8

45 36 94
                                    

Kebersamaan adalah satu-satunya hal yang selalu ku rindukan. Aku menanti, meski hari itu 'tak akan pernah kembali. Aku masih tetap meyakini, bahwa bahagia akan kembali menghampiri. Meski nanti.

_amara Shannon Gavriel_

Hari sudah cukup sore, Amara melihat arloji di tangannya, jarum jam mengarah pada pukul enam belas lewat tiga puluh. Amara berjalan di pinggir trotoar, gadis itu menatap langit sore yang diselimuti awan hitam. Entah efek karena sudah hampir malam atau akan turun hujan, tapi hal itu cukup membuat Amara merasa sedikit cemas lantaran jarak antara rumahnya dengan tempat keberadaan Amara sekarang bisa terbilang lumayan jauh.

Sebenarnya, tadi Amara sempat ingin memesan taxi online, tapi karena ponselnya yang lowbat dan sudah tidak bisa menyala membuat gadis itu mengurungkan niatnya.

Jalanan sudah sangat sepi, hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang melewati jalanan itu. Biasanya juga memang selalu sepi, namun tidak sampai se sepi ini.

Jangankan taxi, tukang ojek, atau angkutan umum lainnya. Pengendara motor saja sangat jarang ia temui.

Hembusan angin yang sedikit kencang membuat tubuh Amara mengigil, gadis itu memeluk dirinya karena kedinginan. Hawa dan suasana saat ini membuat Amara sedikit ketakutan.

" Dingin ...," gumamnya. Amara mendongak saat merasakan setetes air hujan yang mulai berjatuhan, membasahi wajah ranum gadis itu.

Amara mengedarkan pandangannya ke segala arah, gadis itu tersenyum pilu saat menyadari bahwa tidak ada satupun tempat untuk dirinya berteduh. "Cakra ... Carel ... gue butuh kalian ...." Amara menatap nanar ke arah jalanan, air matanya mulai luntur membasahi pipi.

"Ayah, bunda ... jemput Amara. Amara takutt ...." Amara berjalan selangkah demi selangkah. Hujan sudah turun dengan sangat deras, membuat seluruh tubuh Amara basah kuyup karenanya.

Amara menyeka air mata yang bercampur dengan air hujan di wajahnya. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di bawah lampu jalanan. Amara memegang tiang lampu jalanan tersebut sebagai tumpuan untuk berdiri.

Seluruh tubuh Amara terasa lemas, lututnya bergemetar, kakinya mendadak lembek seperti tidak memiliki tulang. "Hiks, ini badan gue kenapa letoy banget, sih ...?" Bahu Amara naik turun, tubuhnya menggiil. Amara sangat kedinginan.

Karena sudah tidak tahan, akhirnya tubuh Amara melorot ke bawah. Gadis itu terduduk di pinggir jalan. Tangannya perlahan terulur memeluk diri sendiri.

Sudah hampir sepuluh menit Amara berdiam diri di sana dengan posisi yang sama. Air hujan turun semakin deras, membuat Amara 'tak kuasa meski untuk sekedar berdiri dari posisinya. Amara sedikit mengedarkan pandangan ke segala arah, berharap ada seseorang yang dapan Amara mintai tolong. Namun hasilnya nihil, hujan turun semakin lebat dan hari semakin malam, hingga kemungkinan orang berlalu lalang semakin kecil. "Ayah ... Carel ...." Amara bergumam, menyebut nama Carel dan ayahnya.

Beberapa kenangan tentang masa lalu menghampiri ingatan Amara. Amara teringat pada masa-masa di mana dirinya merasa sangat bahagia.

Saat itu, hujan turun dengan lebat. Persis seperti hujan yang terjadi saat ini. Bedanya, waktu itu Amara merasa sangat bahagia karena Cakra, Carel dan Mentari, berada di dekatnya.

Hari itu mereka bersenang-senang seraya menikmati tetesan air hujan. Hujan yang mengguyur tubuh mereka dengan sangat deras, sama sekali tidak membuat mereka merasa kedinginan. Hanya rasa senang dan gembira yang menyelimutinya.

AmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang