Bagian 14 : Suatu Kesengajaan

6K 697 33
                                    

Silakan berkomentar apabila menemukan tipo. ^^


- · -

Kompor dimatikan, Anjani mengembuskan napas perlahan, tidak ada niatan menjawab pernyataan Rasyid. Gadis itu meletakkan lauk yang sudah masak dalam mangkuk besar dan menaruhnya di atas meja, menyiapkan perlengkapan makan di sana, Anjani mengambil duduk di sebelah Rasyid.

"Anjani selalu duduk di depan Pak Rasyid kalau sedang makan. Sekarang, Anjani duduk di samping, menekankan makna kalau Anjani pendampingnya Pak Rasyid. Bapak boleh berkawan dengan perempuan, Anjani ndak akan larang, tapi jangan puji wanita lain di depan Anjani, apa lagi membandingkan."

Rasyid melunakkan tatapannya, tidak ada rencana membuat Anjani sakit hati, tetapi ucapannya berdampak buruk pada Anjani. Perasaan bersalah membuat Rasyid termenung, betapa pentingnya menjaga lisan, ringan sekali untuk bercakap, sangat ringan juga menghancurkan seseorang dalam sekali cakap.

Tangan kanan Rasyid terangkat untuk mengusap kepala Anjani yang tertunduk, menyembunyikan mata yang menyimpan banyak luka sebagai seorang gadis muda pemberani yang menanggung tanggung jawab besar.

"Tetap di sini, Ni. Saya ingin kamu mendengar ucapan kami."

Anjani melirik ke arah Rasyid yang kembali fokus pada ponsel, tampak menghubungi seseorang dengan wajah berseri. Tidak ada perasaan cemburu sebenarnya, tetapi cukup sebal ketika Rasyid lebih memberi atensi pada ponsel. Pria Adipati mengeraskan suara ketika sambungan telepon hendak terhubung. Anjani menajamkan kuping, ingin mendengar percakapan seperti apa yang akan diperbincangkan.

"As-salamu'alaikum, Bu. Lapor, Anjani sedang menahan cemburu karena saya terlalu asyik sendiri berkirim pesan dengan Ibu dan memuji Ibu cantik." Anjani menegang. Kepalanya menengok cepat ke arah Rasyid dengan mata terbuka lebar. Apa itu ibu mertua?

"Wa'alaikumus-salam, Nak Rasyid." Suara kekehan terdengar sampai rungu Anjani, gadis itu terhenyak lalu berkaca-kaca mendengar suara yang sangat dikenali. Suara wanita pertama yang menjadi cinta pertamanya sebagai seorang anak. Suara yang paling dirindukan oleh Anjani. Itu suara ibunya.

Entah sopan atau tidak, kegesitan tangan Anjani mampu merebut ponsel Rasyid tanpa meminta izin. "IBUK!" jerit Anjani kegirangan dengan tangis penuh kebahagiaan. Memanggil kata 'ibuk' berkali-kali dengan semangat.

"Hush, Ni! Jangan teriak," ucap ibunya dengan marah di seberang, Saras bergetar ketika memberi peringatan kepada Anjani. Ikut sesak sendiri mendengar suara anaknya yang lama tak didengar. Wajahnya berderai air mata mendengar suara Anjani. "Udah! Jangan nangis, Ibuk mau bicara sama Nak Rasyid dulu."

"Anak kandung Ibuk ini Anjani apa Pak Rasyid?" tanya Anjani dengan nada naik, Anjani mengusap ingusnya dengan lengan baju. Rasyid tersenyum, mengambil tiga lembar tisu dan disodorkan pada Anjani yang kesusahan mengendalikan ingus.

"Apa ndak kangen sama Anjani? Katanya mau ke sini?" Suara Anjani tersendat-sendat, hidungnya memerah, matanya juga membengkak. Ibunya tertawa di sana, membuat Anjani ingin berlari ke sana dan memeluk ibunya erat-erat.

"Belum ada dua minggu, Ni. Dibetah-betahin dulu, biar terbiasa tinggal jauh. Sudah masak apa belum?"

"Ibuk ndak tanya keadaan Anjani dulu?"

"Ndak. Nak Rasyid sudah lapor, kamu baik-baik aja, cuma kangen dikit sama Ibuk." Saras menghapus wajahnya yang basah, menelan ludah untuk meredakan nyeri di tenggorokan akibat menahan kuat untuk tidak menangis. "Kasih ke Rasyid dulu, Ni. Ibu mau bilang sesuatu sama dia," kata Saras penuh lembut agar Anjani mau menurutinya.

Sigaraning Nyawa Sang Komandan [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang