mandi.
 
"Kau perkasa sekali," pujiku lalu mengecup rahangnya.
 
Shower menyala. Membasahi tubuh lengket kami berdua. Sebenarnya aku terlalu lelah untuk berdiri. Dengan tiga kali orgasme, sedangkan ia hanya sekali.
 
Tiba-tiba Edward menyadarkanku dari lamunan. Ia mengusap wajah dan leherku. Tapi kemudian, pria itu kembali mencumbu. Aku terkejut.
 
"Edward?" panggilku. Ia tak mengindahkan sama sekali.
 
Tanganya mulai meremas kuat buah dadaku, satunya lagi menggesek cepat klistorisku.
 
"Aww! Aaahh, ah!"
 
_____________
 
TBC

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang