Salahkah Perasaanku Ini?

31K 883 20
                                    

Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Chris_Suiwu Onnie yang sudah memberikan judul besar untuk cerita ini ^^

Sebenarnya cerita ini sudah pernah diposting beberapa tahun yang lalu tetapi karena beberapa alasan, saya menghapus konten ceritanya. Dan hari ini saya memutuskan untuk kembali memostingnya, mudah-mudahan banyak yang menyukai dan memberikan vote serta komentarnya untuk kemajuan dari cerita ini ^^

Laras memandangi sosok pria yang sedang berdiri di depan pintu masuk rumah sakit Santosa dengan jantung yang berdebar tidak karuan. Pria itu memiliki bahu lebar dan tegap, dalam khayalan terliar Laras, dia selalu membayangkan betapa nyamannya menyandarkan kepalanya di bahu tersebut. Walaupun usia pria tersebut tidak bisa dikatakan muda, tetapi wajahnya tetap menawan. Garis rahangnya yang tegas, hidungnya bangir, serta sepasang alis yang menaungi matanya, tampak sesuai di wajahnya yang melankolis. Satu hal lagi yang membuat Laras menyukai pria itu adalah kharismanya. Laras berani bertaruh, pasti dulu saat pria itu masih muda, banyak gadis yang mengantri untuk menjadi kekasihnya. Ah, andai saja Laras sudah lahir pada saat itu, dia akan berada di barisan paling depan.

"Jadi lo kerja di sini biar bisa mandangin tuh orang?"

Sebuah nada sumbang terdengar dari balik punggung Laras. Tanpa menoleh pun, Laras tahu kalau nada sumbang tersebut berasal dari mulut Elang, sahabatnya sejak kecil.

"Bisa dibilang begitu," jawab Laras sambil berjalan menuju salah satu rak, dan melanjutkan pekerjaannya menyusun roti.

Elang mendengus kencang. "Apa sih kelebihan tuh orang? Kayaknya ngga ada yang istimewa deh," cibirnya.

Kedua mata Laras yang besar semakin membesar saat mendengar perkataan sahabatnya itu. "Dia itu seorang dokter, Lang. Dokter bedah, kurang istimewa apa coba?" Laras memberikan pembelaan.

"Tapi udah tua," balas Elang cepat.

"Ngga tua-tua banget ah, empat puluh tahun," bela Laras lagi.

"Umur lo setengah umurnya, dan lo bilang ngga tua-tua banget?!"

"Bukan setengah, Lang. Tapi enam belas tahun," Laras memperbaiki pernyataan Elang barusan.

"Lo bisa dikira anaknya, tahu ngga?!"

"Ngga mungkin!" balas Laras. "Karena perbedaan usia kita cuma enam belas tahun."

Elang kembali mendengus kencang. Sejak dulu dia memang tidak pernah menang kalau beradu mulut dengan Laras. Gadis ini selalu memiliki jawaban yang bisa mematahkan perkataannya.

"Tapi dia duda, Ras," suara Elang melemah.

"Terus?"

"Punya dua anak," tambah Elang.

"Terus?"

"Terus terus aja lo, udah kayak tukang parkir!" Elang menoyor kepala Laras karena kesal sejak tadi sahabatnya itu hanya berkata 'terus' sebagai jawaban.

Laras menyengir. Dia sudah tahu kalau pria pujaannya itu adalah seorang duda beranak dua, lalu apa masalahnya?

"Huh! Susah deh kalau ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta, semuanya pasti kelihatan bagus," gerutu Elang sambil menarik rambut cepaknya dengan frustasi.

"Daripada lo di sini ngerecokin gue aja, mendingan lo balik deh," ucap Laras. "Bukannya sebentar lagi lo harus kerja?" Laras mengingatkan.

Elang melirik jam tangannya, gadis itu benar. Setengah jam lagi dia harus sudah sampai di kafe tempatnya bekerja. "Ya udah deh gue cabut dulu, nanti lo bisa pulang sendiri, kan?" tanya Elang sambil berjalan menuju pintu mini market tempat Laras bekerja.

Puber KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang