Chapter 10

1K 178 10
                                    

~Keesokan paginya~

“Ughh… dimana aku?” gumam (y/n). Wanita itu mengangkat kepalanya dan melihat sekitarnya. “Eh?! Di meja kerja?” serunya kaget. Ia saat ini berada di meja kerja yang ada di kamarnya. “Ugh, tampaknya semalam aku terlalu bersemangat sampai ketiduran di meja.”
Ia beranjak dari kursinya menuju kamar mandi. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. “Masuk,” katanya. “(Y/n), kau sudah mandi belum? Cepat kita terlambat,” kata Haru seraya memasuki kamar. “Aku baru mau mandi,” jawab (y/n). Ia masuk ke kamar mandi dan mandi dengan cepat. “Ayo, kita beli sarapan di jalan saja. Waktu sarapan sudah usai. Kambe juga sudah berangkat,” ujar Haru. “Hee? Setelat itu kah?” tanya (y/n) tak percaya sambil memakai dasinya. “Iya, makanya, ayo.”

Mereka segera menuju mobil. “Kita ke gedung kepolisian dulu, atau langsung ke sekolah?” tanya (y/n). “Ke gedung dulu,” jawab Haru singkat. Mobil mereka melaju agak kencang. Untungnya tidak ada terlalu banyak kendaraan pagi itu. Sesampainya disana, mereka disambut oleh wajah kesal Daisuke. “Kalian lama,” gerutunya. “Maaf, aku semalam terlalu bersemangat melakukan research sampai begadang, lalu telat bangun, deh,” jelas (y/n). “Aku juga,” timpal kakaknya. “Ya, baiklah. Jadi, kita langsung saja?” tanya Daisuke. Haru mengiyakan, “hari ini kita hanya akan memeriksa SMA itu dan bertanya kepada saksi-saksi korban,” jelasnya singkat. “Oke, ayo berangkat!” ucap (y/n).

Mereka bertiga memasuki mobil masing-masing dan melaju ke sekolah itu. “Ugh, kuharap si Kambe tidak mengebut sehingga kita bisa sampai disana bersamaan,” celetuk (y/n). “Setidaknya kita punya alamat sekolahnya, jadi kita tidak akan tersesat. Masa bodo kalau Kambe mau mengebut,” balas Haru. SMA itu terletak di pinggir kota dan merupakan sekolah yang bangunannya besar, siswanya juga banyak. “Akan sulit menemukan seorang pembunuh di tengah lautan siswa,” komentar Haru saat mereka sampai. “Ya, kita berusaha saja,” timpal adiknya. Kato bersaudara melihat mobil Daisuke terparkir di dekat gerbang. Haru pun ikut parkir dibelakang mobil Daisuke.

“Ayo kita masuk,” ujar (y/n) setelah turun dari mobil. “Pertama, kita harus ke ruang kepala sekolah terlebih dahulu,” jelas Haru. Mereka memasuki sekolah dan bertanya tentang letak ruang kepala sekolah pada siswa-siswi yang sedang lewat. “Hmm… mereka tidak terlihat kaget bertemu kita. Lalu, kenapa mereka belum masuk kelas?” tanya (y/n). “Karena kita tidak terlihat mencurigakan. Pakaian kita juga pakaian bebas. Dan biasanya mereka kelas jam delapan, jadi masih ada waktu beberapa menit sebelum masuk,” jelas kakaknya. Ya, para siswa tidak mencurigai mereka. Siswa-siswi itu berpikir Kato bersaudara hanya tamu kepala sekolah mereka. Namun, semua siswa melotot saat melihat Daisuke yang berjalan dibelakang Kato bersaudara. Para siswi bahkan berbisik-bisik saat ia lewat. “Mereka berlebihan sekali,” gumam (y/n). “Yah, namanya juga anak SMA. Mereka akan heboh jika melihat pria tampan dan kelihatan kaya,” balas Haru.

Mereka sampai di lantai tiga, tempat ruang kepala sekolah berada. Haru mengetuk pintu dan kepala sekolah memprsilahkannya masuk. “Permisi,” ujar Haru seraya dirinya, (y/n), dan Daisuke masuk. “Ah, kalian pasti para polisi yang diutus untuk menyelidiki pembunuhan di sekolah ini,” ujar pak kepala sekolah. Ia mempersilahkan ketiga orang itu duduk. “Ya, kami ingin mengetahui tentang kasus ini lebih detail,” ujar (y/n). Wanita itu telah berubah ke mode seriusnya. Pak kepala sekolah mengangguk. “Ini terjadi sekitar seminggu yang lalu. Orangtua dari tiga orang siswa melapor kepada wali kelas bahwa anak mereka tidak pulang ke rumah. Mereka semua berasal dari kelas dan angkatan yang berbeda. Kejadian ini terus berlangsung dan sampai saat ini, sudah ada dua belas anak yang menghilang.”

“Apakah mereka hanya menghilang, atau ditemukan bukti bahwa mereka dibunuh?” tanya (y/n) lagi. “Sejak tiga hari yang lalu, di saat jam piket, beberapa orang siswa dan guru menemukan genangan darah di berbagai tempat, juga ada potongan tubuh, bahkan ada mayat yang tergeletak begitu saja.”
“Kalau begitu, kenapa kalian tidak langsung menelepon polisi?” tanya Daisuke. “Ya, kenapa baru sekarang?” lanjut Haru. “Kami sudah menelepon polisi dan polisi berkata bahwa mayat itu adalah anak yang bunuh diri. Sepatunya ditemukan di atap sekolah dan ada secarik kertas berisi pesan singkat tentang kenapa ia bunuh diri,”

“Uwah, bisa jadi itu tipuan,” batin (y/n). “Baiklah, ada lagi?” tanya Haru. Sedari tadi ia mencatat perkataan kepala sekolah itu dengan rinci. “Tidak, itu saja yang dilaporkan kepada saya. Anak-anak yang menghilang, atau telihat potongan tubuhnya sebagian besar siswa laki-laki. Tapi mereka berasal dari kelas yang berbeda dan tidak ada pola tertentu,”
Haru mengangguk, “baiklah, kami meminta izin untuk menanyakan hal ini pada guru dan siswa,”
Kepala sekolah itu mengangguk. Kato bersaudara dan Daisuke pun keluar dari ruangan itu. “Hmm… mana ada pembunuh yang membiarkan potongan tubuh mayatnya tergeletak?” celetuk (y/n). “Iya juga, apalagi sampai berani menggeletakkan mayatnya dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri,” timpal Haru. “Tapi, jangan-jangan ini semua bukan pembunuhan berantai,” lanjut Daisuke. (Y/n) menggeleng, “kita tidak akan mengetahuinya sampai kita bertanya pada para siswa. Kan kepala sekolah juga tidak tahu semuanya, dan hal yang dikatakannya tadi lebih menuju ke pembunuhan.”   

Mereka bertiga menyusuri lorong yang sekarang kosong. “Para siswa sudah masuk kelas,” gumam (y/n). “Ayo, kita ke ruang guru dulu kalau begitu,” usul Haru. Ruang guru terletak di lantai dua, tepat disamping tangga. (Y/n) mengetuk pintu, “permisi,” ujarnya. Seseorang mempersilahkannya masuk, dan mereka pun masuk. Didalam ruangan itu, terdapat beberapa guru yang sedang tidak mengajar. “Kami dari kepolisian. Kami sedang menyelidiki kasus pembunuhan di sekolah ini,” jelas Haru setelah melihat para guru hanya diam. Ia mengeluarkan lencananya diikuti (y/n) dan Daisuke. “Oh, begitu, ya. Kami akan dengan senang hati memberitahukan yang kami tahu pada kalian,” ucap seorang guru wanita.

Ia mempersilahkan mereka duduk. Kato bersaudara dan Daisuke mendengarkan penjelasan mereka dengan saksama. Namun, penjelasan mereka kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan pak kepala sekolah. Jadi, mereka tidak mendapatkan informasi tambahan.
Seusai dari ruang guru, mereka kembali ke mobil mereka. “Bagaimana jadinya? Kita mau menunggu jam istirahat?” tanya (y/n). Haru mengangguk, “Kita disini saja  dulu dan memutuskan siswa mana yang akan kita tanya-tanyai,”
“Guru-guru itu telah memberitahu dari kelas mana saja para korban itu berasal. Kita bisa bertanya pada teman sekelas mereka,” ujar Daisuke.
Mereka pun mulai mencatat kelas-kelas asal korban agar saat mencari, mereka tidak akan kebingungan. Beberapa jam kemudian, bel istirahat berbunyi. Haru yang berada di mobilnya bersama (y/n) pun keluar. “Bagaimana cara kita mendekati mereka? Bukankah mereka akan merasa curiga?” tanya (y/n). “Jika kita menunjukkan lencana kita, sepertinya tidak. Kita bicara saja pada mereka baik-baik,” jawab Haru.

“Kita berpencar saja,” usul Daisuke. “Setuju. (Y/n) kau dengan Kambe, sana,” suruh Haru. “Hee?! Kenapa aku?!” protes wanita itu. “Menurutku harus ada yang mengawasinya supaya dia tidak aneh-aneh. Kau sendiri juga harus ada yang mengawasi,” jelas Haru. (Y/n) cemberut, “Ya sudah, deh, terserah. Ayo, Kambe.”
Begitu mereka memasuki bangunan sekolah, terlihat para siswa berlalu-lalang. “Kalian atasi kelas di lantai tiga dan empat, ya,” pesan Haru. (Y/n) dan Daisuke mengiyakan, lalu menaiki tangga. “Kita mulai dari kelas 3 yang ini. Ada dua korban dari kelas ini,” ujar Daisuke. (Y/n) membuka pintu kelas dan melihat beberapa siswa disana. “Uhmm… permisi, apakah kami boleh menanyai kalian sebentar?” tanya wanita itu sambil menunjukkan lencana kepolisiannya. Para siswa itu mengangguk ragu-ragu. Wawancara pun dimulai.

|| How Much? [Daisuke x Reader] ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang