Bagian 4 : Kiriman Komandan

8.5K 846 128
                                    

Silakan berkomentar apabila menemukan tipo. ^^

- · -

"Panjenengan sedoyo¹ kok ndak bilang ke Anjani tentang Pak Rasyid sama sekali."
[¹(Jw) : Kalian semua]

Semua anggota keluarga menaruh perhatian penuh terhadap Anjani. Abah, ibu, dan eyang putri. Sepulangnya keluarga Rasyid. Anjani mengomel tanpa sabaran, uneg-uneg Anjani yang ditahan, kini ke luar tanpa komando.

"Anjani nggak suka? Apa Rasyid berbuat tidak baik padamu, Ni?" tanya abah. Anjani menggeleng, Rasyid tidak jahat padanya. Hanya saja ....

"Ndak, Abah. Pak Rasyid baik, sopan, tapi kaku. Anjani juga ... ndak mempermasalahkan cara bicaranya yang kaku." Anjani menyandarkan tubuhnya, mengusap wajahnya yang berkeringat sekaligus berminyak. "Pak Rasyid 29 tahun, Anjani 19 tahun. Beda 10 tahun. 10 tahun," lanjut Anjani menekankan perbedaan umur antara mereka.

"Pola pikirnya jauh lebih dewasa dari Anjani. Anjani takut kalau sering bertengkar," cicit Anjani dengan suara layu. Wajahnya menunjukkan keputusasaan. "Tau gitu Anjani menolak untuk dijodohkan sama Pak Rasyid. Mungkin Anjani akan bersyukur kalau Pak Rasyid sendiri yang menolak Anjani."

"Perbedaan umur bukan masalah utama. Eyang sama kakekmu dulu beda 12 tahun. Bertengkar dalam rumah tangga itu wajar, kalau gak ada pertengkaran, bisa-bisa rasanya hambar." Eyang putri tersenyum. Menarik tongkatnya dan berdiri, ibunya dengan cekatan membantu eyang untuk beranjak ke arah kamar, selagi sudah memasuki waktu Isya. Niat hati ingin melaksanakan salat wajib 4 rakaat dan bermunajat panjang untuk kebaikan anak cucunya.

Kini abah dan Anjani yang masih di ruang tamu. Abah tahu, Anjani masih ingin membicarakan sesuatu padanya. "Bicara aja, selagi Abah masih di sini."

"Abah juga ndak bilang, kalau Pak Rasyid keturunan anggota militer. Bahkan Pak Rasyid jadi komandan. Abah tau, 'kan? Kenapa ndak bilang? Anjani ini dianggap apa dalam keluarga? Apa-apa disembunyikan dari Anjani." Anjani tak meluputkan kesopanan pada orang tua, nadanya tak pernah meninggi. Namun, ucapannya malam ini penuh dengan kekecewaan.

"Anjani ini lulusan SMA, Abah. Anjani ndak punya kehebatan, pas-pasan, wanita standar, juga bukan wanita pintar. Kenapa ndak ada yang mikirin Anjani, gimana Anjani harus berbaur lalu adaptasi dengan keluarga kalangan atas. Pak Rasyid pasti menyesal milih Anjani." Anjani terkekeh di akhir kalimat dengan cairan bening yang luruh. Anjani merasa pundaknya tidak menjatuhkan beban, tetapi justru tertimbun beban lagi. Yang lebih berat.

"As-salamu'alaikum!"

Aghis masuk ke rumah setelah berjam-jam dipaksa ibunya untuk ke rumah Mbak Arum tadi. Matanya berbinar melihat Kakaknya yang masih terbalut kebaya merah muda. Aghis mulai menangkap aura tidak enak, wajah Anjani tampak redup, tidak secerah sore tadi. Pun, abahnya yang hanya diam.

Aghis memantapkan diri untuk ke arah Anjani, ingin melancarkan jurus jahilnya dengan menggoda kakaknya. Awak tinggi Aghis merangkul leher Anjani dengan tawa yang mengalun bebas.

"Cie, Mbak Ni! Kalau mantenan², Aghis dijadiin dhomas, ya!" goda Aghis.
[²(Jw) : Pernikahan]

Namun, Anjani mendorong dan mengacuhkannya, kemudian pergi dari ruang utama tanpa mengatakan apa pun dengan raut tak tertebak. Respons Anjani bukanlah harapan Aghis.

- · -

"Tolong, beri saya saran!" Rasyid mengusak rambut rapinya hingga teracak. Malam-malam sudah frustrasi saja.

"Kurang tahu, Ndan. Saya juga payah kalau menyangkut tentang wanita." Garen, asisten pribadi Rasyid yang masih berusaha untuk sabar. Tengah malam ia ditelepon oleh atasannya untuk segera ke rumah dengan mengatakan, "Garen! Ini darurat. Pergilah ke rumah saya sekarang!"

Sigaraning Nyawa Sang Komandan [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang