Chapter 01: Harapan

229 15 7
                                    

"DAR, makannya jangan banyak-banyak dong, nanti badanmu makin melebar loh."

Gerakan tangan Dara yang tengah menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sendiri seketika terhenti. Dia menelan dengan kesusahan nasi dan lauk yang sudah terlanjur ada di dalam mulutnya. Dia menatap lurus ke arah depan tepat di mana adik bungsunya duduk sambil mengunyah makanan dengan porsi yang tak sedikit, kira-kira dua kali lipat porsi Dara. Tapi anehnya, Papa atau Mamanya tak ada yang memperingatinya seperti mereka memperingati Dara barusan.

"Hari ini udah masuk semester dua kelas XII kan? Itu artinya kamu harus lebih rajin belajar Dar. Supaya nanti bisa lulus SBMPTN dengan mudah," ucap Kinanti yang akrab disapa Kinan-Mama dari Dara.

"Iya, Dar. Nilai kamu semester lalu lumayan menurun loh. Harus ditingkatkan lagi itu," Randy-Papa Dara, menyambung ucapan Kinan.

Padahal aku rangking satu semester lalu, Dara tersenyum sinis apabila mengingat fakta tersebut. Dia pikir tak seharusnya dirinya mendapat peringatan seperti ini setelah pencapaiannya tersebut.

"Gimana gak menurun Pa, orang dia nonton drakor hampir setiap malem. Begadang terus!" Radit-adik Dara, memberitahu. Walau masih kelas dua SMP, tapi Radit ini sangat jago memanas-manasi keadaan.

"Kamu juga sama, main game sampe larut malam!" Dara tak mau kalah, dia mengacungkan sendok yang ia pegang ke arah Radit, tapi dengan cepat Kinan mengambil tindakan. Dia meraih tangan Dara dan menurunkannya.

"Kamu ini Dara, kalau salah akui saja gak usah nyari-nyari kesalahan orang lain," kata Kinan tegas sebagaimana biasanya ketika membela Radit. "Game dengan nonton drakor itu beda, di zaman sekarang ini game bisa dijadikan hobi yang begitu bermanfaat dan menghasilkan uang sedangkan nonton drakor, manfaatnya apa? Gak ada kan?"

"Tapi sama aja Ma, nilai Radit juga menurun kok gara-gara game!"

"Sejak kapan? Nilai gue gak pernah anjlok ya kayak nilai lo!" Radit menyahut.

"Gak pernah anjlok si bener, tapi liat tuh rangkingmu, tiga teros!" Dara tertawa terbahak-bahak sambil menatap Radit yang wajahnya mulai memerah menahan amarah. Bukannya merasa bersalah telah mengatakan hal tersebut, Dara malah semakin terpingkal-pingkal dan baru berhenti setelah Randy menggebrak meja dengan keras.

"Diam kamu!" katanya tegas. Randy berdiri dari kursinya yang berada di bagian ujung meja selaku kepala keluarga. "Kamu harusnya mendukung Radit bukan malah mengolok-olok rangking dia! Kakak macam apa kamu ini Dara!"

Terbiasa mendengar nada tinggi dari suara sang Papa, Dara jadi terbiasa. Bukannya takut, dia malah mengukir senyum sinisnya dan membalas tatapan Randy yang kini terhujam dengan tajam padanya. "Kenapa aku harus dukung dia, Pa? Kan ada Papa sama Mama yang ngedukung dia. Jadi gak perlulah Radit dukunganku. Lagian juga, mau nilai Radit anjlok atau enggak pasti kalian gak bakal marahin dia, karena apa? Karena dia anak laki-laki. Anak yang begitu kalian nanti-nantikan kehadirannya. Walau dia salah, kalian bakal tetep ngedukung dia. Beda lagi kalau aku yang bikin kesalahan. Pasti langsung dimarahin habis-habisan."

Semua orang di meja makan tersebut menatap Dara yang baru saja menyampaikan uneg-unegnya dengan tatapan seolah siap menerkamnya. Randy dan Kinan terutama. Mereka benar-benar emosi melihat keberanian yang entah bagaimana dimiliki oleh Dara.

"Jaga mulut kamu, siapa yang bilang begitu?!" Kali ini Kinan yang angkat suara dengan nada tinggi tentu saja.

"Gak ada yang bilang, kalian menunjukkannya sendiri," ucap Dara yang kemudian berdiri lalu menarik tas ranselnya yang tadi ia sampirkan ke bagian sandaran kursi. Langkah kakinya yang tegas meninggalkan meja makan dan juga keluarganya yang begitu menyebalkan.

Dia tak merasa bersalah telah membuat semua anggota keluarganya marah, malahan merasa senang karena telah mengatakan apa yang selama ini pendam. Selanjutnya, Dara berharap dia bisa menjadi lebih berani lagi untuk meninggalkan keluarganya tersebut dan pergi dari rumah sebagaimana hari ini ia pergi dari meja makan menuju ke sekolah.

*****

Libur sekolah telah berakhir. Para siswa kembali ke sekolah dan rutinitas membosankan yang itu-itu saja. Berangkat sekolah, terus belajar, terus makan di kantin, terus belajar lagi, jamkos ngegabut, lalu pulang. Begitulah, tapi anehnya banyak siswa yang merindukan rutinitas tersebut. Dara sih tidak. Makanya itu ketika Bu Ratna yang tubuhnya mirip kepala sekolah tadika mesra bertanya tentang apa yang kalian rindukan dari sekolah ketika libur semester, di bukunya Dara hanya menulis tidak ada dengan huruf besar. Kemudian keluar dari kelas sesuai perjanjian bahwasanya siapapun yang menyelesaikan essai lebih dulu boleh keluar kelas lebih dulu.

Setelah keluar dari kelas diikuti oleh tatapan cemburu dari teman-teman sekelasnya yang pasti masih berusaha memikirkan tentang apa yang merindukan dari sekolah selama libur, Dara menuju ke tempat yang paling disukainya yaitu toilet. Di tempat tersebut terdapat sepuluh bilik yang saling berhadapan satu sama lain. Lima di kiri dan lima di kanan. Dara memilih bilik yang paling dekat dengan pintu masuk yaitu bilik pertama.

Saat Dara masuk ke dalam bilik tersebut, samar-samar terdengar suara keran air yang terbuka lalu ditutup kembali berulang kali namun karena dirinya terlalu mengantuk, maka akhirnya dia tertidur dengan pulas.

Dia terbangun ketika pintu bilik tempatnya berada digedor-gedor oleh seseorang dengan begitu keras.

"Apaan sih?!" Dara membuka pintu sambil menggosok-gosok matanya yang masih sedikit berkabut.

"Lo yang apa-apaan?" Orang yang ternyata menggedor-gedor pintu bilik tempat Dara tertidur beberapa waktu lalu adalah sosok yang familiar di mata Dara. Namanya Reanna, dia teman sekelas Dara, dan merupakan siswi paling pintar setelah Dara di kelas.

"Heh, jalangkung. Lo yang ngedor-ngedor pintu kenapa lo juga yang marah-marah?" Dara terheran-heran.

"Lo nyontek kan pas ulangan semester lalu supaya dapet peringkat satu, huh?"

"Apa?!" Dara pikir telinganya kemasukan air sewaktu ia tidur tadi karena itulah dia mendengar sebuah pertanyaan yang aneh dari Reanna. "Lo ngigo atau gimana nih? Dalam sejarah hidup gue, gue gak pernah tuh yang namanya nyontek."

"Terus ini buktinya apa?!" Reanna mengangkat sebuah kertas mini berisi angka dengan huruf ABCD di sampingnya. Kertas seperti ini identik sebagai kertas contekan.

"Lah mana gue tahu. Itukan bukan punya gue."

"Bukan punya lo apanya, ini jelas-jelas ditemuin di meja lo!"

"Ditemuin di meja gue bukan berarti itu punya gue! Bisa aja itu punya lo tapi sengaja lo simpen di meja gue supaya orang lain nuduh gue nyontek!" Suara Dara meninggi seiring dengan emosi yang kian meninggi pula. Tak ada kata sabar lagi, Reanna ini sudah kelewatan bagi Dara. Pasalnya, dia telah menuduh orang lain melakukan sesuatu yang tak dilakukannya tanpa menyelidiki terlebih dahulu.

"Gue gak mungkin kayak gitu. Gue orangnya jujur. Dan lo tahu itu," kata Reanna enteng.

Tapi Dara menanggapinya lebih enteng lagi, bahkan dia mampu tersenyum. "Gue pinter, selalu rangking satu, gue gak butuh kertas murahan yang lo temuin di tong sampah itu cuman supaya bisa dapetin rangking satu yang selalu lo idam-idamkan itu."

Mata Reanna seketika melebar begitu saja. Dia kaget sekaligus emosi mendengar ucapan Dara, dan tanpa aba-aba setelah itu dia langsung maju selangkah dan meraih rambut Dara dan menariknya sekuat tenaga dengan kedua tangannya. Dara tak tinggal, dia segera bertindak dan menggerakkan tangannya meraih rambut Reanna lalu mencengkramnya dengan erat. Maka jadilah dua perempuan tersebut saling tarik menarik rambut dengan diselingi oleh memaki satu sama lain. Detik itu juga, Dara sangat berharap orang menyebalkan seperti Reanna mati saja! Mati!

****
Ada yang mau join keluarganya Dara? Author buka pendaftaran loh😚

Syaratnya gampang aja cukup pinter aja dan selalu rangking satu di kelas terus juga mental dan batinnya harus kuat. Gampang kan?

𝐅𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫 𝐢𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐝 TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang