Eyoww brew! Yuk, tarik napas dulu sebelum terjun ke duna Amara!
Author gabakalan bosen-bosen ngingetin kalian buat selalu vote dan komen di setiap paragraf!
Follow IG : nrlfh_25
Follback? DM!
Happy Reading ygy!
_______________________________________________Sejak saat itu, tepat setelah kepergian Cakra, Amara 'tak kunjung ke luar kamar. Ia bahkan jarang makan, ssesekali Amara makan jika ada seseorang yang mengantarkan makanan ke kamarnya. Selebihnya, Amara hanya meminum segelas air putih, itupun jika ingat. Entah siapa yang menaruhnya di sana setiap pagi, yang jelas, itu bukan pekerjaan orang tuanya. Bahkan, sejak kematian Cakra, ayah maupun bundanya tidak ada yang menghampiri Amara meski hanya untuk sekedar menanyakan kabar gadis itu. Padahal, mereka berada dalam satu atap yang sama.
Sekarang, tepat dua minggu setelah kepergian Cakra. Amara ingin bangkit dari keterpurukan nya, ia ingin mengusir jauh-jauh perasaan bersalahnya atas kepergian Cakra. Semua itu bukan Amara, semuanya murni keputusan semesta. Tidak sepantasnya Amara merasa bersalah sampai sedalam ini.
Meski semua orang menyalahkan dirinya, seharusnya Amara tidak terbawa suasana sampai sejauh ini. Ini bukan salah Amara, Amara berhak bahagia. Amara pantas menjemput kebahagiaannya yang sempat dirinya abaikan selama beberapa hari.
Amara, Cakra, bahkan semesta tahu bahwa semua ini murni keputusan takdir. Tidak ada yang perlu disalahkan. Tidak ada yang sepenuhnya salah.
Dari pantulan cermin kamar mandi, Amara memandang dirinya lama. Tubuhnya begitu kurus dan rapuh. Ini sungguh bukan diri Amara, Amara yang biasanya selalu tegar dan berenergi. Kemana Amara yang dulu? Amara benci dirinya yang ia lihat dari pantulan cermin itu, Amara merindukan dirinya yang ceria, penuh tawa dan bahagia.
Amara menghela napas panjang. " Sekolah, ya ...?" Ucap Amara pada dirinya. Ia berusaha mengukir seutas senyum di sudut bibirnya.
Setelah kembali dari kamar mandi, Amara membuka lemari bajunya. Gadis itu mengambil seragam sekolah dengan logo SMA Sriwijaya. Amara memandangi seragamnya beberapa lama, sampai pada akhirnya, ia memutuskan untuk memakai seragam sekolahnya itu.
Lagi-lagi Amara menghela. Ternyata, tidak mudah melupakan semuanya, ya? Kira-kira seperti itu yang tengah amarah pikiran saat ini.
Setelah dirasa dirinya sudah siap untuk pergi ke sekolah, akhirnya Amara memegang knop pintu dan membuka pintu berwarna putih tersebut. Ini adalah kali pertama Amara keluar kamar setelah sekian lama.
Amara berlari ke arah ruang makan dengan riang seperti biasanya, gadis itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. " AYAH! BUNDA! CAKRA!" Teriak Amara, persis seperti apa yang selalu ia lakukan di hari-hari sebelumnya. Tepat saat Cakra masih berada di dunia.
Teriakan Amara berhasil membuat kedua orang tuanya menatap gadis itu dengan sorot penuh kebencian. Namun, hal tersebut tidak membuat sikap Amara berubah sedikitpun. Amara tidak ingin hari cerahnya mengabu hanya karena perubahan sikap kedua orang tuanya terhadap Amara saat ini.
Amara duduk di kursi tempat biasa dirinya sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Ditatapnya sekeliling, Amara merasa seperti ada kejanggalan di sana. "Cakra mana?" Amara menatap kedua orang tuanya bergantian.
Setelah dirasa Prawira dan Gloresha tak kunjung memberikan jawaban, Amara kembali berucap, "oh, Cakra belum bangun, ya?" Amara bangkit dari duduknya, hendak berlari ke arah kamar Cakra yang terletak di lantai tiga.
"CUKUP, AMARA!" Suara berat milik Prawira berhasil membuat langkah Amara terhenti.
Dengan rasa takut yang menyelubungi dirinya, perlahan Amara berbalik badan menghadap Prawira. "A-ayah ... bentak Amara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amara
Teen FictionCover by : Reca "Takdir mengubahku, membunuh hati dan empati. Membuatku menjadi sosok yang 'tak terkendali." Dia, Amara. Gadis cantik pembawa bahagia. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena sebuah derita yang 'tak mengenal akhir cerita. Amara...