Bagian 6

74 10 0
                                        

Camelia terlihat sangat ceria menarik tangan Antonio dan mengajaknya mampir ke kedai. Asyla hanya mengamati dari jendela penginapan.

"Pria itu tidak akan mengkhianatimu," hibur Robert.

Tangannya menepuk pelan pundak Asyla kemudian mengusap  lembut kepalanya. Asyla tertawa pelan saat melihat Antonio yang masih saja suka makan apel tanpa mencucinya lebih dahulu.

'Sepertinya dia masih belum kapok,' batin Asyla.

"Aku akan pergi sebentar, Aes akan datang menggantikanku"

Asyla mengambil jubah yang tergantung dan membantu Robert memakai jubah itu. Robert menghilang kemudian Aes muncul di hadapannya.

"Halo, keponakan kecilku. Lihat aku membawa beberapa cemilan dari ruang kerja kaisar" sapa Aes.

Gadis itu tersenyum mengambil kue yang ada di tangan Aes. Ia mempersilahkan pria itu untuk duduk. Robert dan Aes adalah sekutu, sekarang malah bertambah satu yaitu Aster.

"Siapa itu?"

"Dia temannya Antonio" ucap Asyla begitu tau kalau Aes sedang menatap tajam ke arah Camelia.

"Dia menjijikkan, berhati hatilah padanya"

"Kau bukan orang pertama yang mengatakan itu"

"Mayat yang kau tinggalkan di gua sudah sampai di Aesteler. Aster berakting dengan sangat bagus"

"Diakan memang raja drama," balas Asyla.

Ia kemudian meminum secangkir teh yang telah disiapkan Robert sebelumnya. Langit oren di sore hari, ditemani dengan siulan angin yang menyejukkan. Suasana yang pas untuk minum teh.

Mata yang tadinya berwarna hitam kembali menjadi merah. Aes menghela nafas dalam dalam sambil mengamati gerak gerik Camelia dan Antonio. Saat kedua orang itu masuk ke dalam penginapan Aes langsung mengubah penampilannya seperti Robert.

"Kau tau aku alergi terhadap sesuatu yang manis, jadi jangan biarkan gadis imut menjijikkan itu menghampiriku" ucap Aes.

Pria itu keluar dari kamar Asyla. Di jalan ia berpapasan dengan Antonio dan Camelia. Hawa membunuh dan tatapan tajam ia arahkan pada Camelia.

Sementar itu Asyla dikamar sedang batuk batuk darah. Disaat orang yang ia cintai ikut mencintainya, rasa sakit yang menyesakkan akan menyerang tubuhnya begitu mereka berada dalam jarak yang sangat dekat.

"Bagaimana aku tidak tau kalau saat ini hanya ada diriku dalam benak Antonio"

***

Di sebuah kamar yang penuh perlengkapan bayi, seorang pria sibuk memasangkan popok pada boneka bayi yang ada di depannya. Ia memasang dengan penuh kehati-hatian.

"Sampai kapan kau akan begitu, paman?" ucap seorang pria yang tiba tiba saja menghampirinya.

"Zeon, anak manisku pintar. Cepat besar ya nak!" ucap pria itu tanpa menghiraukan lawan bicaranya.

Robert menghela nafas kasar. Hanya pria  yang berpura pura gila itulah yang tau dimana letak mayat ayahnya namun ia enggan memberi tau.

Haruskah ia membunuh suami putrinya agar rasa sakit putrinya berkurang? Semakin dekat jarak mereka semakan pendek pula usia gadis kecilnya itu. Setiap ayah ingin kebahagiaan anaknya.

"Apa semua ini demi Stela? Semua akan beres jika aku membunuh gadis itukan" tanya Robert.

Boneka bayi yang ada pada pria itu terjatuh. Ia menatap tajam Robert seakan ingin mencabik cabik tubuhnya.

"Coba saja jika kau berani. Satu helai rambut saja akan kubuat kau membayarnya dengan penderitaan putrimu"

"Sudah kuduga kau memang berpura pura"

Robert dengan santai memungut boneka bayi yang tadinya terjatuh. "Aktingmu memang hebat tapi kau tak bisa mengendalikan emosimu jika menyangkut anak anakmu. Ya, semua ayah juga akan begitu"

Pria itu merebut boneka di tangan robert dengan kasar. Ia kembali berekspresi seperti orang gila. Tak lama Stela datang membawa sebotol susu hangat. Robert menghela nafas kesal. Ia berjalan keluar.

'Kuharap Aes tidak melakukan hal ceroboh,' batin Robert.

Ia berteleportasi ke pemakaman Caramel. Di sana sudah ada Aster yang sedang membersihkan makam tersebut dengan dibatu oleh Theodore.

"Kau telat" keluh Aster.

Bugh

"Yang Mulia"

Robert dengan sangat tidak berperasaan memukul kepala Aster yang protes padanya. Bunga lily yang diletakkan di makan Caramel langsung ia buang jauh jauh.

"Aster bukankah aku sudah bilang berkali kali kalau Caramel tidak menyukai bunga lily"

"Hehehe, kau tak pernah berubah. Ngomong ngommong, apa alasanmu memintak bertukar posisi dengan Aes?"

"Kita bicarakan ini ditempat lain," ucap Robert sambil menatap ke balik semak semak.

Theodore yang sangat peka langsung melemparkan pisau ke arah semak semak itu. Ada seorang serpen yang bersembunyi mengintai mereka.

"Serpen? Ini pertama kalinya aku melihat mereka"

"Di masa depan bukan hanya mereka yang akan jadi penghalang kita"

Serpen adalah bangsa siluman ular yang cerdas. Mereka biasanya jarang menampakkan diri pada manusia. Namun, akhir akhir ini Robert menyadari sejak pertemuannya dengan Camelia ia merasa ada yang selalu mengawasinya.

Berkali kali Robert mendapati makanan yang dihidangkan untuk mereka mengandung racun. Anggap saja Aes sebagai kurir makanan karena setiap kali ia datang pria itu selalu saja membawa makanan maupun minuman yang jumlahnya tidak sedikit.

Dengan adanya Aes di sisi Asyla mau tidak mau Delado pasti akan melindungi anaknya. Itu bisa mengurangi sedikit resiko dari ancaman para pengikut Mammon.

Sementara itu kembali pada Asyla. Ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari jauh. Satu dari mereka memiliki sisik di lehernya.

"Kau yakin gadis lemah itu orangnya?" tanya seorang wanita bersisik.

"Menurut informasi yang aku dapat memang gadis itu orangnya"

"Bwahahaha, Lord Mammon terlalu berlebih lebihan. Ku fikir dia adalah gadis tangguh. Melihat tubuh kecilnya saja, aku bisa dengan mudah mematahkannya," ucapnya dengan percaya diri.

"Dia terlalu bodoh membiarkan penjaganya pergi. Haruskah kita bunuh sekarang?"

"Santai dulu Nix, tidak seru jika kita membunuhnya sekarang"

"Woi, mengintip kamar seorang gadis itu tidak sopan" sorak seorang pria pada mereka.

Kedua orang itu menoleh ke sumber suara, di sana ada Aes yang tersenyum pada mereka.

"Wah wah wah, semut kecil kau cukup hebat juga bisa menyadari keberadaan kami" puji wanita bersisik.

Aes membuka menguap karena ngantuk. Ia mengorek kotoran dalam hidungnya kemudian melemparkan pada kedua orang tersebut. Lemparan itu menjadi sebuah ledakan api yang membakar kulit Nix.

"Lihat, upilku saja bisa memanggang daging temanmu," sombong Aes.

"Sialan, wajahmu saja yang tampan tapi kau itu sangat jorok" keluh Seredit, sang wanita bersisik.

"Yang penting good looking"

"Keterlaluarkan akan ku bu—Arrgh panas arrgh"

Dalam sekejap mata kedua orang itu langsung berubah menjadi abu.

"Sepertinya kami memang harus segera pindah" ucap Aes.

Bersambung...

Ikanaide (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang