12

12 7 12
                                    

Perihal takdir, Tuhan 'tak pernah salah. Kita yang terlalu serakah untuk mengalah.

_Amara Shannon Gavriel_


"Amara. Mulai sekarang, Ayah tidak ingin melihat kamu pulang bersama Carel lagi."

Amara menghentikan kegiatannya menyantap makan malam, gadis itu melemparkan atensinya pada sang Ayah. " Kenapa?" Tanya Amara, suaranya pelan tapi datar.

"Ayah tidak suka pada anak itu."

Amara terkekeh, ringan. "Ayah ngaco. Jelas-jelas, dulu Ayah yang nyuruh Amara sama Carel buat sahabatan." Amara kembali melanjutkan kegiatan makan malamnya. Ia berusaha membuang jauh-jauh pemikiran buruk yang mulai mengelabui kepalanya.

"Kamu tau, kalau Carel sudah dijodohkan? Dan orang yang dijodohkan dengan Carel adalah sepupu kamu sendiri."

Amara melepaskan sendok dan garpu dari genggamannya, cewek cantik itu memundurkan kursi yang ia duduki lalu berdiri. "Amara tau."

" Dan kamu masih ingin menjadi benalu?" Ucap Gloresha, saat Amara hendak melangkahkan kakinya dari tempat itu.

Amara terpaku di tempat, gadis itu menggigit bibir bawahnya, tangannya terkepal, berusaha menahan diri agar amarahnya dapat terkendali.

Amara berbalik badan, kembali menghadap kedua orang tuanya. "Kalian disogok pake saham berapa, sama mereka?" Amara memberi tatapan menantang. Ia jatuhkan atensinya pada Prawira dan Gloresha secara bergantian.

Prang!

Prawira melemparkan piring di hadapannya ke arah lain dengan asal. Sisa-sisa makanan berserakan di atas lantai. "LANCANG SEKALI BICARAMU!"

Amara hanya diam tidak bergeming, tatapannya memusat ke arah pecahan piring yang acak-acakan.

Amara menghela napa, berat. Matanya terpejam sesaat, lalu berucap, " Amara minta maaf, Amara bakalan berusaha buat jauhin Carel," putus Amara akhirnya.

Gloresha berdiri. "Apa jaminannya?"

Amara membuang napasnya, gusar. "Kalian mau apa sebagai jaminan?" Gadis itu memberi tatapan bosan pada bundanya.

Gloresha terdiam, terpaku, kehabisan kata-kata. Dirinya tidak menginginkan apapun dari Amara, dirinya telah memiliki semua yang Amara miliki. Tidak ada hal yang benar-benar dia inginkan dari Amara.

"Gak ada? Berarti, gak ada alasan buat Amara ngejauh dari Carel." Amara hendak melenggang pergi, namun perkataan Gloresha kembali menghentikan niatnya.

"Kamu sadar diri dikit, bisa 'kan Amara?"

Amara menoleh ke arah Gloresha. "Bun, sebenernya anak bunda itu Amara, atau Aileen?"

Prawira menggebrak meja, lelaki setengah paruh baya itu mengarahkan telunjuknya pada Amara.

Amara tersentak, kaget. "kemarin, kamu ke rumah Carel?" Prawira berjalan ke arah Amara. "JAWAB!" Tuntut ayah Amara, tepat di depan wajah anaknya.

Dengan takut, Amara menganggukkan kepalanya. "Carel sakit, Ayah. Amara ke sana cuma untuk-,"

Plak!

Wajah Amara terhempas ke arah samping. Amara memegangi pipinya yang terasa panas. "MAU DIA SAKIT ATAU MATI SEKALIPUN, TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN KAMU!"

Amara menggeleng, tidak habis pikir. Manik coklat mudanya terpacu pada iris milik sang Ayah. "Kok, Ayah, tega, bilang kayak gitu? Di mana hati nurani Ayah?"

"Hati nurani, hati nurani!" Prawira memegang bahu Amara, mencengkramnya sampai sang empu meringis kesakitan. "Kamu suka, ya, sama anak itu!?"

Kalimat Prawira berhasil membuat Amara menelan salivanya, gadis itu diam seribu bahasa. Akan sangat munafik jika Amara mengelak. Pada dasarnya, Amara tidak bisa menyangkal bahwa dia mencintai Carel. Rasa itu sudah Amara miliki jauh sebelum Carel dijodohkan.

AmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang