Dinner di Ketinggian

10.5K 515 23
                                    

Maaf baru post sekarang, sebenarnya chapter ini sudah selesai lama, tapi berhubung koneksi internet tidak sedang bersahabat maka baru bisa diposting sekarang. Saya tunggu vote dan komentarnya, karena saya masih bingung menulis chapter selanjutnya. Barangkali saja ada yang bisa membantu ^^


εΐзεΐзεΐз

"Kayaknya ada yang beda sama rambut lo deh."

Kata-kata Elang tadi cukup untuk membuat Laras semakin menenggelamkan dirinya pada majalah yang ada di tangannya. Berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakannya tadi.

Elang justru berjalan mendekati Laras dan memperhatikan Laras dengan teliti. "Rambut lo habis di-blow ya, Ras?"

"Ya Tuhan! Gimana dia bisa tahu sih? Padahal kan ini blow biasa," gerutu Laras dalam hati.

"Ngga," jawab Laras singkat tanpa menoleh ke arah Elang.

"Iya ah."

Dari sudut matanya, Laras bisa melihat Elang menelengkan kepalanya semakin memperhatikan. "Kalau beneran ngga, lo pasti udah nurunin tuh majalah dan natap gue dengan muka nantangin," kata Elang yang membuat Laras menggeram dalam hati.

Laras mendengus kencang. "Iya. Abis di-blow. Puas?" akhirnya Laras menyerah menurunkan majalahnya dan menatap Elang.

Elang tertawa. "Pakai acara ngga ngaku segala. Emangnya mau ke mana sih? Kok pakai acara nge-blow segala? Tumben," Elang meledek Laras.

"Ngga ke mana-mana. Lagi pengen di-blow aja."

"Lagi pengen aja?" Elang mengangkat alisnya. "Lagi pengen aja ke salon jam lima sore untuk nge-blow rambut sampe rapi kayak yang mau ke undangan hanya untuk ngga ke mana-mana?"

Laras menggeram dalam hati. Mulut Elang ini sama tajamnya seperti mulut perempuan.

"Iya, ngga ke mana-mana. Emangnya ngga boleh?"

"Terdengar mustahil, mengingat lo bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktu dan uangnya di salon," Elang masih berdiri tidak bergerak. "Ngga ada yang mau lo ceritain sama gue?"

"Ngga ada yang perlu gue ceritain juga, Lang."

Elang mengangkat bahunya carefree. "Kali aja lo mau cerita-cerita," Elang berhenti sesaat. "Gue kan hanya ngga mau mendapatkan cerita dari orang lain dan bukannya dari lo sendiri."

Laras memutar bola matanya tanda bosan. "Yaelah kenapa lo jadi drama banget sih?"

"Apalah artinya hidup ini tanpa drama, Ras?" ucap Elang yang membuat Laras mencibir.

"Ya udah deh kalau beneran ngga ada apa-apa, gue mau cabut kuliah dulu," Elang lalu melenggang ke luar menuju motornya.

εΐзεΐзεΐз

"Apa sebelumnya udah pernah ada yang bilang kalau Om itu ganteng bin keren ngga?"

Pertanyaan yang meluncur dari mulut Tita tadi membuat Arya menghentikan kegiatan merapikan dasinya. Arya menatap tajam pada keponakannya yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya sambil menonton televisi.

"Kenapa kamu ada di rumah Om? Ngga malam mingguan sama Aiden?" tanya Arya sambil menghampiri Tita.

"Aiden lebih milih malam mingguan sama sahabat-sahabatnya," jawab Tita acuh. "Jadi daripada manyun sendirian di rumah, mendingan Tita main di sini sama anak-anak Om," tambahnya.

Arya terkekeh. Rumahnya dengan rumah Mas Yudis orang tua Tita memang berada di kompleks yang sama, rumah mereka hanya berbeda beberapa blok saja. "Kemal ngga pulang ke Bandung?" Arya menanyakan mengenai kepulangan Kemal yang bekerja di Jakarta.

Puber KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang