"Lepaskan, lepaskan aku!!"
Gadis itu terus berteriak. Aku heran, kenapa dia tak kunjung berhenti meraung seperti itu. Suaranya saja sudah serak sekarang. Dan itu sangat jelek sekali.
"Hey, lepaskan aku keparat!!"
Aku menatap tubuh terikatnya dengan angkuh. Ia meringkuk dalam duduknya yang sejak tadi tidak bisa diam. Beberapa kali ia terjatuh menelungkup hingga kesusahan bernapas.
“Sudahlah. Kau bisa kehabisan tenaga nanti, Yuriko,” kataku lalu tertawa kencang.
“Kau biadab! Lepaskan aku!!” jeritnya serak.
“Kau memang tidak bisa dilembutkan, Yuriko.”
Aku datang mendekat. Dengan tanpa perasaan kutendang perutnya hingga ia terjengkang sembari mengerang kesakitan.
“Sa-sakit ...,” rintihnya.
“Apa susahnya kau diam. Justru jika kau menjadi penurut, akan kuberikan hadiah.” Aku tersenyum miring.
“Kau gila!! Kau sakit jiwa! Lepasakan aku. Aku tidak mengenalmu!”
Tawaku menggelegar. Sungguh ironi. Dia yang memulai, kini malah mencoba bersembunyi tangan. Jelas-jelas Yuriko mengenalku. Kami berada dikawasan komplek yang sama. Dan dia selalu tersenyum padaku.
“Aku Yusuke. Kau tidak mungkin melupakanku. Haha.”
“Aku tidak mengenalimu bajingan! Jadi tolong lepaskan aku. Berhenti menyiksaku!” Ia meludahi sepatuku.
“Kau ...!” Amarahku memuncak.
Kutarik rambut pendeknya, lalu kuhempaskan pada dinding. Terdengar dentuman yang begitu keras. Aku yakin gadis itu pasti pingsan. Karena sesuatu yang basah mengalir di kepalanya. Tapi beruntung sekali matanya masih mengerjap.
“Kau pembangkang, Yuriko. Padahal aku bisa bersikap lembut padamu.”
“Tuhan ... ini sakit sekali,” lirihnya.
Aku terkekeh gemas melihat baju seragamnya basah lantaran keringat, dan mencetak dalamannya.
Setelah beberapa kali Yuriko memberikan senyum manisnya setiap kami berpapasan, aku jadi tidak tahan untuk menanyakan hal ini padanya.
Mengapa ia berani tersenyum padaku? Tapi sialnya ia tak kunjung menjawab. Malah terus berteriak dan mengatakan bahwa kami tidak saling mengenal.
Aku benar-benar tidak menyukai gadis munafik sepertinya. Jelas sekali ia tertarik padaku, dan mencoba menggoda. Tapi malah tidak mau bertanggung jawab.
Alhasil, kubawa ia kesebuah gudang kosong dekat pabrik roti yang sudah terbengkalai. Tak akan ada yang bisa menyelamatkannya dariku. Yuriko harus bertanggung jawab atas kelakuan nakalnya!
“Kau menyukaiku, Yuriko?”
Ia tak menjawab. Terdengar rintihan pilu dan bibir ranum yang telah sobek itu. Ia bersandar pada dinding kotor tempat kepalanya terbebtur barusan. Ada noda merah segar di sana.
Sepertinya Yuriko kian melemas. Tapi aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Yuriko tidak boleh pingsan sebelum kami bercinta.
Haha! Terdengar menyenangkan, bukan? Ini salahnya sendiri karena berani tersenyum padaku. Terlalu lancang untuk seorang gadis cantik sepertinya melakukan hal itu, jika tidak berani bertanggung jawab karena berhasil membuatku susah tidur karena memikirkan dirinya.
“Jawablah, Yuriko. Jangan membuatku mengulang pertanyaan yang sama selalu,” lanjutku lembut.
“A-aku tidak mengenalmu. Tolong jangan lakukan ini padaku,” lirihnya lalu menangis pilu.
“Kau ini menyebalkan sekali! Baiklah, kau harus dihukum.”
Aku tegakkan tubuhnya. Lalu membawa tali gantung yang telah menjutai dari atas, kemudian kuikat di lehernya. Hingga tubuhnya berdiri sempurna dalam keadaan terikat.
“Aku mohon ... jangan bunuh aku,” pintanya memohon. Lalu terbatuk karena sepertinya ikatan di lehernya terlalu kencang.
“Setidaknya aku belum punya pikiran itu sekarang. Tapi hukuman tetap harus berjalan, Yuriko. Karena kau bersalah.”
Kulepaskan kancing bajunya satu per satu. Ia memberontak. Kutampar kuat sebelah payudaranya dan ia pun menjerit kencang.
Setelah itu kulanjutkan hingga tinggal bra mini untuk ukuran dadanya yang cukup besar. Padahal ia adalah seorang siswi. Kami berada di kelas yang sama. Tapi tubuhnya seperti sudah cukup dewasa.
Kupikir inilah kesamaan kami. Tubuhku juga besar dan tinggi. Kejantanan milikku apalagi. Sudah seperti bukan anak sekolahan. Seolah takdir berkata bahwa kami siap untuk menyatu.
Haha! Dan aku sangat menantikan hal itu terjadi. Bayangan tubuhnya terguncang di bawahku. Dengan payudara memantul. Argh! Aku tidak sabar lagi.
“Tolong ... jangan. Aku mohon ...,” ia menangis sesenggukan. Tapi aku tidak perduli. Siapa suruh berani menarik perhatianku.
“Aku mohon ... jangan lakukan ini. Biarkan aku bebas. Apapun yang kau mau akan kuberikan, asal biarkan aku pulang.”
Suaranya terdengar merdu ketika memohon seperti itu. Tapi alangkah lebih syahdunya jika ia mendesah karena ulahku. Ada banyak khayalan liar untuk menambah gairah panas kami nanti. Namun, alangkah baiknya kubuat ia mendamba sekarang.
Kucumbu bibir tebalnya. Tapi nahas, ia malah menggigit bibirku hingga berdarah.
“Haha! Kau tidak sabaran sekali, Yuriko. Kau lebih suka bermain liar? Baiklah.” Tawaku kembali menggelegar meski terasa nyeri pada bibir bawahku.
Tanpa aba-aba kukecup pipinya lalu kugigit kuat. Benar-benar kuat. Bahkan teriakan kencang darinya tidak berpengaruh apa-apa padaku.
Dengan posisi tangannya terikat ke belakang, ia hanya mampu memberontak dan menjerit super kencang, hingga kupikir gendang telingaku bisa pecah. Tapi gigitan kuatku tak kunjung terlepas. Kupikir daging pipinya bisa tercabik.
“Ampuuun ...! Sakiiit!!”
“Dasar gadis bodoh! Kau yang mengajak bermain ganas, tapi malah minta ampun begini.” Kutatap tajam wajahnya.
“Sudah ... aku minta ampun. Tolong bebaskan aku, tolong ....”
“Pipimu robek,” gumamku sembari mengelus bekas gigitanku itu.
“Aku akan menuruti keinginanmu. Kau bisa minta uang sebanyak apapun. Asal bebaskan aku ... aku mohon ....” Air matanya kembali deras.
“Aku mau kita bercinta, Yuriko. Lihatlah juniorku, dia sudah tegang melihat kau menjerit dari tadi,” tunjukku ke bawah sana. Dan Yuriko semakin meraung putus asa.
“Diamlah. Nikmati saja sentuhan dariku. Semakin kau berontak, semakin semangat aku menyiksamu,” lanjutku mencoba mengambil ciuman bibirnya.
Yuriko tak membalas. Mungkin tubuhnya sudah lelah. Kubuka pengait branya. Lalu bibirku turun ke leher penuh keringat itu. Memberikan sentuhan seductive. Sembari membuang kasar penghalang bukit kembar tersebut.
"Uuhh ... kenyal sekali dadamu ini. Hahaa!" Kuremas kuat lalu menamparnya lagi.
"Ampuuun ...," jeritnya lagi.
"Sst ... jangan menangis, Yuriko. Baiklah, akan kubuat kau mendesah."
Kuusap pelan bekas kemerahan cap lima jari sekujur tubuhnya. Memeluknya erat supaya bisa membuat hatinya jauh lebih tenang. Tak lupa mengelus punggung polosnya. Dan itu berhasil meredakan ketegangan sekaligus kesedihannya. Aku tersenyum lebar.
"Kau cantik. Sekalipun pipimu robek," Yuriko mendesis ketika kusentuh pipinya yang masih meneteskan darah.
"Enghh." Tubuhnya menggeliat setelah kupijat pelan bukit kembarnya. Dengan sesekali memilin putingnya.
"Dadamu cukup besar dan kenyal. Aku suka," pujiku lalu melahap sensual putingnya. Dan lidahku bermain di sana.
"Sshhh." Yuriko menggigit bibir bawahnya.
Perlahan jemariku turun meraba perut sampai paha. Lalu tanganku menelusuk ke paha dalamnya. Mengusap dan sesekali meremas gemas. Yuriko kembali melenguh.
"Emmhh."
Jari tengahku bergerak maju mundur untuk menggoda vagina yang masih terhalang dalaman. Spontan pahanya menjempit tanganku.
"Wah ... tidak sabar, ya?" godaku lalu menekan daerah bawah sana. Tubuhnya tersentak.
"Aahh!" desahan pertamanya pun lolos.
Tanpa berlama-lama lagi, segera kusingkirkan rok dan celana dalamnya menggunakan gunting. Ia menjerit tertahan.
"Astaga ... lihatlah betapa menakjubkannya tubuhmu ini, Yuriko." Aku kesusahan menelan saliva. Setelah tubuhnya nyata tanpa sehelai benangpun.
"Aku tidak tahan untuk menggagahimu," seruku antusias sembari mengelap air liur yang hampir menetes.
"Tidak ...!!" teriaknya kencang.
"Hahaa!"
______________
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/272080534-288-k597169.jpg)