Mantan itu.... (Isi titik-titiknya sendiri)

13.8K 638 188
                                    

Sebelumnya saya mau meminta maaf pada semua pembaca setia Puber Kedua karena lama sekali baru meng-update chapter ini, semua ini dikarenakan keadaan saya sekarang sedang berbadan dua, sehingga sedikit kesulitan untuk duduk lama di depan laptop. Saya mohon sedikit pengertian dari para pembaca, saya pasti akan menyelesaikan cerita ini, tapi please jangan terus bertanya kapan di update, karena jujur itu sedikit memberikan tekanan pada saya, doakan saja saya bisa terus mengerjakan cerita ini dan detun yang sedang saya kandung bisa diajak berkompromi untuk berlama-lama duduk menulis di depan laptop 🙏🙏

εΐзεΐзεΐз

Saat itu keadaan di IGD sedang sangat ramai, kebetulan baru saja terjadi tabrakan beruntun dan semua korban dibawa ke rumah sakit ini, sampai-sampai Tita tidak sempat memakan roti yang tadi dibawanya dari rumah untuk sarapan. Bertugas di IGD memang benar-benar menyita waktu. Apalagi saat ini dokter dan resident yang bertugas di IGD sedang mengikuti konferensi, sehingga hanya ada dokter Wahyu dan dokter Reinaldo saja yang berjaga di IGD selaku dokter senior.

"Tiara Tanuwijaya!" Tita memanggil nama salah satu pasien yang harus diperiksanya di IGD ini. Seorang wanita cantik berdiri menghampiri Tita. Kalau melihat dari data yang ada ditangannya saat ini, Tita dapat mengetahui kalau calon pasiennya ini seumur dengan Arya Om-nya. Tapi, Tita sama sekali tidak menemukan kerutan di wajah wanita tersebut. Pasti dia menggunakan perawatan anti aging yang sangat bagus.

"Silahkan ikut saya," Tita lalu membawa calon pasiennya itu menuju salah satu tempat periksa yang ada di IGD.

"Ada keluhan apa, ya Bu?" tanya Tita saat pasiennya itu sudah berbaring.

"Perut saya sakit, dok."

Tita memasang stestoskop di telinga dan memeriksa, kemudian dia memberi tekanan lembut di bagian atas perut pasien, tapi pasien tidak merasakan apa-apa, sampai saat Tita menekan perut bagian bawah sebelah kanan, terlihat pasien itu meringis kesakitan.

"Apakah sebelumnya pernah menjalani operasi abdomal atau pembuangan batu empedu?" tanya Tita.

"Jadi ini bukan obstruksi usus, saya tidak perlu khawatir," jawab Tiara sambil bangkit dari tidurnya.

"Wah, ternyata anda tahu mengenai istilah kedokteran juga ya," kata Tita kagum. "Apakah anda merasakan sakit di tempat lain?"

"Saya sedang menjalani perawatan karena kencing batu dari rumah sakit lain, tapi saya tidak bisa menahan rasa sakit yang saya rasakan saat sedang dalam perjalanan menuju kantor."

"Oh, harusnya anda memberitahu saya dari awal, kalau begitu biar saya berikan obat pereda rasa sakit," ujar Tita sambil menuliskan obat pereda sakit di resepnya.

"Jangan, dok. Saya sensitif dan juga alergi pada obat pereda rasa sakit. Dan obat pereda sakit itu tidak pernah bisa mengobati saya. Bagaimana kalau beri saya suntikan Demerol saja?" Tiara mengusulkan.

"Demerol?" Tita mengulangi dan Tiara mengangguk sambil tersenyum.

"Kita harus melakukan tes darah dan juga CT scan terlebih dahulu," ucap Tita.

"Wah, saya tidak bisa, saya sibuk sekali hari ini," jawab Tiara sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kesalahan diagnosis yang sering terjadi pada Aneurisma Aorta Abdominal adalah kencing batu. Kita perlu melakukan CT scan atau USG untuk mengetahuinya..."

"Tadi dokter sendiri yang menawari untuk memberikan saya pereda rasa sakit," Tiara memotong perkataan Tita.

"Demerol sejenis narkotika untuk meredakan rasa sakit, dan saya tidak bisa meresepkan itu untuk anda," ujar Tita setengah kesal.

"Kenapa dokter co-ass cerewet banget sih? Tinggal kasih saya suntikan Demerol apa susahnya sih?" omel Tiara. "IGD lagi banyak pasien, apakah dokter masih mau terus mempermasalahkan ini?" tambahnya sambil menahan rasa nyeri di bagian perutnya.

"Atau lebih baik sekarang dokter panggilin dokter resident atau atasannya dokter saja sekalian untuk memeriksa saya. Saya punya rekam medis dan juga resep dari dokter saya sebelumnya," ujar Tiara.

"Baiklah saya akan meresepkan apa yang anda mau," melihat Tiara yang terus merasa kesakitan akhirnya Tita memutuskan untuk memberikan apa yang Tiara mau. Kemudian bergegas menuju bagian obat-obatan.

Saat sedang berjalan menuju bagian obat-obatan Tita berpapasan dengan Bagas, sesama co-ass yang juga kebetulan bertugas di IGD.

"Ta, lo lihat dokter Wahyu ngga?" tanya Bagas.

"Ngga, dari tadi gue tugas di depan, jadi ngga tahu posisi dokter Wahyu, emangnya kenapa?"

"Kalau dokter Reinaldo?" tanya Bagas lagi yang dijawab gelengan oleh Tita.

"Dokter Wahyu sedang melakukan CPR untuk pasien serangan jantung," beritahu salah satu perawat yang kebetulan melintas.

Wajah Bagas panik. "Terus dokter yang lain? Dokter Reinaldo gimana?"

"Kamu ngga denger ya kalau hari ini dokter-dokter yang lain lagi mengikuti konferensi, jadi ngga ada satu pun dokter yang jaga di sini, dan dokter Reinaldo lagi di ruangan yang sama dengan dokter Wahyu," jawab perawat itu kemudian berlalu meninggalkan Bagas dan Tita.

"Kenapa sih, Gas?" tanya Tita penasaran.

"Ada pasien pneumothorax , tadi sih dokter Wahyu udah masang chest tube, tapi tekanan darahnya nge-drop dan dia juga ngerasa kesakitan," jawab Bagas, dia kemudian pergi meninggalkan Tita, tanpa diminta Tita mengikuti Bagas menuju ruang pasien yang tadi dia katakan. Tiara yang kebetulan melihat kejadian itu mengerutkan keningnya.

Sesampainya di ruangan itu, Tita menekan bagian dada pasien beberapa saat.

"Ini sih subcutaneous emphysema," kata Tita.

"Subcutaneous emphysema?" Bagas semakin panik.

"Kita harus manggil dokter Wahyu," ujar Tita.

"Dokter Wahyu lagi ngelakuin CPR," jawab Bagas gusar. Tita jadi ikut merasa panik dan bingung. Kalau saja bisa, Tita ingin memanggil Arya, pasti Om-nya itu bisa membantu mereka menyelesaikan masalah ini.

"Kalian bakal terus nonton kayak gini? Tekanan darah pasien sekarang 60/30," ucap perawat yang sejak tadi menemani Bagas.

"Terus kita kudu gimana? Ta, coba lakuin sesuatu," kata Bagas.

"Kita harus membuat incision di bagian dadanya terus ngeluarin darahnya," ujar Tita.

"Beneran? Terus lo udah pernah ngelakuin itu?"

"Gue sih cuma pernah denger aja, tapi gue belum pernah lihat gimana prosesnya," jawab Tita tak kalah paniknya dengan Bagas.

"Tapi lo pasti bisa ngelakuinnya lebih baik dari gue? Apa kudu gue yang ngelakuin?"

"Jangan!"

"Ayo dong, lakuin sesuatu, masa kita cuma nontonin aja."

"Lo bisa diem ngga sih? Gue juga bingung nih."

"Kalian ngapain debat sih? Yang kita butuhkan sekarang itu resident," kata perawat yang menemani Bagas, dia lalu keluar dari ruangan mencari bantuan.

Di tengah kebingungan Bagas dan Tita, tiba-tiba saja Tiara masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia sudah mengikat rambut panjangnya. Dia menggenakan sarung tangan dan berjalan menuju pasien.

"Ibu ngapain di sini? Ibu ngga boleh ada di sini!" Tita meminta Tiara untuk keluar. Tiara bergeming, dia malah menekan-nekan beberapa bagian dada pasien.

"Apa yang Ibu lakukan?" Tita berusaha menjauhkan tangan Tiara dari dada pasien.

"Toraksnya tertekan karena subcutaneous emphysema," ujar Tiara. "Ambilkan scalpel nomor 10," tambahnya.

"Ibu itu dokter?" tanya Bagas.

"Cepat ambilkan scalpel-nya," Tiara tidak mengubris pertanyaan Bagas. "Apa kalian ngga denger? Saya bilang ambilkan scalpel nomor 10!" seru Tiara pada Bagas dan Tita yang hanya bengong.

Tak kunjung mendapatkan apa yang dimintanya, Tiara mencari sendiri di wadah yang ada di sebelahnya. Saat dia sudah menemukan dan bermaksud untuk mendekati pasien, dengan cepat Tita mencegahnya.

"Apa yang Ibu lakukan?"

"Kalau kita tidak membedah dadanya, pasien ini akan meninggal!"

"Ibu harus menenangkan pasien terlebih dahulu," ujar Tita keras.

"Ngga perlu lagi, karena tekanan darah pasien terus drop!"

"Tapi Ibu tetap tidak boleh melakukannya, saya tidak tahu siapa Ibu sebenarnya," Tita terus berusaha mencegah Tiara.

"Kamu ini si bodoh yang meresepkan Demerol untuk pasien yang menderita sakit perut," ujar Tiara sambil menghempaskan tangan Tita yang sejak tadi menahan tangannya.

Dia lalu dengan cepat membedah dada pasien dan mengeluarkan darah dari bagian yang dibedahnya tadi. Seketika itu juga tekanan darah pasien berangsur-angsur naik.

Tiara langsung melepas sarung tangannya dan saat dia ingin meninggalkan ruangan, tiba-tiba perawat yang tadi menemani Bagas, kembali bersama dokter Wahyu dan dokter Reinaldo.

"Tiara?" ujar Reinaldo seolah tidak percaya dengan sosok yang dilihatnya.

"Hei, Do. Long time no see," balas Tiara sambil melambai pada Reinaldo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Puber KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang