11

13 9 2
                                    

Semua orang memiliki rasa sakit yang berbeda. Dengan posisi, dan kondisi yang 'tak sama.

_Nona Jeruk Lemon keceh_

"Ra, sorry. Ini mungkin agak terlalu buru-buru. Tapi, gue mau lo jadi pacar gue. Hari ini, dan seterusnya."

Senin, tepat setelah pulang sekolah, Carel mencetuskan isi hati yang telah ia tahan bertahun lamanya.

Detik itu, Amara benar-benar tertegun tanpa sepatah kata 'pun. Lidahnya terasa kelu, tenggorokannya seolah membisu. Pengungkapan yang telah Carel berikan, adalah hal yang tidak pernah Amara harapkan.

Bagi Amara, dua orang sahabat masa kecil tidak bisa dipersatukan dalam sebuah ikatan yang jauh lebih dalam.

Ditatapnya Carel oleh sorot mata sendu milik Amara. Gadis itu menggeleng hampa, bibir mungilnya melontarkan tawa hambar. "Lo gila, Rel."

"M-maksud, lo ...?" Carel tertawa garing, ia tidak faham. Bukankah seharusnya ini yang Amara harapkan? Carel tahu, dirinya peka bahwa mereka memiliki rasa yang sama sejak lama. Bahkan, Carel sudah menyadarinya sebelum Cakra tiada.

" lo pikir aja sen-,"

"Ra." Carel menyela, laki-laki itu berjalan mempersempit jarak antara mereka berdua.

"Gue ... gue gak suka liat lo lebih deket sama cowok itu ketimbang sama gue. Gue mau, gue yang selalu ada di sisi lo. Jagain lo. Ngelindungin lo, Ra."

Amara menghela napas dalam. Berusaha meredam setiap kepedihan yang mulai meluap. " lo egois," sinisnya, tepat di depan wajah Carel.

"Gue gak peduli. Kali ini, gue mau egois, Ra. Gue mau lo ...." Carel menatap Amara nanar. Untuk pertama kalinya, sorot sendu itu ia labuhkan pada seorang wanita. "Gue mohon, Ra ... cuma lo, cuma lo satu-satunya orang yang bisa bikin gue tenang. Cuma lo satu-satunya rumah buat gue berteduh, Ra."

Amara tersenyum kecut, gadis itu menyeka air mata yang dengan lancang luruh tanpa persetujuannya. "Kalo itu alasan lo ... berarti, lo cuma jadiin gue alat? Lo mau milikin gue cuma buat kepentingan lo sendiri, Rel?"

Carel menggeleng, cepat. "Enggak, Ra. Bukan itu maksud gue."

"Rel, gue rasa ... lo cuma terobsesi, sama gue."

"Obsesi ...?" Carel tersenyum kelu. Laki-laki itu menunduk dalam, atensinya menatap lurus pada kedua ujung sepatu miliknya.

Tidak pernah dirinya sangka, ia kira Amara akan membalas perasaannya, sebagaimana yang telah laki-laki itu prediksikan selama ini. Ternyata, dirinya keliru. Amara bahkan menganggap bahwa rasa yang dimilikinya hanya sekedar obsesi belaka.

"Kecemasan lo yang berlebihan. Cinta lo yang berujung ingin memiliki. Dan semua pengungkapan lo soal gue barusan, semua itu cuma gambaran perasaan dari sebuah obsesi yang gak bisa lo kendali, Rel."

Amara meraih tangan Carel. Gadis itu menggenggam jemari milik laki-laki yang bernotabene sebagai sahabatnya. "Rel, gue gak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara rasa suka yang berkedok cinta."

"Rasa yang udah gue simpan bertahun-tahun ini, emang masih pantes disebut obsesi, Ra?"

Amara tertawa hambar. Gadis cantik berwajah ranum itu melepaskan genggaman tangannya dari jemari Carel. "Asal lo tau, Rel. Sejatinya, cinta itu cuma drama. Gak ada yang bener-bener nyata. Cinta itu ... cuma sandiwara belaka. Pada akhirnya, bakalan tetap kandas juga."

AmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang