10. First Night (End)

40.9K 413 23
                                        

Edward mengangkat sebelah kakiku lagi, tapi kini kami saling berhadapan. Tanpa aba-aba kejantanannya menerobos masuk kembali. Tubuhku tersentak kuat.
 
"Oooh ... Edward!"
 
Dalam guyuran air, pompaannya kian cepat. Napas kami tak beraturan. Bahkan sejak hujaman pertama, suaraku tak henti menjerit. Rasa nikmat yang ia berikan sungguh luar biasa.
 
Biasanya teman kencanku hanya mampu satu ronde. Edward terlihat lelah, tetapi tampaknya ia tak mampu membendung libidonya sendiri.
 
"Bella, ka-kau menghisapnya. Ssshhh uuhh," racaunya.
 
"Yeaahh, yeahh, ah! Fuck!" pekikku.
 
Kemudian Edward menggendongku. Mungkin ia menyadari tubuhku mulai lemah lantaran bercinta dengan posisi berdiri seperti ini. Dan hal itu tambah membuatku tak kuasa membendung kenikmatan ini.
 
Justru gaya seperti ini membuat penisnya masuk semakin dalam. Rasanya benar-benar penuh. Kejantanan Edward memang besar. Ia gagah dan perkasa.
 
"Ah, ah, yeahh, sshhh ... please," pintaku memohon. Detik itu juga hujamannya makin cepat.
 
"Aahh ... Bella," desahnya panjang.
 
Meski ada perasaan takut terjatuh, ketika merasakan kekuatan Edward aku jadi urung meragukannya. Sensasi basah dari pancuran air ini menambah gelora yang menggebu diantara kami.
 
"Aku mau keluar ...," lirihku.
 
"Uuhh ah!" Menggigit bahuku. Mungkin nanti akan terlihat banyak bekas gigitan dan kemerahan.
 
Tak lama aku menjerit kencang lantaran orgasme kembari menyerang.
 
"Arghh ... yaashh!"
 
Tubuhku benar-benar lemas. Aku juga mulai merasa kedinginan. Lalu entah mengapa Edward menghentikan aktivitasnya, padahal ia belum pelepasan.
 
"Edward?" panggilku lirih.
 
"Kita mandi dulu. Kau kedinginan," jawabnya dengan wajah kentara menahan diri.
 
Ia membantuku membersihkan diri, begitupula dengannya. Ketika tangan kasarnya membelai tubuhku dengan sabun, bibirku mengerang nikmat. Bahkan rasanya ia sengaja menggoda payudaraku
 
"Eenghh."
 
Lalu ia menunduk, membawa tangan penuh busa itu kebelahan vagina. Dengan refleks melebarkan kaki, supaya jari-jarinya bisa leluasa.
 
Dan benar saja. Ia menggosok lembut klistoris hingga kelubang dubur.
 
"Sshh ... Edward."
 
Air kembali mengguyuri kami. Edward membawaku dalam dekapan hangatnya. Lalu ia membawaku ke ruangan walk in closet. Tubuhku didudukan di kursi. Ia membawa handuk untuk mengeringkan tubuh kami.
 
"Sshh ...." Aku mendesis lantaran ia mengelap dadaku, tetapi jemarinya yang lain malah menyentuh bibir vaginaku.
 
"Edward ...," rintihku tak tahan.
 
Lalu ia membawaku ke ranjang kami. Membuatku terlentang dengan menuntun kakiku mengangkang. Matanya menatap lurus pada vaginaku yang sedang merekah. Ditatap secara intens seperti itu, berhasil membuat di bawah sana berkedut dan basah kembali.
 
Entah ini sudah jam berapa, tapi tubuhku kembali memanas. Terlebih Edward belum klimaks. Ia pasti menginginkanku.
 
"Bella, i want to fuck you so bad," lirihnya dengan kabut gairah
 
"I'm yours, Edawrd. I love your touch." Kukecup bibirnya mesra.
 
Edward kembali mengagahiku. Ini benar-benar nikmat sekaligus gila. Aku tak menyangka jika ayahku memilih menantu yang luar biasa. Pria kampung yang sangat perkasa. Tubuhku bertekuk lutut pada kegagahan Edward.
 
"Ohh yaashh!"
 
"Sshh ... Bella ...." Ia menggigit bahuku lagi.
 
Pasti disekujur tubuhku memar-memar, terlebih bagian bahu. Sebenarnya aku tidak suka jika teman ranjangku meninggalkan noda pada tubuhku. Agak mengganggu, tapi sepertinya aku harus maklum. Karena ini pertama kalinya bagi Edward.
 
Edward menghujam diriku seperti sebelumnya. Cepat dan brutal. Pria ini membuat tubuhku seperti terus mendambanya.
 
"Aahh Bella!" bentaknya.
 
"Yaashh, faster, ah ...," racauku.
 
"Edward ... ssshhh aahh," desahku lagi setelah orgasme yang ke tiga tiba.
 
"Astaga, Bella! I-ini nikmat sekali ... uuuhh." Kepalanya mendongak terpejam.
 
Aku berharap Edward segera mencapai klimaksnya. Tubuhku sangat lelah dan remuk. Padahal kami sudah selesai mandi, tapi karena kembali berkeringat, rasanya begitu lengket.
 
"Haaahh ... Edward," rintihku lagi ketika menyambut hentakan punggulnya. Aku ingin cepat isttirahat. Goyangan kami berlawanan arah sehingga saling menabrak. Suara kulit bertemu menjadi melodi yang menggairahkan.
 
"Oohh, Bella. Aahh ... nikmat." Ia mencium bibirku. Sepertinya sebentar lagi Edward akan keluar.
 
"Uuhh ... Edward. Ayo keluar bersama ... ah, yeahh, uuhh."
 
"Bella ... sshh, aahh."
 
"Ayo Edaward ... aku tidak tahan lagi. Huuuhh!"
 
"Aaahhkk!!" Hentakan terakhir menyemburkan sesuatu yang basah di rahimku. Begitu hangat dan banyak.
 
"Aaahhh ...," lirihku menyambut orgasme yang ke empat. Sungguh luar biasa.
 
Napas kami tersengal-sengal. Edward terbaring disampingku. Kami saling berpelukan. Rasa kantuk pun datang. Entah siapa yang lebih dulu terlelap, yang pasti kami sama-sama masuk kealam mimpi.
 
***
 
Guncangan pelan mengusik tidur lelapku. Awalnya kubiarkan saja. Tapi guncangan itu menuntut. Dengan kesal kubuka mata ini perlahan. Mencoba beradaptasi dengan cahaya yang terang. Rupanya sudah siang.
 
Aku terduduk memperhatikan tubuh polosku masih terbalut selimut. Dan ada Edward yang telah rapi dan bersih. Ia tersenyum lebar menyambutku. Jika diperhatikan pria yang baru saja menjadi suamiku ini cukup tampan.
 
"Morning," sapanya.
 
"Morning. Jam berapa sekarang?" tanyaku serak khas bangun tidur.
 
"Jam 10. Maaf membangunkanmu. Tuan menyuruh kita bangun dan sarapan. Tapi kupikir Tuan sudah pergi ke perkebunan lebih dulu, karena kita tidak juga turun ke bawah. Aku akan menyusulnya setelah sarapan bersamamu." Senyumnya manis sekali.
 
"Tuan?" ulangku mencoba mencerna kalimatnya. Kulirik Edward tampak bingung. Aku menghela napas.
 
"Edward, berhenti memanggil ayahku dengan sebutan Tuan. Kau adalah menantunya sekarang."
 
"Ah, maaf. Aku lupa dan belum terbiasa." Menggaruk tengkuknya.
 
Setelah itu aku beranjak. Melepaskan selimut dan memperlihatkan tubuh indahku. Tanpa perduli aku berjalan menuju kamar mandi. Aku tahu Edward terus memperhatikanku tanpa berkedip.
 
Sayangnya aku tidak dalam mood yang baik. Langkahku lenyap masuk ke dalam kamar mandi. Sekitar 20 menit berlalu. Aku keluar dengan handuk kimono serta rambut basah yang segar.
 
"Bella," panggilnya. Ternyata Edward masih di sini.
 
"Ada apa?"
 
"Ponselmu berbunyi sejak tadi." Ia menyerahkan gawaiku.
 
Dahiku berkerut setelah melihat puluhan panggilan tak terjawab dan belasan peasan yang sudah terbaca. Kulirik Edward.
 
"Maaf, aku lancang membuka pesanmu. Aku takut ada pesan penting. Bahkan baru saja ingin kuangkat telepon itu, tapi kau sudah selesai mandi," jelasnya.
 
Melihat rautnya tampak sedih, kutebak ia membaca semua pesan tersebut sampai selesai. Tentu saja, pengirim pesan ini adalah salah satu teman kencanku. Seorang pria yang haus lubang disetiap pagi. Pria ini pasti menginginkanku sekarang. Tak lama gawaiku kembali berdering.
 
"Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi.
 

"Babe ... where are you? I miss you so much," rajuknya.
 

"Aku di rumah."
 

"And ... surprise!! Aku di depan pintu rumahmu sekarang."
 

"What the--" ucapanku terpotong.
 

"Ayahmu pasti sudah pergi. Sepertinya menyenangkan bila bercinta di kamarmu." Terdengar tawa jahilnya.
 

"Tunggu di sana. Aku sebentar lagi ke bawah. Kita pergi," putusku.
 

"Sayang sekali, padahal aku ingin melakukannya di rumahmu."
 

"Atau tidak sama sekali!" kataku mengancam.
 

"Baiklah. Aku menunggumu, Babe."
 

Setelah panggilan terputus, aku segera memakai pakian dengan tergesa. Edward masih setia memperhatikanku dan mengekori kemana langkahku berjalan.
 
"Ada apa Edward?" tanyaku jengah.
 
"Kau tidak sungguh-sungguh akan pergi bersamanya 'kan?"
 
"Memangnya kenapa?" Dahiku menukik bingung.
 
"Kau tau, pria itu mengajakmu tidur bersama. Sebaiknya kau tetap di sini," pintanya memohon. Kini tanganku bertolak pinggang. Menatap kesal kearahnya.
 
"Kau melupakan sesuatu, Edward?" Ia tak menjawab. "Aku sudah jelaskan diawal, jika aku wanita bebas. Aku tidak suka dikekang."
 
"Tapi Bella--"
 
"Apa, sudah menikah maksudmu? Harusnya kau mengingat perkataanku diawal. Aku tidak menetap, Edward. Sekalipun kita sudah menikah. Jadi jangan jadikan pernikahan itu sebagai kunci untuk mengekangku."
 
"Bella--"
 
"Edward, aku tidak akan mempermasalahkan pernikahan ini. Aku juga tidak ada niat bercerai. Tapi tolong, jangan mengurungku. Tapi jika kau tidak terima, silahkan ajukan gugatan cerai," potongku lagi.
 
Meski dapat kulihat ada raut kecewa di sana, tetapi aku tidak bisa. Aku tidak suka dipaksa.
 
"Baiklah. Hati-hati dijalan, Bella," ucapnya lesu.
 
_______________
 
END

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang