Bagian 6 : Menjadikannya Sebagai Hak Milik

7.6K 855 131
                                    

Silakan berkomentar apabila menemukan tipo. ^^

- · -

Menjelang pernikahan, rumah Anjani lebih mudah didatangi oleh pendatang. Entah dari orang Desa Kidul Wangi atau dari sanak kerabat Rasyid, rela menempuh perjalanan selama satu jam untuk melihat calon mempelai sekaligus mengakrabkan diri.

Anjani sempat dibuat tidak nyaman ketika keluarganya kedatangan beberapa wanita pihak medis yang memakai seragam putih dan kerudung biru muda. Kiriman dari pihak rumah sakit yang diminta untuk melakukan tes kesehatan pada Anjani.

Anjani baru tahu, salah satu persyaratan menjadi seorang istri dari anggota tentara ialah memiliki badan sehat dan jauh dari obat-obatan yang ilegal. Itulah mengapa, sebelum pernikahan, ia harus melewati serangkaian tes. Bukan itu yang memberatkan baginya, tetapi terdapat tes keperawanan. Anjani merinding bukan main mengingat cara kerjanya. Tidak berhenti di sana, Anjani juga harus melewati wawancara singkat dan tes pengetahuan tentang NKRI.

Malam sebelum hari pernikahan, Anjani mendapat wejangan dari sesepuh desa yang datang ke rumah, eyang putrinya pun turut memberikan petuah penuh makna. Dalam adat Jawa, hal ini dinamakan midodareni, yakni calon pengantin wanita ditemani oleh kawanan wanitanya, sekadar bersenda gurau dan saling berbagi pengalaman.

Anjani tidak bisa berhenti menangis dengan memeluk ibunya usai upacara midodareni. Memaksa ibunya untuk tinggal bersamanya setelah menikah, Anjani juga berani berjanji bisa membagi waktu untuk mengunjungi eyang, abah, dan Aghis.

"Jangan ngawur¹!" Adalah ucapan ibu saat mendengar ucapan asal-asalan Anjani.
[¹(Jw) : Sembarangan]

Demi Gusti Agung, Anjani benar-benar ingin kembali ke masa kecilnya saat ini juga. Tidak pernah memikirkan masalah, hanya memikirkan bagaimana cara bisa bermain dengan anak lain dan kabur saat jam tidur siang.

Agaknya waktu sengaja dipercepat oleh Tuhan. Hari pernikahan, keluarga dan kerabat besar Anjani berangkat menuju Kota Magelang tepat setelah salat Subuh. Dibarengi satu bus pariwisata untuk tetangganya, kemudian satu mobil yang ditumpangi oleh Anjani dan keluarga.

Anjani tahu, pernikahannya tidak bisa dikatakan biasa saja. Sampai-sampai mendapat pengawalan dari beberapa anggota Kopassus yang mengendarai motor besar dengan suara sirene yang mendengung keras, memerintah pengendara lain untuk segera memberi jalan.

Dalam perjalanan terasa sama cepatnya. Laju mobil membuat Anjani semakin berdebar. Matanya menatap luar, langit masih melukiskan fajar, sekumpulan orang mulai berangkat kerja atau sekadar pergi ke pasar. Becak maupun dokar masih sering tertangkap di penglihatan Anjani.

Tiba di sana, Anjani mendapat sambutan dari orang tua Rasyid yang menunggu. Satu jam perjalanan membuat Anjani masih bisa merasakan aroma embun pagi meski di hadapannya terdapat gedung besar. Anjani memeluk sopan ibunda dari Rasyid, melakukan kecupan di kedua pipi khas wanita feminim pada umumnya.

Eyang putri ketika turun dari mobil segera dituntun untuk duduk di kursi roda yang telah disediakan. Aghis kesenangan melihat kursi roda, biasanya ia hanya melihat di televisi. Begitu semangatnya, Aghis kukuh untuk mendorong kursi roda. Abahnya setia mengawasi keluarganya agar tidak kehilangan jejak saat menjejakkan diri memasuki gedung.

Beberapa kerabat keluarga Anjani diarahkan guna memasuki sebuah ruangan, tersedia beberapa kudapan ringan sebagai sarapan pengganjal perut dan sofa panjang untuk istirahat.

Lain halnya dengan sosok Anjani yang dibawa menuju ruang rias, mau tak mau sang ibu juga harus mengikuti anak gadisnya yang dari kemarin tak ingin jauh-jauh darinya. Mata Anjani tidak bisa berbohong bahwa ia kagum dengan interior dalam gedung. Pertama kali baginya melangkahkan kaki ke ruangan mewah.

Sigaraning Nyawa Sang Komandan [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang